Mohon tunggu...
Wilujeng Windhiari
Wilujeng Windhiari Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar Sepanjang Hayat

Ibu rumah tangga, satu putra. Penulis buku-buku Ekonomi dan Akuntansi. Kadang jadi editor. Pernah jadi murid, mahasiswa, guru, akuntan, auditor, pebisnis, penjual sekaligus cs. From all of that, the best thing and I Love so much, is become a housewife and mother of my son.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Urip Sak Madyo" Jurus Ampuh Menghadapi Ketidakpastian Akibat Corona

11 April 2020   19:52 Diperbarui: 11 April 2020   19:52 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Bayu Syaits on Unsplash

Corona, makhluk yang amat sangat kecil telah mengoyak kehidupan manusia di muka bumi. Jika selama ini kita sering meremehkan yang kecil-kecil, mulai sekarang haruslah sadar diri. Virus yang konon masih bersaudara dengan flu tersebut, tidak hanya merusak kesehatan, namun juga tatanan keuangan. Acara-acara besar yang mendatangkan khalayak banyak, terancam betul-betul jadi sayur trancam (baca:runyam). Maka tidak salah, jika kemudian hubungan kekasih berakhir jadi mantan. 

Semenjak kedatangannya yang tidak diharapkan di bumi pertiwi, membuat orang se-nusantara takut dan panik, kemudian melahirkan aneka jenis kepanikan. Masih terekam kuat dalam ingatan, di awal Maret lalu, setelah diumumkannya corona juga menyambangi Indonesia, segera saja masker dan alkohol menjadi barang langka di pasaran.

Orang-orang dengan uang berlebih atau mungkin ketakutan berlebih, memborong masker. Tak lama kemudian malah ada dua orang yang berbelanja dengan mengenakan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap. Padahal para perawat dan dokter yang berada di garda depan peperangan melawan corona, sampai menggunakan jas hujan kresek sebagai APD. Hal tersebut menguraikan, bagaimana kepanikan yang berlebih membuat sebagian dari kita berpikir kurang jernih dan berlebih-lebihan. Fenomena-fenomena kepanikan tersebut, bukan tidak mungkin akan merembet ke kepanikan yang lain, termasuk kepanikan keuangan.   

Kepanikan keuangan dalam sejarah dunia selalu menimbulkan krisis. Sebagaimana great depression di era 1930-an yang menyerang Amerika, juga diperparah dan dipercepat akibat terjadi kepanikan di masyarakat. Pada masa itu, pemilik modal dan tabungan menarik dananya secara besar-besaran, serta masyarakat umum benar-benar mengurangi pengeluarannya. Otomatis, perekonomian tidak bisa berjalan dengan normal.

Produsen tidak bisa memproduksi barang, konsumen tidak berani mengeluarkan dana. Alur kegiatan ekonomi-pun macet. Krisis melanda, dan perekonomian negara adidaya tersebut ambruk. Bahkan dikenang hingga 9 dekade berikutnya. Sebuah harga mahal yang harus dibayar dari sebuah kepanikan. 

Lalu bagaimana dengan situasi pandemik Corona yang menimbulkan ketidakpastian seperti sekarang?

Sebenarnya, kearifan lokal Indonesia, khususnya Jawa (sebab saya orang Jawa) telah mengajarkan satu hal, yaitu "Urip Sak Madyo" yang jika dimaknai secara bebas adalah hidup seadanya tak berlebihan. Kearifan lokal tersebut, nyatanya ada dalam Islam yang disebut dengan Qona'ah, dalam agama Budha juga diajarkan. Kaum milenial menyebutnya dengan hidup minimalis, dan mulai banyak digemari di negara-negara maju. Rumusnya sederhana, yaitu mensyukuri terhadap apa yang dimiliki, pergunakan secukupnya, jika berlebih berikan pada yang lain. Cukup mudah diingat, dan sepertinya memang sangat sederhana. Lalu bagaimana penerapannya?  

1. Mensyukuri Atas yang Dimiliki

Corona mengajari kita untuk bersyukur atas segala hal yang kita miliki, terutama kesehatan. Selalu bersyukur akan meredam kepanikan, dan menambah kemampuan untuk bersabar. Baik pemilik pendapatan tetap atau tidak tetap, bisa kembali lebih care pada keluarga.

Cara bersyukur paling mudah adalah dengan mengambil sisi positif setiap kejadian.

