Pertama, penerapan hukum terhadap pelaku tindak kejahatan korupsi harus tegas dan memberikan efek jera.
Kedua, tidak ada toleransi terhadap pelaku korupsi mau pun mantan napikor. Hilangkan hak politik mantan napikor. Tujuannya agar mereka tahu bahwa kejahatan korupsi itu sangat merugikan bangsa dan negara.
Ketiga, lembaga pemberantasan korupsi juga harus serius dalam menindak pelaku korupsi, dan cermat dalam mengidenfikasi kejahatannya. Juga tidak tebang pilih dalam mengeksekusi kejahatan korupsi.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK, tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi, buktinya tetap saja semakin banyak yang terkena OTT KPK, itu artinya OTT tidak terlalu mempengaruhi perilaku korupsi. Karena sanksi hukum yang bakal diterima sudah bisa ditakar oleh pelaku korupsi.
Mau sehebat apa pun KPK melalukan OTT kalau sanksi hukum yang diterima pelaku korupsi masih ringan-ringan saja, maka kejahatan korupsi masih terus akan ada. Wacana hukuman mati bagi pelaku kejahatan korupsi tidak bisa hanya sebatas retorika. Harus bisa segera diterapkan, dan Komnas HAM pun harus mendukung penerapan hukuman tersebut.
Merespons wacana itu, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) berkata hukuman mati tak terbukti efektif untuk meminimalisir tindak pidana korupsi. PBB pun berpendirian untuk menolak tindakan itu.
"Hukuman mati tidak pernah mencegah kejahatan apapun. PBB sebagai organisasi tentunya menekan negara untuk menghilangkan hukuman mati," ujar Country Manager UNODC untuk Indonesia Collie F. Brown di Jakarta kepada Liputan6.com, Senin (9/12/2019). "Pada pendirian PBB, kami menolak itu," lanjutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H