PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG ITE DALAM PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN MELALUI MEDIA SOSIAL
ABSTRAK
Seiring dengan berkembang pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini, merupakan salah satu penyebab perubahan kegiatan masyarakat di berbagai bidang yang dapat mempengaruhi timbulnya bentuk-bentuk tindakan hukum baru. Ujaran kebencian menjadi topik yang paling berpengaruh karena berpotensi mengancam persatuan bangsa. Dijelaskan bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bentuk perwujudan dari tanggung jawab yang harus diemban oleh Negara, untuk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktivitas penggunaan teknologi informasi dan komunikasi agar terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Harapannya aparat penegak hukum perlu meningkatkan kinerja dikalangan aparat penegak hukum dalam mencegah tindak pidana penyebaran berita yang melanggar hukum di media sosial, dan kepada Pemerintah yang berwenang wajib untuk meningkatkan penggunaan sarana dan prasarana dalam pencegahan tindakan yang dapat merugikan pihak lain akibat berita palsu di media sosial. Diimbangi dengan masyarakat yang lebih berhati-hati dan lebih cerdas menyaring informasi yang diterima di media sosial dan tidak mudah untuk ikut menyebarkan informasi yang belum tentu sesuai dengan fakta.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alamnya, dan memiliki beragam suku, budaya, agama dan bahasa. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan ada 278.7 juta penduduk Indonesia pada 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 1,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 275,7 juta jiwa. Menurut catatan BPS, terdapat lebih dari 1.300 suku bangsa di Indonesia. Keberagaman tersebut dapat menjadi hal yang positif sebagai alat yang berpotensi untuk memajukan bangsa. Namun di sisi lain dapat menjadi hal yang negatif apabila tidak dapat mengelola keberagaman dengan baik, ditambah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin berkembang.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95% menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Selamatta Sembiring mengatakan, situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Di era globalisasi, perkembangan Telekomunikasi dan Informatika (IT) sudah begitu pesat. Teknologi membuat jarak tidak menjadi masalah bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi. Internet tentu saja menjadi salah satu medianya. Indonesia menempati peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia, hanya kalah dari USA, Brazil, Jepang dan Inggris. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa Indonesia tergolong aktif di dunia internet.
Dari banyaknya informasi terutama yang ada di internet, informasi yang negatif atau tidak valid terkadang dapat memicu sikap untuk saling menjatuhkan, mencaci dan menyebarkan kebencian. Salah satu penyebab ujaran kebencian adalah kekecewaan individu karena mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dirasa atau dilakukannya. Didasari dengan kemudahan akses oleh siapapun melalui smartphone yang dapat digunakan kapan saja dan dimana saja. Kemudian ujaran kebencian itu dapat dilakukan lewat berbagai media, seperti media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, media massa online maupun cetak, dan spanduk atau pamflet.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya ketika berkomunikasi, sudah menjadi keharusan menggunakan etika yang baik dan benar. Sama halnya dengan memberikan informasi, tidak ada yang dikurangi atau dilebihkan dan tidak diputarbalikkan dari fakta yang sebenarnya. Menurut Saparinah Sadli, “perilaku menyimpang itu merupakan ancaman yang nyata atau ancaman norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial”. Kemudahan dan kebebasan seseorang untuk menerima, berbagi, dan memberi komentar melalui media sosial menunjukkan bahwa informasi yang diterima itu sesuka hati tanpa konfirmasi dari pihak yang bersangkutan.
Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. Namun Pasal ini masih menjadi perdebatan pro dan kontra. Di kubu kontra beranggapan bahwa Pasal ini adalah pasal karet yang hanya akan membatasi kebebasan masyarakat dalam berpendapat atau berekspresi di dunia maya maupun pers. Dan juga tidak ada penekanan delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini yang dianggap masih bersifat subjektif dan rentan pada multitafsir suatu protes, pemukaan pendapat, pikiran ataupun kritikan. Para ahli juga berpendapat bahwa Pasal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum karena pengertiaanya masih terlalu luas, singkat dan tidak detail secara materi dan subtansi.
Didukung oleh Pasal 156-157 dan Pasal 130-131 KUHP yang pada intinya mengatur larangan: 1) menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa Indonesia di depan umum; 2) menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum; dan 3) sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Terlebih khusus UU ITE Pasal 28 mengatur larangan ujaran kebencian dalam kaitan kegiatan transaksi elektronik sebagai berikut: 1) dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, dan 2) dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Media Kompas merilis tentang sanksi-sanksi bagi pelanggaran UU ITE sebagai berikut:
- Pasal 45 ayat 1: Hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar atas pendistribusian informasi elektronik bermuatan asusila.
- Pasal 45 ayat 2: Hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar atas penyebaran berita bohong.
- Pasal 45 ayat 3: Hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda maksimal Rp 2 milar atas ancaman penyebaran informasi elektronik bermuatan ancaman kekerasan.
- Pasal 46 ayat 1: Hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 600 juta atas peretasan terhadap sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun.
- Pasal 46 ayat 2: Hukuman pidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda maksimal Rp 700 juta atas peretasan terhadap sistem elektronik di lingkungan pemerintah atau pemerintah daerah.
- Pasal 46 ayat 3: Hukuman pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda maksimal Rp 800 juta atas penerobosan atau penjebolan terhadap sistem pengamanan komputer.
- Pasal 47: Hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 800 juta atas penyadapan sistem elektronik milik orang lain.
- Pasal 48 ayat 1: Hukuman pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar atas pengrusakan dokumen elektronik milik orang lain.
- Pasal 48 ayat 2: Hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun dan denda maksimal Rp 3 milar atas pemindahan atau mentransfer informasi elektronik kepada orang lain yang tidak berhak.
- Pasal 48 ayat 3: Hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar atas perbuatan membuka akses informasi elektronik yang sifatnya rahasia.
- Pasal 49: Hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar atas perbuatan mengganggu kinerja sistem elektronik.
- Pasal 50: Hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar atas perbuatan memfasilitasi perangkat keras maupun perangkat lunak untuk pelaku pelanggaran.
- Pasal 51: Hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda maksimal Rp 12 miliar atas pemalsuan dokumen elektronik.
Ancaman hukuman pidana diatas dimaksudkan untuk menjadi sebuah pedoman atau rambu-rambu bagi masyarakat melakukan segala jenis aktivitas di dalam sistem elektronik. Dampak yang diharapkan juga adalah masyarakat bisa mempertanggungjawabkan tindakannya saat menggunakan informasi teknologi elektronik, sehingga dalam media sosial tetap terjaga keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat dan negara.
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah melakukan pembahasan maka dapat dirangkum kesimpulan sebagai berikut:
- Bahwa dibuatnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bentuk perwujudan dari tanggung jawab yang harus diemban oleh Negara, untuk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktivitas penggunaan teknologi informasi dan komunikasi agar terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Seiring dengan berkembang pesatnya kemajuan teknologi informasi adalah penyebab perubahan kegiatan masyarakat di berbagai bidang yang dapat mempengaruhi timbulnya bentuk-bentuk tindakan hukum baru;
- Maraknya tindak pidana yang melanggar hukum di media sosial dan banyak yang harus mempertanggungjawabkan permasalahannya hingga menjalani hukuman di dalam perjara, diharapkan dapat menjadi maklum untuk setiap individu masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi tanpa mengurangi, menambahi atau memutarbalikkan fakta, lebih cerdas menyaring kembali informasi yang diterima dari media sosial, serta tidak mudah untuk ikut menyebarkan informasi yang belum diketahui fakta yang sebenarnya.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka adapun beberapa saran sebagai berikut:
- Meningkatkan kesadaran mematuhi hukum yang berlaku di masyarakat. Kesadaran hukum menjadi unsur yang sangat penting untuk diberlakukannya hukum secara efektif, efisien, dipahami dan ditaati oleh pengguna hukum tersebut.
- Diperlukan peningkatan kemampuan para anggota mulai dari aparat penegak hukum di lingkup terkecil di masyarakat sampai lingkup besar di Pemerintahan untuk menguasai bidang Informasi dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.bps.go.id diakses 19 Februari 2024.
https://www.kominfo.go.id diakses 19 Februari 2024.
Amir Mafri, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, PT. LogosWacana Ilmu, Jakarta 1999, Cetakan 2 hal. 66.
Poerwandari Kristi, “Gaduh di Media”. Kompas. Edisi 11 Februari 2024.
Monica Ayu Caesar Isabela, Nibras Nada Nailufar (2022, 12 Februari). Sanksi dalam UU ITE. Diakses pada 19 Februari 2024, dari https://nasional.kompas.com/read/2022/02/12/03000081/sanksi-dalam-uu-ite.
Elan, Situmeang, A., & Girsang, J. (2022). Efektivitas Undang-Undang ITE Dalam Menangani Ujaran Kebencian Melalui Media Sosial di Kota Batam. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 10(3), 83-99.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H