Mohon tunggu...
Ajar Alamsyah
Ajar Alamsyah Mohon Tunggu... Guru -

The little man.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sarjana Kertas dan Serobek Kertas Catatannya

9 Mei 2016   11:15 Diperbarui: 9 Mei 2016   11:45 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ODP & MO

Sarjana ialah manusia yang telah menamatkan studi strata satu. Kertas ya kertas. Apaan sih? Mood Pembaca sudah sayup-sayup karena gagyang garing di awal tulisan Penulis. Boks ini dinspirasi oleh dua hal. Pertama, tulisan Rhenald Kasali yang menggambarkan seperti apa Sarjana Kertas dan kedua, sedikit kesamaan Penulis dengan label Sarjana Kertas tersebut. 

Sebelum Penulis menguliahi Pembaca mengenai apa itu Sarjana Kertas, Penulis akan bercerita mengenai lapangan pekerjaan dewasa ini dimana instansi, institusi, dan khususnya perusahan-perusahan swasta yang memiliki disiplin tinggi atau etos kerja yang baik “masih” mencari tenaga kerja dengan kategori Official Development Program (ODP) dan Management Trainee(MO) yang berarti instansi, institusi, dan perusahaan-perusahaan tersebut masih ingin “menempa” para fresh graduateatau dengan bahasa yang lebih kasarnya instansi, institusi, dan perusahaan-perusahaan tersebut tidak atau belum percaya kalau para fresh graduate ini siap bekerja. Ya, karena prinsip ODP dan MO itu sama, yakni memberi kesempatan sekaligus evaluasi apakah “Anda” sumber daya manusia yang bisa diajak kerja sama (Are you good for business?).

Pengalaman Memang Mahal

Sebagai seorang yang masih belajar untuk menjadi seorang cendekia, Penulis bertanya pada batin, apa yang salah dengan sistem Perguruan Tinggi kita? Jawabannya kurikulumnya tidak bersambungan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Contoh konkretnya adalah Penulis sendiri. Hampir satu tahun menjadi seorang Sarjana dari FKIP jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Penulis merasa bahwa selama menjadi mahasiswa kurang dibekali dengan pengalaman riil di lapangan. 

Sebagai catatan, kurang lebih lima tahun Penulis menimba ilmu dan sudah mulai menemukan jati diri Penulis di ujung masa kelulusan (wisuda), Penulis hanya merasakan tiga bulan menjadi guru magang di mata kuliah Pengalaman Praktik Lapangan (PPL). Tiga bulan dari waktu kuliah yang rata-rata empat tahun itu terbilang sedikit, sangat sedikit. Penulis terus diisi kepalanya lewat materi dan materi ajar. Seharusnya para Elit Pendidikan yang memformulasikan Kurikulum Pendidikan Perguruan Tinggi lebih paham akan ungkapan yang terungkap-ungkap, “Tell me, I may forget. Teach me, I may remember. And involve me, I may learn.”

Penulis mengulang perihal hal tiga bulan karena saking kesalnya dengan pengalaman yang begitu sebentar, padahal di sana Penulis dan praktikan lainnya bisa belajar hal lebih banyak lagi. Begini kalau diibaratkan, ya karena Penulis jago dalam hal beribarat. Bayangkan Pembaca menikah dengan pasangan Pembaca, tanpa proses pengenalan khususnya pendewasaan, tanpa berantem, tanpa hari diem-dieman, tanpa hari saling membuat cemburu, tanpa hari yang terasa begitu lama dimana harus berhemat supaya dapat membeli kado, dan tanpa-tanpa lainnya. Ya, kurang lebih seperti itu. Tidak asyik!

Moral Hazard

Kondisi di atas diperparah dengan mental sosial lingkungan kita yang mengidolakan gelar. Jadi, di lingkungan yang bermental seperti itu, ketika Penulis sudah menjadi seperti ini, Prof. Ajar Alamsyah, Ph.D., Penulis sudah dianggap sebagai Dewa oleh mereka, tanpa dilihat rekam jejaknya, apa prestasinya, apa saja karyanya, dan tentu bagaimana gaya hidupnya yang menentukan derajat seorang pria. Jadi jangan heran jika ada yang berkampanye Politik dengan memajang gelar akademik yang begitu blink-blink. Karena mental yang tidak jauh seperti itu pula, niat melanjutkan studi pun juga bisa sekadar untuk naik jabatan. 

Jangan pula melupakan sistem yang mengsyaratkan apa yang ada di atas kertas ketimbang kecakapan yang biasanya tidak terlihat di atas kertas. Coba Pembaca googling dengan keywordsjual beli ijazah, Pembaca akan menemukan apa yang Penulis tidak perlu jelaskan lagi. Begitulah yang Penulis maksud dengan Sarjana Kertas ia dengan culas membeli gelar atau ia memang menyelesaikan studi tetapi tidak dapat apa-apa, ia hanya menghabiskan kertas untuk kuliah. Beruntung Penulis sadar akan kekurangan-kekurangan Penulis yang bila didiamkan akan pula membuat Penulis menjadi seorang Sarjana Kertas. Berikut kesalahan-kesalah Penulis yang tidak Penulis diamkan.

Pertama, niat Penulis waktu itu hanya mengejar nilai. Bahkan sebelum awal kuliah Penulis paham betul apa itu bedanya Cumlaude dan Summa-Cumlaude.

Kedua, karena niatnya yang sudah keliru, maka Penulis pun kurang bisa bergaul. Orang-orang mungkin menyebut Penulis an isolated man, seorang pria yang terisolasi, jangan dekati, mungkin ia psycho.

Ketiga, pertama lalu kedua dan membuat Penulis berpikir Penulislah yang paling benar atau lebih sengak-nya lagi penulislah yang satu-satunya berkompeten. Penulis melihat teman-teman lain sebagai underdogs.

Keempat, muncullah sikap arogan Penulis yang terlihat pada saat tugas kelompok dimana Penulis sama sekali tidak percaya dengan namanya teamwork. Anggota kelompok hanya akan “mencederai” bagusnya tugas yang Penulis bayangkan.

Ya, cukup sampai di situ. Penulis tidak ingin Pembaca benar-benar membenci Penulis.

Skilled Worker

McKinsey Global Institue, Indonesia (2012) melakukan kajian dan menemukan bahwa Indonesia dengan 55 juta pekerja terampil (skilled worker) dan berada di posisi 16 dalam peringkat negara dengan pekerja terampil terbanyak. Dan mereka pun meramalkan bahwa Indonesia akan menempati posisi ketujuh dan membutuhkan 113 juta pekerja terampil pada tahun 2030. Penulis yakin bapak Menristek yang sekarang tahu apa yang harus dilakukan, begitu pula doa Penulis dengan Menristek berikutnya, dan mari kita, para pembelajar mari kita linearkan apa yang kita capai di atas kertas dengan performa kita di lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun