Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Administrasi - Mamanya Toby & Orlee

Pekerja yang nggak punya kerjaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Donker Hotel

24 Februari 2020   01:01 Diperbarui: 25 Februari 2020   18:56 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kamar hotel. (sumber: gobatam.id)

Kenalkan, namaku Peter. Aku menyewa kamar no.6 di lantai 9 hotel ini. Aku menghabiskan banyak uang untuk menetap di sini. Namun uangku akhirnya habis. Tapi aku tak mau pindah kemana-mana. 

Aku sudah sangat nyaman berada di sini. Satu-satunya harta yang kupunya hanya satu tas penuh berisikan logam emas milik mendiang kakek buyutku. Aku mencurinya dari brankas bawah tanah rumah ibu. 

Mulanya keluarga besarku mencari tahu dimana aku berada, tapi itu semata-mata hanya karena harta warisan ini, bukan karena mereka mencintaiku. 

Dengan terpaksa kuberikan tas itu pada pihak hotel, namun aku lupa kapan tepatnya. Tapi aku yakin emas-emas itu bisa untuk membiayai tagihan uang sewaku selama di sini, seumur hidup.

Entah sudah berapa lama aku di sini. Mungkin keluargaku pun sudah tak ingin tahu keberadaanku karena lelah dengan semua jalan buntu yang mereka dapatkan tentangku.

Hotel ini sangat sepi, kuyakin hanya aku satu-satunya yang masih ingin ada di sini. Pemilik hotel itu berganti-ganti, juga namanya. Tapi hanya pemilik yang terakhir yang mau berinteraksi denganku. Orangnya ramah. Sangat ramah. Anice namanya.

Saat malam menjelang, Anice selalu menemaniku di teras belakang hotel. Teras bahkan bahkan lebih nyaman dari pada di dalam kamar. Seakan ada sesuatu yang menarikku untuk selalu ke sana. 

Anice tak banyak bicara. Namun sepertinya dia adalah teman yang baik. Aku kerap menanyakan mengapa hotel ini sepi? Dan mengapa aku sering mencium ada benda yang terbakar dari dalam kamar? 

Anice hanya bilang mungkin itu terjadi saat dia tengah menyuruh orang membakar daun-daun yang gugur dari pohon-pohon tua yang ada di lingkungan hotel. Memang hotel ini sangat tidak terawat. 

Bukan seperti hotel yang kalian bayangkan. Makanya aku tak heran jika hotel ini tak pernah lagi dikunjungi. Namun Anice kelihatannya tidak terlalu khawatir jika hotel ini sangat sepi pengunjung. Ya, aku lupa kapan terakhir kali aku menemukan ada tamu selain diriku di sini.

Sampai pada suatu ketika, aku mendengar ada suara orang di luar kamarku. Aku mengintip dari peephole. 5 anak muda dengan 2 kamera di tangan mereka. 

Mereka sepertinya ingin masuk ke kamarku. Tapi untuk apa? Apa mereka maling? Memang hotel ini tak punya petugas keamanan, tapi seharusnya mereka tak punya niat jelek seperti ini. 

Tapi mengapa mereka tahu hanya kamar ini satu-satunya yang berpenghuni? Sepertinya mereka bukan maling, penampilan mereka tidak menunjukkan demikian. Lagipula aku tak memiliki apapun lagi. 

Apa yang ingin mereka ambil dariku? Apakah mereka orang-orang suruhan keluargaku yang masih menginginkan setumpuk kepingan emas itu? Ah, ya. Mungkin saja. Aku tetap mengintip, aku harus memastikan mereka tidak akan pernah masuk ke sini.

"Ini dia kamarnya, sesuai perjanjian, kita akan masuk pelan-pelan. Kita tidak boleh merusak apapun di sini." Ujar seorang anak muda yang berkaos hitam.

"Tapi aku takut, bagaimana jika..." ucap salah seorang gadis diantara mereka.

"Sudahlah, kau yang memutuskan tujuan kita malam ini. Mengapa kau berubah menjadi seorang penakut?" balas pria berkaos hitam tadi. Sementara 3 anak muda yang tersisa terus merekam kedua temannya yang sedang adu argumentasi.

Itu percakapan yang kudengar dari mereka. Benar dugaanku, mereka berniat tidak baik.

Kumantapkan niatku setelah kupastikan mereka tidak memegang senjata tajam. Sebelum mereka menerobos masuk, aku dulu yang harus membuka pintu dan menangkap mereka. Posturku lebih besar, tidak mungkin aku tak bisa melawan anak-anak nakal ini.

Saat aku membuka pintu, sontak mereka terkejut, dan berlari sangat cepat tanpa arah. Sayangnya salah satu dari kamera yang mereka bawa terjatuh, dan mereka benar-benar tak mempedulikannya.

Aku mengambil kamera yang masih dalam keadaan menyala dan terus merekam. Aku kembali masuk ke kamar. Ini seperti kamera mahal dan modern. Tapi aku pasti bisa mengoperasikannya.

Aku mencari dimana aku bisa membuka hasil rekaman-rekaman mereka. Lumayan untuk hiburan malam ini, pikirku. Pilihanku jatuh pada salah satu video yang terbaru. Ya, dua jam sebelum kamera ini sampai di tanganku. Kuputar tombol play. Kulihat wajah-wajah para anak muda itu di sana.

"Hi, aku Hendric anak pemilik Hotel Donker. Malam ini kami akan coba membuat liputan tentang salah satu kamar hotel yang menurut ibuku, Anice Donker, dihuni oleh sesosok arwah. Ibuku yang seorang indigo bisa berinteraksi dengannya. 

Hotel ini dibeli ibuku dengan harga yang sangat murah karena kebakaran yang terjadi 13 tahun lalu dan menewaskan seorang pria keturunan Belanda bernama Peter Hoff. 

Berdasarkan kliping Koran yang disimpan ibuku, saat kebakaran berlangsung, Peter Hoff dalam keadaan mabuk berat sehingga dia tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah terperangkap di dalam hotel yang sudah terlalap api. 

Jenazah Peter Hoff dimakamkan pihak hotel di teras belakang karena tak ada pihak keluarga yang mau menjemput jenazahnya. Dan arwahnya masih terus berkeliaran di hotel Donker sehingga tak satupun tamu yang berani menginap di sana."

------------------------------------------------ALA--------------------------------------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun