Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Untuk Aini | Tawanan Waktu

29 Januari 2020   16:54 Diperbarui: 29 Januari 2020   16:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: PicsArt - design by Ajinatha

Kalau pun aku tidak bisa bersanding dengannya di dunia, semoga Tuhan menyandingkan aku dengannya di Surga. Kalau pun sekarang aku masih hidup, itu tidak lebih menyambung pengabdiannya kepada Tuhan, dengan kornea mata yang dititipkan kepadaku.

BAB Sebelumnya

BAB VII. TAWANAN WAKTU

Ada satu hal yang aku hargai dari Bimo, selain budi baiknya sama aku selama kami bersama, Bimo sangat menghargai aku sebagai perempuan, dia tidak pernah melecehkan aku. 

Saat kami dirumah cuma berdua, tidak ada keinginannya memanfaakan kesempatan untuk mencium aku atau pun sejenisnya.

Bagi Bimo, kesempatan seperti itu adalah ujian keimanan bagi dia. Justeru itu tantangan terbesar baginya sebagai seorang laki-laki. Padahal, sebagai wanita dewasa aku juga ingin merasakan bagaimana sentuhan seorang lelaki, kadang aku berpikir, jangan-jangan Bimo tergolong manusia yang tidak memiliki nafsu.

Tapi penjelasan Bimo tentang itu sangat melegakan hati, alasannya sangat masuk akal;

"Aini, mas ini lelaki normal yang punya nafsu"

"Tapi kalau mas gagal mengendalikan nafsu, maka kedepan hubungan kita akan rusak karena itu"

"Mas sedang menjalankan amanah, ayah kamu sedang tidak dirumah, jadi mas wajib menjaga kehormatan kamu"

Betapa senangnya hatiku mendengar penjelasan Bimo, karena dugaanku salah. Bimo seperti mendengar apa yang aku katakan didalam hati. Aku jadi berpikir, jangan-jangan Bimo bukan cuma berpikir cara para sufi, tapi Bimo sendiri sudah menjadi seorang sufi.

Sepanjang waktu kami dirumah, Bimo hanya mengajarkanku tentang banyak hal. Dia menginginkan aku berpikir seperti Rabi'ah Al Adawiyah, seorang penyair wanita sufi yang sangat dia kagumi. Aku dikasih referensi bacaan buku tentang Jalaluddin Rumi dan Rabi'ah Al Adawiyah, agar aku memahami pemikiran kedua penyair sufi tersebut.

Aku juga pernah mendengar nasehat lain, ketika kamu dituntut oleh seorang lelaki untuk menjadi orang lain, itu tandanya dia tidak bisa menerima kekuranganmu. Nasehat ini juga tidak sepenuhnya benar, juga tidak salah, asal difahami dengan benar tujuan penyampaiannya.

Aku juga tidak menganggap Bimo sedang mendikte aku agar seperti yang diinginkannya, yang aku fahami dia mengajarkan aku untuk lebih mengenal Tuhan dengan pendalaman spiritual, bukan cuma sekadar kenal Tuhan tapi tidak dapat merasakan keberadaannya.

Aku sangat kenal Bimo, dan aku tahu hatinya. Ucapannya selalu bertendensi kebaikan, bukanlah cuma pemenuhan kepentingannya. Apa yang dia katakan adalah apa yang sudah dia lakukan, dan dia sudah menikmati hasilnya, dan merasakan manfaatnya.

Bimo menanyakan padaku, saat kami bernincang-bincang dirumah;

"Aini, kalau seandainya Tuhan takdirkan kamu bisa melihat, apa yang akan kamu lakukan pertama kali"

Aku menjawab, "aku ingin nikah dengan kamu mas"

"Salah Aini, yang harus kamu lakukan pertama kali adalah  sujud syukur menghadap Tuhan, sebagai tanda kamu berterima kasih"

"Soal menikah itupun bisa terlaksana kalau, Tuhan mengizinkan, tidak ada yang bisa kita lakukan, tanpa seizin-Nya"

Aku mencoba memahami jalan pikiran Bimo, dan ternyata dia benar. Sedikitpun aku tidak berniat untuk membantahnya. Sering aku terkagum-kagum dengan ucapannya, ingin rasanya melihat dia secara fisik, tapi itu tidak mungkin. Aku cuma bisa meraba tubuhnya, yang aku rasakan, dia seorang laki-laki yang kekar dan lebih tinggi dari aku.

Secara fisik dia sangat sempurna bagi aku, secara budi pekerti pun sangat memenuhi syarat untuk menjadi suami yang baik. Kelemahan dia cuma mau menjadikan aku yang tidak sempurna secara fisik, menjadi kekasihnya. Harusnya dia bisa dapat perempuan yang lebih sempurna dari aku.

Aku memang seharusnya banyak bersyukur, karena Tuhan selalu memberi pertolongan kepadaku. Kedua orang tuaku sudah menjadi mata bagiku sejak kecil, terutama ibuku, sampai aku beranjak dewasa. Setelah ibuku tiada, ayahlah yang menjadi mataku sehari-hari.

Lalu Tuhan kirimkan malaikat untuk terus mendampingiku, itulah Bimo. Begitu meninggal pun tetap dia tetap menjagaku dengan kornea matanya. Semua itu tidak terlepas dari rencana Tuhan terhadapku. Sungguh sangat salah kalau aku tidak membalas semua ini dengan pengabdian terhadap-Nya.

Jadi wajar kalau ayahku sempat marah ketika dia tidak melihat kehadiran Bimo setelah aku bisa melihat, karena dia saksi dari ketekunan Bimo dalam membimbingku, mengarahkan dan memotivasiku agar kuat mengahadapi hidup. Bagi ayahku, Bimo adalah lelaki yang bisa menjaga amanah.

Ada satu ucapan Bimo yang aku ingat tentang posisi manusia diatas Bumi Allah Azza Wa Jalla,

"Secara hakikat manusia itu adalah 'tawanan waktu', yang dilahirkan pada waktu, dan akan menghadapi kematian pada waktu-Nya"

Yang menurut dia, manusia itu hidup dan mengabdi pada waktu yang sudah ditentukan-Nya, dan mengisi waktu yang disediakan untuk mengabdi kepada-Nya. Sepanjang usually, harusnya tidak ada waktu yang sia-sia karena tidak dimanfaatkan. Itulah sebabnya manusia itu secara hakikat merupakan tawanan waktu.

Pemikiran itu dia sarikan dari pemikiran Jalaluddin Rumi, yang merepresentasikan manusia sebagai tahanan waktu.

Bagiku Bimo seperti sebuah kitab yang belum habis kubaca, karena waktunya hanya sebentar ada disisiku, tapi manfaatnya begitu besar bagi diriku. Sungguh Allah tidak sia-sia menghadirkannya dimuka bumi ini. Dia laiknya guru, sahabat, juga penasehat spiritual bagiku.

Sebagai seorang penasehat spiritual, dia memperlihatkan kualitas spiritualnya dengan praktek, bukan sebatas ucapan. Sebagai seorang guru dia pantas untuk di gugu dan di tiru. 

Sebagai seorang sahabat, dia bukanlah sahabat yang suka memanfaatkan kelemahan sahabatnya.

Masih banyak kisah yang akan aku tuliskan selama aku belum melihat dunia. Yang aku takutkan, ketika aku secara bisa melihat dunia aku tidak lagi mampu untuk menuliskannya, karena pada kenyataan yang terlihat, realitas hidup itu begitu keras, sehingga kita tidak lagi mengenal batas-batas.

Catatan harianku ini hanyalah pengalaman yang aku rasakan dalam melintasi hari dan waktu. Ada begitu banyak manfaat yang aku rasakan dalam kebutaanku terhadap dunia, namun aku tidak ingin buta untuk melihat hidup. Makanya aku terus belajar, dan membaca kehidupan sebatas apa yang aku rasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun