Corona, makhluk yang amat sangat kecil telah mengoyak kehidupan manusia di muka bumi. Jika selama ini kita sering meremehkan yang kecil-kecil, mulai sekarang haruslah sadar diri. Virus yang konon masih bersaudara dengan flu tersebut, tidak hanya merusak kesehatan, namun juga tatanan keuangan. Acara-acara besar yang mendatangkan khalayak banyak, terancam betul-betul jadi sayur trancam (baca:runyam). Maka tidak salah, jika kemudian hubungan kekasih berakhir jadi mantan.Â
Semenjak kedatangannya yang tidak diharapkan di bumi pertiwi, membuat orang se-nusantara takut dan panik, kemudian melahirkan aneka jenis kepanikan. Masih terekam kuat dalam ingatan, di awal Maret lalu, setelah diumumkannya corona juga menyambangi Indonesia, segera saja masker dan alkohol menjadi barang langka di pasaran.
Orang-orang dengan uang berlebih atau mungkin ketakutan berlebih, memborong masker. Tak lama kemudian malah ada dua orang yang berbelanja dengan mengenakan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap. Padahal para perawat dan dokter yang berada di garda depan peperangan melawan corona, sampai menggunakan jas hujan kresek sebagai APD. Hal tersebut menguraikan, bagaimana kepanikan yang berlebih membuat sebagian dari kita berpikir kurang jernih dan berlebih-lebihan. Fenomena-fenomena kepanikan tersebut, bukan tidak mungkin akan merembet ke kepanikan yang lain, termasuk kepanikan keuangan. Â Â
Kepanikan keuangan dalam sejarah dunia selalu menimbulkan krisis. Sebagaimana great depression di era 1930-an yang menyerang Amerika, juga diperparah dan dipercepat akibat terjadi kepanikan di masyarakat. Pada masa itu, pemilik modal dan tabungan menarik dananya secara besar-besaran, serta masyarakat umum benar-benar mengurangi pengeluarannya. Otomatis, perekonomian tidak bisa berjalan dengan normal.
Produsen tidak bisa memproduksi barang, konsumen tidak berani mengeluarkan dana. Alur kegiatan ekonomi-pun macet. Krisis melanda, dan perekonomian negara adidaya tersebut ambruk. Bahkan dikenang hingga 9 dekade berikutnya. Sebuah harga mahal yang harus dibayar dari sebuah kepanikan.Â
Lalu bagaimana dengan situasi pandemik Corona yang menimbulkan ketidakpastian seperti sekarang?
Sebenarnya, kearifan lokal Indonesia, khususnya Jawa (sebab saya orang Jawa) telah mengajarkan satu hal, yaitu "Urip Sak Madyo" yang jika dimaknai secara bebas adalah hidup seadanya tak berlebihan. Kearifan lokal tersebut, nyatanya ada dalam Islam yang disebut dengan Qona'ah, dalam agama Budha juga diajarkan. Kaum milenial menyebutnya dengan hidup minimalis, dan mulai banyak digemari di negara-negara maju. Rumusnya sederhana, yaitu mensyukuri terhadap apa yang dimiliki, pergunakan secukupnya, jika berlebih berikan pada yang lain. Cukup mudah diingat, dan sepertinya memang sangat sederhana. Lalu bagaimana penerapannya? Â
1. Mensyukuri Atas yang Dimiliki
Corona mengajari kita untuk bersyukur atas segala hal yang kita miliki, terutama kesehatan. Selalu bersyukur akan meredam kepanikan, dan menambah kemampuan untuk bersabar. Baik pemilik pendapatan tetap atau tidak tetap, bisa kembali lebih care pada keluarga.
Cara bersyukur paling mudah adalah dengan mengambil sisi positif setiap kejadian.
Energi bersyukur ini, akan menggerakkan roda perekonomian. Sebab pedagang akan tetap berdagang, investor tetap menggelontorkan dananya, dan konsumen akan terus berbelanja, meskipun harus melakukan pengetatan. Bersyukur adalah cara bertahan terbaik di segala kondisi.