Janji adalah menyatakan kesediaan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, seperti memberi, menolong, dll. Selain itu, janji juga merupakan sebuah kontrak yang menandakan transaksi antara 2 orang atau lebih. Janji sendiri bisa disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Melanggar janji dapat dikatakan sebagai perbuatan tercela. Siapapun bisa berbuat janji, termasuk pemimpin-pemimpin di negara kita sendiri.
Politik dan janji adalah dua hal yang berkaitan erat karena tanggapan pemahaman orang atas relasi keduanya ternyata sangat tergantung pada situasi dan kepentingan politis. Politik dan janji memang tidak bisa dipisahkan karena hal tersebut dapat diibaratkan sebagai "suami-istri" yang akan selalu berpasangan. Maka dari itu, sering dikatakan setiap ada politik, pasti ada janji. Persoalannya adalah bukan terletak pada ada atau tidaknya janji, melainkan kualitas janji yang dikenal dengan sebutan politik praktis.
Saat ini dunia perpolitikan di Indonesia sedang ramai membahas pilpres yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 nanti. Adapun 2 calon kandidat yang terpilih sebagai capres dan cawapres, yaitu Ir .H. Joko Widodo dengan KH Ma'ruf Amin dan Letnan Jenderal (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo dengan H. Sandiaga Uno, B.B.A., M.B.A.
Biasanya, jika akan ada kegiatan pemilihan umum baik di negara Indonesia maupun negara yang lainnya, muncul berbagai macam pendapat rakyat untuk memilih calon pemimpin dari masing-masing individu maupun kelompok. Karena sejatinya, rakyat akan selalu melihat janji-janji yang telah diberikan oleh calon yang akan memimpinnya nanti. Walaupun berbeda-beda pendapat, tetapi pada dasarnya rakyat memilih karena mereka percaya bahwa pemimpin tersebut bisa menjadi pemimpin yang amanah, bijaksana, adil, dan tentunya bisa mengayomi rakyat agar dapat menjadikan negaranya lebih makmur dan sejahtera.
Jika dilihat dari pandangan politik, janji calon pemimpin yang akan mengikuti kegiatan pemilihan umum akan diutarakan pada saat waktu kampanye. Janji yang ada di dalam kampanye biasanya merupakan salah satu strategi kemenangan dalam berpolitik. Pada saat itulah para calon pemimpin memaparkan program-program terbaik yang sudah mereka rencanakan. Tujuannya untuk menarik simpati rakyat agar bisa mendukung calon pemimpin sampai bisa mengantarkan ke arah kemenangan. Mereka akan saling berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak dari rakyat. Pertanyaannya, apakah calon pemimpin ketika sudah terpilih bisa merealisasikan janji-janji yang sudah dipaparkan dalam berkampanye? atau hanya sekedar pemanis di awal saja? Kita lihat saja nanti.
Bicara soal menarik simpati rakyat, banyak manuver yang dilakukan calon-calon pemimpin untuk menarik dukungan atau simpati rakyat. Salah satu yang paling sering dilakukan adalah menjanjikan sesuatu hal yang baik kepada rakyat. Biasanya isi janjinya hanya meliputi kebijakan umum saja, seperti menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan, memberikan akses berupa modal untuk berwirausaha, tidak akan menaikan harga bensin dan kebutuhan pokok, ataupun janji untuk mengatasi berbagai masalah di daerah tersebut seperti banjir, kemiskinan, dan kemacetan.
Ternyata janji-janji tersebut pada kenyataannya seringkali tidak terealisasi dengan baik. Banyak sekali diantara mereka yang terpilih mengalami amnesia dadakan. Saat mereka sudah memimpin, mereka lupa akan janjinya saat kampanye dan malah menganggap janji tersebut sebagai angin lalu. Hal tersebut sering dikatakan oleh rakyat sebagai "janji palsu" yang merupakan dua buah kata yang sudah familiar di telinga kita karena merupakan salah satu jurus yang paling ampuh menurut calon pemimpin pada saat berorasi dalam kampanye.
Oleh sebab itu, sebagai rakyat, kita juga harus cerdas dan tak langsung percaya dengan janji-janji yang telah disampaikan. Jangan mudah termakan dengan janji-janji manis. Kita harus lebih bisa memilah mana yang bisa dikategorikan sebagai janji yang masuk akal (logis) dengan yang tidak. Jadilah pemilih yang cerdas karena pemilih yang cerdas akan menghasilkan pemimpin yang cerdas juga, betul bukan? Selain itu, kita juga jangan mudah percaya pada janji calon pemimpin yang terlalu berlebihan karena janji yang baik biasanya realistis dan betul-betul menyentuh pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Janji-janji yang baik mudah dilihat hasilnya, mudah diawasi dan dituntut pertanggungjawabannya.
Dalam ranah politik, calon pemimpin yang konsisten adalah calon pemimpin yang memegang peranan penting untuk melihat seberapa jauh kebenarannya terhadap janji yang diucapkannya selama kampanye berlangsung. Sekalipun rakyat sudah tidak percaya karena janji politik identik dengan kebohongan, hakikatnya dunia yang menerapkan sistem politik tanpa janji adalah politik yang buruk. Politik tanpa janji bisa terperosok menjadi sebuah pragmatisme yang tidak mempunyai pandangan jauh kedepan dan hanya berkutat dengan apa yang ada dihadapannya saat ini.
Bukan hanya itu, politik tanpa janji tidak patut disebut sebagai politik, mengapa demikian? Karena seorang politisi tanpa janji tidak akan memiliki visi. Tanpa visi, orang tidak akan memiliki arah yang jelas untuk melangkah karena visi merupakan janji yang disampaikan seorang calon pemimpin kepada rakyat berkaitan dengan kondisi ideal dalam momen untuk menjadi pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum.
Calon pemimpin juga harus sadar bahwa pada dasarnya kepemimpinan bukanlah sebuah momentum untuk mendapatkan kekuasaan semata melainkan tempat untuk merakit ide untuk kedepannya, mendesain bagaimana cara menyelesaikan masalah-masalah di wilayah maupun negara, sehingga mampu memimpin dengan baik. Selain itu, calon pemimpin harus jujur dengan diri sendiri, seperti jika tidak memiliki kesanggupan untuk merealisasikan janjinya dengan baik, katakanlah dengan jujur kepada rakyat karena seorang yang memiliki kelebihan adalah yang bisa mengakui keterbatasannya.
Apabila seorang pemimpin tidak bisa memimpin rakyatnya dengan baik dan benar, akan muncul dampak-dampak yang tidak baik pula, seperti tidak akan terciptanya hubungan yang harmonis antara rakyat dengan pemimpinnya, kericuhan (demo) dapat terjadi dimana-mana karena rakyat merasa dirugikan, dan bisa menimbulkan munculnya beberapa spekulasi tentang pemimpin yang menyebabkan rakyat tidak percaya lagi dengan pemimpinnya sendiri.
Oleh karena itu, siapa pun pemimpinnya nanti, jangan sampai melupakan janji-janji yang sudah diucapkan kepada rakyat dan jangan sampai menerapkan janji-janjinya seperti yang terjadi pada tahun 1873-1913 di mana pada saat itu Belanda telah melanggar dan mengingkari janjinya agar tidak merusak kemerdekaan rakyat Aceh. Sebab, pada dasarnya seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa dijadikan sebagai contoh tauladan untuk rakyat-rakyatnya dan mengerti bahwa bagaimanapun juga janji adalah hutang.
*Penulis merupakan mahasiswi mata kuliah Ilmu Politik semester I, Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H