Indonesia dewasa ini mengalami mengalami suatu fase Hiperealitas politik citra, dimana sangat memengaruhi pola pikir masyarakat, yang dampaknya cukup mengkuatirkan.
Hiperealitas digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.
Adanya keterkaitannya dengan kondisi politik kekinian, ditandai dengan munculnya politik citra. Dimana adanya kecenderungan membangun pencitraan, untuk kepentingan politik, seolah-olah seorang kandidat yang akan diusung atau dijagokan dalam kontestasi, melebihi ekspektasi.
Seperti misalnya mencitrakan Gubernur "Rasa Presiden", atau juga Menteri " Rasa Presiden". Sangat jelas ini adalah merupakan gejala hiperealitas, dimana sebuah kondisi yang diciptakan lahir atas dasar ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan, antara realitas dan fantasi.
Tujuannya untuk membangun mimpi indah, membentuk persepsi masyarakat, juga para pendukung dan pengusung seorang kandidat, agar sang kandidat seolah-olah adalah The Real President, dan memang pantas menjadi Presiden.
Sebagian besar masyarakat, terhipnotis dengan politik citra tersebut. Bagaimana tidak, kandidat dicitrakan seolah-olah pembela orang kecil, pemimpin yang santun, hati-hati dan bermoral, atau pemimpin yang lugas dan mampu bekerja cepat demi kepentingan rakyat.Â
Dan ini adalah fantasi yang ingin dibangun.
Tapi pada kenyataannya, pemimpin yang dianggap membela orang kecil, dan santun, belumlah mampu mengimplementasikan apa yang menjadi impian masyarakat, yang juga sebagian besar pendukungnya. Semua adalah kepalsuan dari kemasan yang dicitrakan.
Kalau menurut Umberto Eco, kondisi seperti ini disebutnya sebagai "The Authentic Fake" Atau kepalsuan yang otentik. Terlihat otentik, tapi pada kenyataannya adalah palsu.
Dan pada kenyataannya, masyarakat sendiri sangat menikmati kepalsuan otentik tersebut, itulah makanya muncul angan-angan rasa Presiden. Cukup dengan rasa Presiden saja mereka sudah sangat puas, meskipun pada kenyataannya angan-angan tersebut tidak terealisasi.
Hiperealitas politik ini pun menjangkiti berbagai kontestasi politik, di Pilkada pun juga demikian. Kemasan dianggap lebih penting daripada isi, jadi tidak heran kalau pada akhirnya para pemenang Pilkada adalah orang-orang yang menjadi penghuni ruang tahanan KPK.
Para pemilih sangat terhipnotis oleh kemasan yang diciptakan oleh partai pengusung kandidat. Tiba-tiba seorang kandidat ditampilkan seolah-olah agamis, sehari-hari difoto memakai baju gamis, ucapan-ucapannya pun sangat islami. Padahala kesemua itu adalah kepalsuan yang otentik.
Padahal sebelum ikut kontestasi politik, penampilannya biasa saja, tidak ada kesan kalau sang kandidat adalah seorang yang agamis, tapi demi memenangkan kontestasi, dan sangat tahu kalau masyarakat yang sangat mabuk agama, maka dikemaslah sang kandidat seolah-olah seorang yang agamis.
Hiperealitas politik citra itu ada karena kecenderungan masyarakat, yang memang menyukai kepalsuan yang otentik, senang memilih sesuatu karena bagusnya kemasan, bukanlah karena isinya. Akibatnya kandidat yang benar-benar otentik, tersingkir dari kontestasi.
Begitu kandidat yang dipilih karena melihat apa yang dicitrakan terpilih, dan mulai bekerja, barulah tahu kalau selama ini mereka cuma terhipnotis oleh apa yang sudah dicitrakan, kenyataannya tidaklah sesuai dengan apa yang di fantasikan. Apalagi pada akhirnya, kandidat yang dipilih masuk bui karena kasus korupsi.
Hiperealitas politik citra tidaklah mendidik masyarakat berpolitik secara sehat, pembodohan politik yang diakibatkannya sangat memprihatinkan. Masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang otentik dan mana yang palsu.
Sumber:
Buku Komunikasi Politik di Era Industri Citra, Gun Gun Heryanto, M.Si, halaman 49, Artikel "Hiperealitas Politik Citra"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H