Suatu garis darah atau keturunan juga menjadi pembeda dalam kelas atau kehidupan beragama, kadang menjadi pemikiran tersendiri dimana dikatakan "Allah menciptakan manusia sama derajatnya", namun sayangnya di dunia nyata (kehidupan sehari-hari) tidaklah begitu. Kiranya akan menjadi suatu pemandangan yang lebih indah bilamana penghormatan pada seorang pemuka, pemimpin, atau elit agama tidak harus begitu di unggul-unggulkan/ di agung-agungkan (Allah juga tidak suka hal yang berlebihan).
Iklim politik dalam internal beberapa partai atau kelompok agama juga tidak boleh kita lupakan, yang mana terkadang terlalu terbuka dan keras dalam memberikan suatu anggapan atau doktrin kepada para pengikutnya bahwa kelompok yang di ikuti adalah kelompok yang terbaik. Tentunya mengenai masalah ini diperlukan keterbukaan, serta keluasan cara berfikir umat agar tidak sampai menimbulkan konflik internal dalam jalinan suatu agama.
Kita juga masing samar-samar mengingat tentang adanya kecurangan-kecurangan dalam pemerintahan yang mana adanya korupsi, KKN, serta banyak yang lainnya (kompas.com, news.detik.com, jawapos.com). Menjadi tercoreng nama baik dari suatu agama, tentunya ini tak boleh dilupakan walaupun manusia tak luput dari suatu kesalahan.
3. Kesejahteraan Umat Islam
Kesejahteraan umat Islam, merupakan suatu hal yang sangat menarik menurut penulis untuk dibicarakan. Yang mana masih banyak sekali masyarakat kita berapa pada garis kemiskinan maupun masyarakat yang rentan, dalam hal ini tidak dilengkapi data namun kita dapat mengambil kesimpulan bahwa karna mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam tentunya sebagian besar masyarakat yang berada pada garis kemiskinan merupakan umat Islam.
Dari masalah pendidikan, kemampuan (skill), pemikiran, gaya hidup, serta masih banyak lagi menjadi suatu yang sangat-sangat perlu diperhatikan. Banyaknya kelompok agama Islam yang mendirikan suatu pendidikan baik formal, non formal atau yang lainnya bisa dikatakan hanya memberikan suatu bentuk pendidikan tentang alam surgawi, membentuk ahli-ahli pencipta kehidupan selanjutnya, namun kurang memperhatikan kehidupan sekarang. Banyak data yang menyebutkan tentang hal ini.. . Contribution Of Mathematic Models To Islamic Economic (International Journal of Ethics and Systems), Islamic Finance: Financial Inclusion Or Migration (International Journal of Islamic Finance), Islamic Monetary Economics: Insights From Literature (Islamic Research and Training Institute), dan masih banyak lagi.
Menurut penulis, selagi masih adanya doktrin "Tidak apa-apa menderita di dunia, asal tidak di akhirat" akan sangat sulit bagi umat Islam khususnya di kalangan pedesaan untuk mampu bertumbuh dan berkembang menuju pada arah "kesejahteraan" seperti apa yang banyak orang inginkan. Juga "Banyak anak, banyak rezeki"Â sedangkan sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas, hal ini hanya akan menjadikan kesengsaraan yang terus berulang dan berputar-putar pada generasi penerus (jika dikaitkan pada kehidupan sekarang).
Pendidikan yang senantiasa selalu bertumbuh, dari yang wajib belajar 9 tahun, menjadi 12 tahun, bahkan dengan perkembangan dunia sekarang akan lebih dituntut lagi menjadi minimal strata 1 atau diploma 4, bahkan masih ada sekolah untuk profesi setelah lulus strata 1 atau diploma 4. Tentunya peran orang tua, serta akses informasi, dan keterbukaan pikiran harus lebih-lebih disosialisasikan agar terjadi kenaikan kelas dan meningkatkan status derajat hidup keluarga. Masih lagi kita harus berjuang dalam persaingan global.
Ini sangat penting (menurut penulis), bukan hanya memberikan suatu puja-puji saja pada suatu kelompok dalam agama, namun juga kita perlu kritisi agar menjadikan suatu peningkatan dan perkembangan ke arah yang lebih baik lagi.
Pentingnya agama terjun pada bidang-bidang keahlian tertentu, seperti; teknologi, ilmu alam, ekonomi, serta lainya untuk menunjang pemberdayaan umat serta mencapai kemandirian ekonomi umat.
Kita juga perlu mengingat tentang pelabelan "Teroris" pada umat islam, juga "Islam Radikal", dan yang lainnya. Menurut hemat penulis kejadian ini bukan dikarenakan karena kesalahan dalam penafsiran ajaran agama, namun dikarenakan kesengajaan yang mana dilatar belakangi dari suatu bentuk ketidak berdayaan, kemelaratan, serta ketidak adilan dalam kehidupan umat. Ketertinggalan dalam berbagai akses serta kesengsaraan hidup menjadi faktor utama terjadinya hal tersebut, yang mana dengan embel-embel masuk surga para pelaku suka-rela melakukan hal tersebut, tentunya didasari dari kehidupan di dunia yang sengsara.