Upaya hukum perpajakan adalah langkah-langkah yang diizinkan oleh Undang-Undang bagi Wajib Pajak guna mencapai keadilan. Wajib Pajak memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan hukum dalam kasus di mana Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diterimanya dianggap tidak mencerminkan situasi sebenarnya.
Upaya hukum pajak dapat dilakukan di internal DJP dan eksternal DJP. Upaya hukum yang terdapat di internal DJP adalah pembetulan, keberatan, dan pengurangan, penghapusan, dan pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak. Sedangkan, upaya hukum yang dapat dilakukan di luar DJP adalah Banding, Gugatan, dan Peninjauan Kembali.
Pada artikel berikut ini, kami akan memfokuskan pembahasan ke dalam Upaya Hukum Pajak di DJP.
1) Pembetulan
Langkah hukum awal yang dapat diambil oleh WP adalah melakukan pembetulan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang KUP, atas permohonan WP atau secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk memperbaiki Surat Ketetapan Pajak, SK Pembetulan, SK Keberatan, SK Pengurangan Sanksi Administrasi, SK Penghapusan, Sanksi Administrasi, SK Pengurangan Ketetapan Pajak, SK Pembatalan Ketetapan Pajak, SKPPKP, atau SK Pemberian Imbalan Bunga jika terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kesalahan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Waktu maksimum untuk menyelesaikan pembetulan atau memberikan keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak telah ditetapkan dalam Pasal 16 ayat 2 UU KUP, yaitu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
2) Keberatan
Menurut Pasal 26 ayat 1 UU KUP, Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak terkait dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tahunan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Negara (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), atau dalam situasi pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan, pembayaran pajak atas jumlah yang masih belum diselesaikan pada saat keberatan diajukan akan ditangguhkan hingga satu bulan setelah tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat 7 UU KUP.
Sanksi terkait dengan keberatan dijelaskan dalam Pasal 25 ayat 9 UU KUP, dimana jika permohonan Wajib Pajak ditolak atau hanya sebagian dikabulkan, Wajib Pajak akan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak yang diatur dalam keputusan keberatan, dikurangi dengan jumlah pajak yang telah dibayarkan sebelum mengajukan keberatan.
Keputusan terhadap keberatan harus diberikan dalam waktu maksimal 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk memberikan keputusan yang mencakup opsi mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, menolak, atau menentukan penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU KUP.
3) Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan
a) Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Menurut ketentuan Pasal 36 ayat 1(a) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak, secara jabatan maupun atas permohonan dari Wajib Pajak, memiliki wewenang untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan yang harus dibayarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini berlaku ketika sanksi tersebut dikenakan bukan karena kesalahan Wajib Pajak, melainkan karena kekhilafan atau ketidaktahuan yang bersifat tidak sengaja.
b) Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak
Berdasarkan Pasal 36 ayat 1(b) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak memiliki kewenangan untuk mengurangkan atau bahkan membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang dinilai tidak benar.
c) Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak
Menurut ketentuan Pasal 36 ayat 1(c) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan maupun berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak, dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pasal 14 apabila dianggap tidak benar.
d) Pembatalan Surat Ketetapan Pajak
Menurut Pasal 36 ayat 1(d) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak baik secara jabatan maupun atas permohonan dari Wajib Pajak, dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan Pajak yang berasal dari pemeriksaan yang dilakukan tanpa adanya penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Wajib Pajak memiliki batasan maksimal untuk mengajukan permohonan pengurangan, penghapusan, atau pembatalan, yaitu sebanyak 2 kali, kecuali dalam situasi permohonan pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat 1(d), yang hanya dapat diajukan satu kali.
Dalam waktu psling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan, Direktur Jenderal Pajak diharuskan memberikan Keputusan terkait permohonan yang diajukan. Jika melewati batas waktu tersebut tanpa adanya keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap telah disetujui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H