Maka sempurnalah eskalator itu berguna untuk manusia. Eskalator itu membawa tubuh-tubuh gempal manusia dengan prinsip dipercepat. Dan saat anak manusia tadi turun dari anakan tangga terakhir jadi konstanlah kecepatan eskalator kembali seperti semula. Eskalator ini berkerja dengan baik, mematuhi dengan baik pula dua prinsip dari sang penemu. Maka sempurnalah eskalator ini juga berguna menyadarkanku akan banyak hal ganjil beberapa menit selanjutnya.
Tanpa ada suara langkah kaki terburu-buru. Wanitaku muncul. Aku melihatnya tepat di bawah eskalator bersiap menjemput bersorak senang dalam hati. Namun aneh sepatunya tak berdecit saat mencium lantai. Aku tercekat. Bagaimana bisa? Langkahnya mulus bagai tak menyetuh dasar. Ia tersenyum ganjil namun masih anggun, tapi justru aku ketakutan sekarang. Ia tertawa, tawa yang ganjil, tapi justru aku berdoa agar ditulikan sekarang. Mengerikan. Sepersekian detik kemudian langkahnya mulai menginjak eskalator anak tangga pertama, namun tak ada desing. Eskalator mulai turun membawa tubuhnya dengan kecepatan konstan tanpa prinsip dipercepat. Aku tercekat. Aku baru menyadari keganjilan ini sungguh menakutkan. Aku merinding. Aku gemetar melihat wanitaku dalam hitungan detik sempurna berdiri di depanku berhadapan.
“sudah siap hidup di alamku?” maka malam ini wanitaku memberi jawabannya.
Malam ini, langit terlihat sangat suram. Bintang termakan gelap awan. Rembulan sembunyi cari tempat perlindungan. Langit pekat. Angin takut meniup. Sepi. Seluruh kehidupanku berubah. Persis saat aku berhadapan dengan wanitaku, saat itu petir menyambar memilukan hati. Guntur menggelegar. Langit terbolak-balik. Malam ini, pertanyaanku bagai lemparan sebuah dadu dengan enam matanya sempurna tertuliskan, ”Iya!”. dan bagai leparan dua buah dadu dengan dua belas matanya sempurna bertuliskan, ”Mati!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H