Pulau plastik, sebuah film dokumenter oleh Visinema Pictures, Kopernik, Akarumput, dan Watchdoc yang menceritakan perjuangan tiga individu melawan krisis polusi plastik sekali pakai di Indonesia. Mereka adalah Gede Robi, seorang vokalis band Navicula asal Bali yang menyuarakan kampanye lewat musiknya dan gerakan-gerakan lingkungan; Tiza Mafira, pengacara muda dari Jakarta yang aktif dalam gerakan penolakan plastik sekali pakai; dan Prigi Arisandi, ahli biologi, aktivis, dan penjaga sungai-sungai di Pulau Jawa.
Ketiga tokoh ini menelusuri sejauh mana jejak sampah plastik yang menyusup ke rantai makanan kita, bagaimana dampaknya terhadap manusia dan lingkungan, serta apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengurangi polusi plastik ini.
Film dibuka dengan eksperimen yang dilakukan di perairan laut Bali. Sample plastik dari berbagai jenis seperti oxodegradable, plastik yang terbuat dari singkong yang di klaim ramah lingkungan, sedotan, dan PLA. Lalu untuk membandingkannya, diikutsertakan pula pembungkus makanan berbahan dasar kertas. Sample-sample tersebut sengaja di benamkan di laut dengan kedalaman 8 meter selama 6 bulan, untuk mengetahui apakah dalam kurun waktu tersebut bahan-bahan plastik ini bisa terurai sempurna oleh alam atau tidak.
Berikutnya diperlihatkan data-data mengenai sampah plastik yang menunjukkan bahwa 70% sampah yang ada di laut itu datang dari daratan, akibatnya satu juta hewan laut mati setiap tahun karena sampah plastik. 300 Juta ton plastik di produksi setiap tahun, dan setengahnya adalah plastik sekali pakai yang hanya dipakai rata-rata selama 15 menit lalu dibuang. Di Indonesia sendiri, lebih dari 93 juta sedotan plastik dan 500 juta tas kresek terpakai setiap hari.
Di tempat lain, tepatnya di Pulau Damar, Kepulauan seribu, Jakarta. Tiza Mafira beserta kawan-kawannya melakukan aksi bersih-bersih pantai. Tiza mengatakan bahwa ketika melakukan aksi bersih-bersih pantai, sering kali menemukan kemasan sachet dari tahun 80-an. Membuktikan bahwa plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai dengan alam.
Kembali ke Bali. Untuk menghadiri pawai bebas plastik yang akan diadakan 21 juli 2019 di Jakarta. Robi melakukan perjalanan dari Bali ke Jakarta dengan menaiki truk yang badan truk tersebut sengaja di tulis "Tiap menit sampah plastik sebanyak 1 truk terbuang ke laut kita" dan "Tolak plastik sekali pakai" untuk mengampanyekan Indonesia bebas plastik. Yang mana truk ini akan menyusuri jalan dari Bali sampai ke Jakarta.
Dalam perjalanannya menuju Jakarta, diperlihatkan bahwa untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, Robi membawa wadah sendiri ketika berbelanja di pasar. Baik untuk berbelanja bahan makanan basah seperti ayam potong, ikan, dan tahu, juga berbelanja buah-buahan maupun sayuran. Ini merupakan salah satu langkah yang efektif untuk kompasianer tiru demi mengurangi plastik sekali pakai. Karena memang faktanya ketika kita berbelanja di pasar, hampir semua belanjaan kita akan dibungkus oleh tas plastik.
Beralih ke Prigi Arisandi di Jawa Timur. Bersama kawan-kawan dari ecoton,Prigi berdemonstrasi di dekat kantor konsulat jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Jawa Timur. Mereka memprotes Amerika Serikat yang mengimpor sampah rumah tangga berupa sampah-sampah plastik ke Indonesia.
Gresik, Jawa Timur. Gede Robi dan truknya akhirnya sampai di kota ini untuk berkunjung ke basecamp ecoton dan bertemu dengan Prigi Arisandi. Prigi mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya punya regulasi untuk melarang impor sampah plastik. Namun ternyata masih ada celah untuk meyelundupkan sampah-sampah plastik impor ini dengan adanya impor sampah kertas. Berdasarkan permendag No. 31 Tahun 2016, impor sampah kertas ini dikategorikan aman, artinya sampah kertas ini bebas masuk ke Indonesia, hanya diperiksa dokumennya saja, pihak bea cukai tidak bisa memeriksa. Sehingga dari sinilah celah untuk negara-negara maju menyelundupkan sampah plastiknya dengan mencampurkannya dengan sampah kertas.
Desa bangun, desa tempat pembuangan limbah plastik dari pabrik-pabrik kertas di sekitarnya. Â Hampir semua penduduk di desa ini mencari nafkah dengan bertani sampah plastik, ujar Prigi. Sampah-sampah plastik dan kertas yang tidak terpakai dari pabrik, mereka jemur agar kering, lalu mereka jual ke pabrik tahu dan pabrik kerupuk untuk bahan bakar.
Selama ini daur ulang diandalkan sebagai solusi untuk mengatasi sampah plastik. Namun, dari semua sampah plastik yang pernah diproduksi sejak tahun 1950-an, hanya 9 persen yang berhasil di daur ulang. 12 persen dibakar, dan 79 persen sisanya masih ada di bumi.
Masih bersama Prigi dan Robi, kali ini mereka memulai riset tentang mikroplastik. Plastik disebut sebagai mikroplastik adalah ketika plastik menjadi remahan atau serpihan dengan ukuran dibawah 0,5 milimeter.Â
Sample diambil dari isi perut ikan bandeng dari tambak yang ada di hilir Kali Porong, yang mana di bagian hulu kali ini merupakan aliran dari pembuangan limbah-limbah pabrik kertas. Hasil dari riset yang dilakukan oleh Andreas A. Kristanto, seorang peniliti senior dari ecoton, mengatakan bahwa ikan bandeng yang berada di sumber air yang sudah tercemar mikroplastik berpotensi untuk membawa zat-zat beracun ke tubuh ikan bandeng.
Ternyata mikroplastik tidak hanya ditemukan di ikan saja, melainkan di tubuh manusia juga. Andreas memulai riset mikroplastik dengan menggunakan sample feses dari Robi. Â Hasil yang mengejutkan, dalam sample feses Robi ditemukan sebanyak 103 per sepuluh gram partikel mikroplastik, 5 kali lipat dari hasil penelitian yang dilakukan di Universitas Vienna, yang mengambil sample 8 orang dari 8 negara. Semuanya positif dengan kisaran 20 partikel mikroplastik per sepuluh gram. Â
Mikroplastik ini menjadi bahaya karena dia mempunyai sifat mengikat polutan yang ada di lingkungan, seperti logam berat, pestisida, senyawa pengganggu endoktrin yang semua itu akan diangkut mikroplastik ke dalam tubuh kita melalui makanan yang kita konsumsi setiap hari yang tercemar mikroplastik. Polutan-polutan tersebut akhirnya masuk dan mengganggu sistem tubuh kita. Yang dapat menyebabkan gagal ginjal, diabetes melitus, impotensi, bahkan kanker.
Jakarta. Tiza Mafira dan kawan-kawannya mulai membahas tentang rencana mereka untuk mengadakan pawai bebas plastik pada 21 Juli 2019 yang mereka harapkan menjadi pawai bebas plastik terbesar di Indonesia.
Tiza dan kawan-kawan Indonesia diet sampah plastik turun ke jalan untuk kampanye pengurangan kantong plastik dalam kegiatan car free day. Mereka menukarkan tas plastik sekali pakai yang dibawa masyarakat dengan tas kain guna ulang secara gratis. Dengan harapan ketika berbelanja, masyarakat tidak perlu lagi membawa belanjaannya dengan tas plastik.
Yogyakarta. Robi dan Prigi menyempatkan diri untuk ikut dalam aksi bersih-bersih sungai dari sampah plastik yang dilakukan oleh LSM setempat. Mereka juga membuka laboratorium berjalan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat dampak buruk dari sampah plastik. Mereka juga mempersilahkan masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam penelitian feses 100 orang untuk menemukan mikroplastik di dalamnya.
Tak hanya dari masyarakat biasa, mereka juga menyasar para pejabat pemerintahan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian feses 100 orang ini. Diantaranya, Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti; Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto; dan Lurah Babakan Pasar Bogor, Rena Da Frina.
Di Jakarta, Tiza Mafira bersiap untuk pawai bebas plastik. Dia menjelaskan bahwa kegiatan ini murni tanpa ada sponsor dari korporasi apa pun. Karena mereka ingin menjaga kemurnian kegiatan ini dan menghindari adanya netizen yang nyinyir. Tiza bersama kawannya juga menyiapkan replika monster yang terbuat dari sampah-sampah plastik sebagai properti pawai.
Robi dan Prigi pun sampai ke Jakarta, bertemu dengan kawan-kawan sesama aktivis lingkungan untuk bersiap meramaikan Pawai Bebas Plastik.
21 Juli 2019. Robi, Prigi, dan Tiza akhirnya bertemu dalam Pawai Bebas Plastik yang akan dilakukan dari Bundaran HI menuju Monas. Tiza tidak menyangka massa yang datang untuk ikut meramaikan pawai ini sangatlah banyak.
Dari pawai ini diharapkan massa yang berpartisipasi membawa semangat untuk menolak plastik sekali pakai ini ke rumahnya. Mereka benar-benar mengubah gaya hidup mereka. Tidak hanya individunya tapi juga dapat memengaruhi orang-orang di sekitar mereka.
Pemerintah juga sangat diharapkan untuk ikut bergerak. Tidak hanya memikirkan pembangkit listrik tenaga sampah maupun tempat pembuangan akhir saja. Namun ini ada solusi yang jauh lebih awal yang harus dilakukan, yaitu melarang penggunaan plastik sekali pakai. Karena inilah yang sudah darurat, kita butuh regulasi pemerintah secepatnya.
Akhir dari film dokumenter ini, kita kembali ke perairan laut Bali. Mengambil sample plastik yang sudah kita benamkan di laut selama 6 bulan. Kita ingin melihat apakah plastik-plastik yang di klaim ramah lingkungan itu sudah terurai atau belum.
Ternyata semua sample plastik yang dibenamkan masih belum terurai, hanya ada perubahan dalam warnanya saja yang memudar. Sedangkan pembungkus makanan yang berbahan kertas sudah terurai, hilang, tidak meninggalkan sisa. Artinya, plastik-plastik yang di klaim ramah lingkungan ini, tidak benar-benar ramah lingkungan dan tidak memainkan peran penting untuk mengurangi sampah plastik di lautan.
Lalu bagimana 100 sample feses yang diteliti? Apakah mengandung mikroplastik atau tidak? Ya, 100 sample tersebut semuanya positif mengandung mikroplastik. Tidak menutup kemungkinan di dalam tubuh kita juga mengandung mikroplastik bukan?
Kompasianer bisa menonton film dokumenter ini di platform streaming Netflix. Happy Watching!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H