Mohon tunggu...
Ajeng Gendis
Ajeng Gendis Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Money

Prospek Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia di Pasar Dunia

14 Oktober 2021   20:39 Diperbarui: 14 Oktober 2021   21:18 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : BPS, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Perdagangan

Pemerintah bertekad untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi dan berkesinambungan melalui peningkatan pertumbuhan investasi dan surplus neraca perdagangan. 

Tekad ini didasari atas kenyataan semakin melandainya pertumbuhan konsumsi dan belanja pemerintah yang selama ini menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk pertumbuhan sektor pertanian. 

Namun demikian, tidaklah mudah untuk menjadi eksportir yang berkelanjutan di era pasar global yang semakin ketat persaingannya, karena banyaknya kendala dan persyaratan yang harus dipenuhi.

Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO dan sejak ratifikasi UU No. 7/1994, yang berarti Inonesia telah terikat sistem dan aturan perdagangan multilateral (WTO). Indonesia juga telah terikat dengan aturan perdagangan plurilateral atau regional, antara ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN plus FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perjanjian bilateral antara Indonesia dengan masing-masing negara mitra dagang, dan setiap dari masing masing forummemiliki aturan yang berdsifat mengikat dan harus dipatuhhioleh setiap negara anggota.

Perlu dipahami tingkat keterbukaan pasar (besaran tarif impor yang berlaku) berbeda antara ketiga sistem perdagangan diatas, dimana yang paling terbuka adalah aturan bilateral disusul plurilateral/regional dan paling konservatif dan menjadi bench mark adalah aturan WTO. Untuk WTO, dikenal adanya "bound tariffs" yakni tingkat tarif impor tertinggi yang dapat diterapkan dan telah dikomitmenkan oleh setiap negara anggota WTO.

Namun demikian, meskipun hambatan tarif berkurang bahkan nol persen di ASEAN, tetapi banyak persyaratan dan hambatan non-tarif (Technical Barriers to Trade-TBT) termasuk Sanitary dan Phyto-sanitary (SPS) yang berlaku dalam sistem perdagangan global yang semakin kompetitif.

Fakta empiris sampai saat ini memperlihatkan bahwa produk dan produk ekspor pertanian Indonesia belum mampu memenuhi persyaratan mutu dan standar kualitas ekspor yang diminta negara importir. Hal ini menjadi tantangan dan kendala utama dalam peningkatan dan keberlanjutan ekspor produk pertanian Indonesia di masa mendatang.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektir yang kerap mengalami fluktuasi dalam perdagangan ekspor impor. Surplus neraca perdagangan sektor pertanian selama 5 tahun terakhir disebabkan oleh surplus perdagangan di sub-sektor perkebunan, yang melebihi defisit neraca perdagangan di sub-sektor tanaman pangan, hortikultura, perikanan, kehutanan dan peternakan. Berikut merupakan tabel nilai ekspor dan impor hasil pertanian pada tahun 2016-2020.

Tabel 1.  Nilai Ekspor-Impor Produk Pertanian Tahun 2016-2020.

Hanya sub-sektor perkebunan yang mengalami surplus neraca perdagangan selama tahun 2016-2020, dengan nilai ekspor yang cenderung stabil. Pada tahun 2017, surplus neraca perdagangan sub-sektor perkebunan tercatat sebesar USD 19,794.7 juta menurun menjadi USD 14,122.4 juta pada tahun 2019. 

Penurunan nilai surplus neraca perdagangan sub-sektor perkebunan terutama akibat langsung dari menurunnya harga dunia minyak sawit dan beberapa produk perkebunan lain yang diekspor Indonesia dan juga adanya penurunan volume produksi pada sektor perkebunan.

Berdasarkan rata-rata nilai ekspor tahun 2016-2020, diketahui sepuluh produk ekspor perkebunan yaitu kelapa sawit, karet, kakao, kopi, kelapa, lada, tembakau, teh, pala, dan kacang mede. Secara agregat perkebunan maupun kesepuluh produk perkebunan tersebut, nilai ekspornya cenderung turun. 

Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan kinerja perdagangan dari sub-sektor perkebunan selama tahun 2016-2020. Banyak faktor diduga menjadi penyebab penurunan kinerja ekspor produk perkebunan, antara lain menurunnya kapasitas produksi dan daya saing produk di pasar tujuan ekspor.

Meningkatnya defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan, hortikultura dan peternakan, serta menurunnya surplus neraca perdagangan produk perkebunan harus dicermati dan diantisipasi. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkualitas dan berkelanjutan dengan memacu surplus neraca perdagangan.

Dalam perdagangan produk pertanian Intra-ASEAN tahun 2020, Indonesia terlihat unggul dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, terlihat dari total nilai perdagangan pertanian, besarnya nilai ekspor dan relatif kecilnya nilai impornya. Sebagaimana diuraikan diatas, keunggulan ekspor Indonesia terletak di sub-sektor perkebunan.

Tabel 2. Nilai dan Neraca Perdagangan Produk Pertanian Intra-ASEAN, 

Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database, 2020
Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database, 2020

Catatan: Produk pertanian mencakup: edible vegetables (HS 07), edible fruits and nuts, peels of citrus fruits and mellons (HS 08), coffee, tea, mate and spices (HS 09), cereals (HS 10), products of milling industry (HS 11), oil seeds and oleaganeous fruits, seeds and fruits (HS 12), animal & vegetable fats and oils (HS 15), preparators of meat, of fish or crustaceans (HS 16), preparatos of vegetables, fruits and nuts (HS 20).