Energi bersyukur ini, akan menggerakkan roda perekonomian. Sebab pedagang akan tetap berdagang, investor tetap menggelontorkan dananya, dan konsumen akan terus berbelanja, meskipun harus melakukan pengetatan. Bersyukur adalah cara bertahan terbaik di segala kondisi.

2. Pergunakan Secukupnya

Mengenakan APD untuk berbelanja adalah hak asasi, demikian pula dengan penarikan dana di bank atau melakukan panic buying. Namun benarkah semua yang dilakukan tersebut? Apakah tidak ada yang akan dirugikan? Bila berpikir dengan lebih jernih, manusia hanya memiliki satu mulut untuk makan, dua tangan untuk memegang dan dua kaki untuk berjalan.

Penuhilah kebutuhan dasar tersebut, dan cukup.

Semakin serakah, maka tidak akan cukup.

Satu contoh sederhana, jika dilakukan penarikan dana besar-besaran dari Bank, maka institusi ini akan mengalami kemacetan dalam membiayai operasionalnya, serta penyaluran kredit akan macet, dan tentu saja mendorong ke arah kebangkrutan. Hal tersebut tidak perlu dilakukan, sebab tidak lama perekonomian akan kembali membaik. Jika terjadi kebangkrutan perbankan, bukan hanya pemilik bank dan pegawai bank yang rugi, seluruh bangsa akan menghadapi dampaknya. 

3. Berbagilah Jika Berlebih

Setiap dari kita selalu merasa kurang akan sesuatu. Namun jika mau merenung tentu kita memiliki kelebihan-kelebihan.

Di masa pandemic, sekiranya setiap kita harus menggali kelebihan yang dimiliki.

Apabila memiliki kelebihan harta, maka mulai untuk berbagi dengan bersedekah. Sehingga sebangsa yang kurang beruntung akibat adanya pandemic akan merasa terlindungi.

Jika berlebih dalam menyebarkan berita di media sosial, maka berbagilah berita yang positif, sebab berita negatif akan menyebabkan kecemasan dan distorsi. Jika berlebih dalam hal kesehatan, berbagilah tips dengan sesama yang mencemaskan kesehatannya. Serta masih banyak lagi kelebihan yang dapat kita bagi dengan sesama. Galilah, galilah dan berbagi hal yang positif.

Bonusnya, Badai Pasti Berlalu

Panik bersaudara dengan takut, cemas, gelisah, yang ujung-ujungnya selalu membawa keburukan.

Segala krisis dan pendemik atau wabah, pasti ada siklusnya, yang mirip dengan alur dalam novel, perkenalan-konflik-klimaks-anti klimak-penyelesaian. Sebagaimana pandemik Corona, yang sudah mulai menemui titik terang, dengan ditemukannya obat atau vaksin untuk penyakit tersebut. Di Wuhan sendiri, tempat pertama kali virus Corona muncul, lockdown sudah tidak diberlakukan. Sedangkan ahli-ahli di Indonesia, memprediksi puncak penyebaran Corona adalah Bulan Mei. Jika sudah mencapai klimaks, maka akan segera ditemui anti klimaks.

Perekonomian yang mengalami kelesuan saat ini, bahkan diprediksi penurunan pertumbuhan GDP dunia mencapai 0,5%, tentu juga akan dialami oleh Indonesia. Akan tetapi siklus perekonomian ibarat gerakan transversal, ada dasar dan puncak. Umumnya setelah terjadi krisis atau kelesuan, yang mencapai dasar, maka dengan segera perekonomian akan berbenah dan kembali berada di tren positif. Bahkan pertumbuhannya bisa lebih tinggi dari kondisi sebelum krisis.

Kabar baiknya, berdasarkan disertasi Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, yang dilakukan Sabirin pada akhir 2019, menunjukkan bahwa saat Indonesia menderita krisis, maka diperlukan waktu 3 tahun untuk kembali stabil. Maka tidak berlebihan pula jika pemerintah melonggarkan defisit untuk masa 2020-2022. Tinggal kita sebagai masyarakat, mendukung dengan melakukan tiga rumus "Urip Sak Madyo" di atas.  

Jadi di rumah aja, tetap sehat, jangan panik. Badai pasti berlalu dan tidak akan tinggal berlama-lama, asal kita melakukan "Urip Sak Madyo".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun