Padahal sebelum ikut kontestasi politik, penampilannya biasa saja, tidak ada kesan kalau sang kandidat adalah seorang yang agamis, tapi demi memenangkan kontestasi, dan sangat tahu kalau masyarakat yang sangat mabuk agama, maka dikemaslah sang kandidat seolah-olah seorang yang agamis.
Hiperealitas politik citra itu ada karena kecenderungan masyarakat, yang memang menyukai kepalsuan yang otentik, senang memilih sesuatu karena bagusnya kemasan, bukanlah karena isinya. Akibatnya kandidat yang benar-benar otentik, tersingkir dari kontestasi.
Begitu kandidat yang dipilih karena melihat apa yang dicitrakan terpilih, dan mulai bekerja, barulah tahu kalau selama ini mereka cuma terhipnotis oleh apa yang sudah dicitrakan, kenyataannya tidaklah sesuai dengan apa yang di fantasikan. Apalagi pada akhirnya, kandidat yang dipilih masuk bui karena kasus korupsi.
Hiperealitas politik citra tidaklah mendidik masyarakat berpolitik secara sehat, pembodohan politik yang diakibatkannya sangat memprihatinkan. Masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang otentik dan mana yang palsu.
Sumber:
Buku Komunikasi Politik di Era Industri Citra, Gun Gun Heryanto, M.Si, halaman 49, Artikel "Hiperealitas Politik Citra"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H