Pada tahun 2020, seperti tertera pada Tabel 2, dari total nilai ekspor produk pertanian Intra-ASEAN sebesar USD 12,56 miliar, nilai ekspor Indonesia sebesar USD 3,78 miliar atau dengan pangsa 30,1%, disusul Vietnam dengan nilai ekspor sebesar USD 2,56 miliar (20,4%), Thailand dengan nilai USD 2,16 miliar (17,3%) dan Malaysia dengan nilai ekspor USD 2,12 milyar (16,9%).

Total nilai impor produk pertanian Intra-ASEAN tahun 2020 sebesar USD 11,7 miliar, dimana Malaysia menjadi importir utama dengan total nilai impor sebesar USD 2,45 miliar (20,8%), Filipina sebesar USD 2,11 miliar (17,9%), Vietnam sebesar USD 1,91 miliar (16,3%), dan Thailand sebesar USD 1,75 miliar (14,9%). Nilai impor Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan kelima negara ASEAN tersebut, yakni sebesar USD 603,65 juta dengan pangsa 5,1%.

Perkembangan kinerja ekspor-impor diatas menggambarkan orientasi ekonomi dan tingkat daya saing ekspor antar negara. Secara total, besarnya nilai dan laju perdagangan (ekspor-impor) Singapore, Malaysia, dan Thailand, menggambarkan bahwa ketiga negara ASEAN ini lebih mengandalkan perdagangansebagai sumber pertumbuhan ekonominya dibandingkan Indonesia dan negara ASEAN lain.

Untuk sub-sektor hortikultura, misalnya, harus diakui Thailand jauh lebih unggul dan berdayasaing dibandingkan Indonesia dan negara ASEAN lainnya, terbukti produk hortikulura Thailand membanjiri pasar ASEAN dan pasar global. Thailand dikenal sebagai salah satu eksportir buah-buahan tropis (tropical fruits) terbesar dunia. Buah-buahan dari Thailand, telah membanjiri pasar-pasar swalayan Indonesia, dengan penampilan produk yang menarik dan harga lebih murah.

Secara garis besar, komponen daya saing terbagi kedalam komponen yang melekat dalam produk dan komponen di luar produk. Komponen daya saing yang pertama antara lain mencakup produktivitas, efisiensi produksi dan kualitas yang terefleksi kedalam harga produk, standar mutu, dan kontinuitas pasokan. 

Sementara komponen diluar produk antara lain terkait dengan efisiensi pemasaran, distribusi dan sistem logistik secara keseluruhan. 

Komponen yang terakhir ini merupakan salah satu komponen penentu daya saing sektoral dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, meningkatnya daya saing produk pangan dan pertanian tidak hanya menjadi tugas Kementerian Pertanian, melainkan tanggung-jawab lintas Kementerian/Lembaga dibawah Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Fakta empiris memperlihatkan bahwa negara-negara yang berorientasi ekspor umumnya mengalokasikan anggaran lebih besar untuk kegiatan R&Dnya dibandingkan negara yang lebih berorientasi ke pasar dalam negeri (substitusi impor). Hal ini karena pasar ekspor menuntut produk berkualitas dan berdayasaing, yang hanya bisa dihasilkan dengan menggunakan manajemen dan teknologi produksi yang efisien. 

Teknologi dan manajemen produksi yang efisien umumnya dikuasai oleh negara berorientasi ekspor yang terus menerus berinvestasi dalam kegiatan R&D.

Kinerja perdagangan Indonesia, baik dalam perspektif ASEAN maupun global, berada di bawah kinerja Singapura, Malaysia, Thailand dan mulai disusul oleh Vietnam. Indonesia juga kalah bersaing dengan ketiga negara tersebut dalam menarik investasi asing, baik intra-ASEAN maupun ekstra-ASEAN. 

Jika tidak dilakukan pembenahan dan perbaikan dalam iklim usaha investasi dan perdagangan, diperkirakan defisit neraca perdagangan Indonesia akan semakin membesar dan akibatnya target pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi, perluasan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan akan semakin sulit dicapai.

Untuk menghadapi keterbukaan dan memenangkan persaingan di pasar regional dan global diperlukan kemampuan bersaing dalam menghasilkan produk barang dan jasa, mendistribusikan serta memasarkannya secara efisien. 

Daya saing menjadi kata kunci untuk memenangkan persaingan yang semakin ketat. Eksportir yang berdayasaing artinya mampu menghasilkan produk berkualitas secara efisien dengan harga terjangkau, mampu memenuhi persyaratan ekspor yang diminta negara importir dan mampu memenuhi kuota secara tepat waktu. 

Salah satu persyaratan dalam ekspor/impor produk pangan dan pertanian yang menjadi kendala bagi eksportir negara berkembang umumnya, termasuk eksportir Indonesia, adalah persyaratan Sanitary dan Phyto-sanitary (SPS). 

Persyaratan lain yang beberapa tahun terakhir mulai umum diterapkan oleh negara maju importir adalah aspek ketertelusuran (traceability) berikut berbagai atribut kualitas yang melekat dari produk impor.

Kebijakan pemerintah untuk terus meningkatkan sarana dan infrastruktur publik menjadi faktor penarik utama investor untuk berinvestasi dan mengembangkan usahanya di bidang pertanian pangan, hortikultura dan peternakan. 

Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki iklim usaha dan fasilitasi perdagangan, untuk lebih menarik PMA berinvestasi langsung di Indonesia, termasuk dalam kegiatan R&D. 

Pemerintah perlu memberikan insentif pajak (pembebasan dan pemotongan pajak) untuk mendorong investasi di R&D. Pemerintah perlu terus mendorong keterbukaan ekonomi dan berlakunya MEA diharapkan akan lebih memacu inovasi dan R&D di Indonesia, khususnya di bidang pangan dan pertanian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun