Mohon tunggu...
Ai Yuhani
Ai Yuhani Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN Cicariu Kota Tasikmalaya

Hobi membaca novel online

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Penantian

20 Januari 2023   14:47 Diperbarui: 20 Januari 2023   15:16 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi tradisi di setiap daerah, tiap bulan lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia selalu diisi dengan lomba-lomba dan balapan,juga hiburan. Begitu juga di kampungku, sedang ramai memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia. 

Pagi itu, aku sudah siap untuk pergi ke lapangan yang tidak terlalu jauh dari jalan dan bertetanggaan dengan sungai  guna mengatur acara. Kuciumi tangan Ibu dengan takzim. Ibu hanya mengulum senyum melepas kepergianku, sambil berkata bahwa nanti  beliau akan menyusul.

Acara pun dimulai dengan balapan untuk anak-anak. Untuk menghangatkan suasana, musik pun dimainkan agar anak-anak bersemangat. Semua bergembira,  sorak sorai penonton bergemuruh ketika ada hal lucu yang terjadi dalam balapan.

Tiba-tiba dari atas jembatan yang melintasi sungai terlihat sebuah mobil avanza yang melaju dengan sangat kencang, tetapi anehnya laju mobil itu tidak lurus tetapi malah belok ke lapang.

Aku terkesiap, dengan panik aku berteriak sekeras-kerasnya di mikrofon," Awas, mingir-minggir!,lari cari tempat aman!" 

Suasana jadi mencekam, orang berhamburan berlari menghindari amukan mobil yang tanpa kendali. Sebagian warga  yang tidak sempat  menyelamatkan diri, terseret oleh mobil dan terpelanting jatuh. Jerit dan tangis berbaur menjadi satu. Dan akhirnya terdengar suara braakkk! Ternyata mobil menabrak pohon, dan seketika mobil terhenti.

Sebagian  ribut memberikan pertolongan kepada yang mendapat luka-luka, anak-anak menangis ketakutan melihat darah.  Sebagian warga segera menyiapkan mobil untuk mengangkut korban yang  luka ke puskesmas. Sementara warga yang lain segera memburu pengemudi mobil yang tak lain adalah anak orang kaya di tetangga kampungku.

Kalau tidak dicegah, pengemudi  tersebut pasti sudah  babak belur diamuk warga. Segera pengemudi tersebut dibawa ke kantor polisi untuk dimintai pertanggungjawaban. Setelah diusut ternyata pengemudi tersebut mabuk berat.

Sungguh hari yang sangat melelahkan dan menakutkan. 10 orang menjadi korban tabrak maut dari sipemabuk. Yang luka ringan sudah dibawa pulang ke rumah masing-masing , yang luka berat dirujuk ke rumah sakit.

Dengan lunglai aku pulang ke rumah, begitu pun dengan ayah. Sepulang dari masjid aku agak kaget, karena rumah sepi, biasanya sehabis  asar begini Ibu pasti sibuk memasak di dapur, tetapi sekarang tidak terdengar suaranya. Kucari ke dapur, tidak ada, di kamar dan juga sekeliling rumah tidak ada. Aku berpikir mungkin ibu sedang ke warung. Tetapi ditunggu setengah jam kemudian Ibu tidak kunjung datang.

Segera kuhampiri ayah yang sepulang dari masjid terus ke pos ronda  mengobrol  dengan topik kejadian tadi siang. "Ayah, Ibu masih belum di rumah, masa sampai sore begini ibu belum ke rumah, dari tadi kan urusan yang celaka sudah selesai!, kataku. Ayah berkata kaget" Masa ?Sudah kamu cari ke rumah tetangga?" Aku hanya menjawab dengan anggukan

Terlihat wajah cemas dari ayah, apalagi aku dari tadi sudah cemas. "Jangan-jangan,ibu ...ahhh" segera kusingkirkan prasangka buruk di hatiku.

Dengan bantuan warga, aku dan ayah mencari ibu ke lokasi kejadian tadi. Pencarian dibagi  dua, kelompok 1 menyusuri sungai sebelah kiri, kelompok dua menyusuri bagian sungai sebelah kanan. Sepanjang pencarian, aku tak henti memanjatkan do'a , minta supaya ibu selamat.

Dari sebelah kanan terdengar teriakan " hoi-hoi di sini ada mayat-ada mayat, tolong bawakan senter di sini gelap", katanya suaranya berbaur dengan gemuruh suara sungai.

Aku terlonjak kaget, segera berlari ke arah sumber suara. Subhanallah, walaupun agak gelap, aku bisa mengenali baju yang dipakai ibuku. Aku menghambur ke arah ibu yang sudah membujur kaku dengan posisi badan menelungkup. Rupanya Ibu tertabrak lalu terpental sangat jauh dan terjatuh di bawah jembatan.  Aku akan memeluk ibu, tetapi ditahan oleh beberapa warga.  Aku meronta sambil menangis histeris ingin memeluk ibu.

Seseorang meraba pergelangan tangan ibu, dan  berseru" masih hidup- masih hidup, masih ada denyut nadi!" Semua merasa lega. Sore itu juga ibu dibawa ke rumah sakit di Bandung karena rumah sakit daerah tidak sanggup, ibu dinyatakan koma.

Tidak terasa  sudah satu bulan, aku  menunggu ibu bangun, dan selama itu aku tidak mau berpisah dengan ibu. Aku tidak peduli walaupun sekolahku diskors, yang penting aku bersama ibu.  Setiap hari kulantunkan ayat suci al qur'an untuk ibu. Memohon keajaiban kepada sang kholik.

Suatu pagi dengan gerimis tipis, kulihat ibu bergerak sedikit dan membuka mata, tetapi mulutnya komat- kamit seperti ingin mengucapkan sesuatu.Segera kupanggil ayah yang berada di luar ruangan. 

Ketika ayah sudah di ruangan ICU, ibu bergumam memohon maaf kepada ayah. Ayah berbisik kepadaku. Mari kita bimbing Ibu, untuk menghadap sang maha berkehendak. Aku menangis tersedu-sedu mengiringi kepergian Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun