Mohon tunggu...
Aiya Lee
Aiya Lee Mohon Tunggu... -

Adalah si sulung berdarah Jawa Timur dan Maluku Utara. Dibuat dan dilahirkan di Ternate. Merupakan seorang penikmat peta, namun membenci peta buta, apalagi yang pake bahasa Cina. Lebih memilih makan ikan daripada ayam, dan minum cendol dibanding Mocca Float. Pernah ditipu sekuriti Singapura, dan disekap pengamen kereta Tegal. Ia memutuskan musik instrumen sebagai obat tidur paling masuk akal dibanding CTM. Dan juga seorang muslim moderat yang sangat takut anak kucing.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Incredible Balikpapan

25 Februari 2013   02:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:45 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekedar informasi, orang Balikpapan menyebut angkot sebagai taksi, dan taksi argo sebagai "teksi." Hee, maksud ngana cuma beda huruf vokal "a" dan "e" doang. Entahlah. Yang jelas, selama naik angkot, jangan coba-coba memberi isyarat berhenti dengan kode "kiri", cukup bilang "stop" sebelum si supir menimpal permintaan anda dengan "ya iyalah, masa saya mau stop di kanan." Satu lagi, setiap angkot di Balikpapan dilengkapi satu tempat sampah di dalam kabin. Jadi jangan buang-buang tenaga dengan melempar sampah keluar jendela atau menyimpannya dibawa tempat duduk, apalagi kalau yey sampai nekat bawa pulang itu tempat sampah ke kediaman yey. Kalau tidak yey bakal kena denda selangit dan dijambak emak-emak penumpas kejahatan. Camkan itu Nobita!

Bagi pejalan kaki, demi menghindari kecelakaan dompet berupa denda atau tatapan sinis warga setempat, berjalanlah di atas pedestrian dan menyebranglah di tempat-tempat khusus penyebrangan yang telah disediakan. Karena selama anda menuruti peraturan yang ada, anda akan dilindungi undang-undang dan dihormati oleh bumi dan langit tempat anda berpijak. Jangan sesekali berkendara dengan gila sambil ugal-ugalan di jalan. Para sopir angkot sudah dididik untuk "memberi pelajaran" ditengah jalan, seperti ucapan salah satu supir yang saya klaim sebagai ketua geng.

Balikpapan terkenal akan percampuran budaya dari segala penjuru nusantara, inilah mengapa Hikmah sendiri tak sanggup menjabarkan apa makanan khas Balikpapan selain Bobongko. Segala etnis dari 34 provinsi ada disini, mulai dari Aceh, Batak, Palembang, Jawa, Sunda, Dayak, Bali, Sasak, Manado, Bugis, Ambon, hingga Papua semua ada disini. Hal ini pula yang membuat saya menyebutnya sebagai Dubai-nya Indonesia. Tempat segala budaya berada sekaligus pusat dari segala manusia Indonesia bersikut rezeki. Disana semua orang berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia dan minim sentuhan budaya yang benar-benar khas Balikpapan.

Mayoritas penduduknya adalah muslim, pengaruh budaya islam melayu masih sangat terasa disini. Umat kristiani didominasi oleh etnis Batak dan Manado, kemudian para perantau dari Bali ikut memeriahkan keberagaman dengan berbagai ritual sakral Hindu disini. Budha pun eksis disini, para pendatang asal Pontianak memilih merantau sambil menyebarkan ajaran Budha yang dinamis. Sungguh inilah sepetak tanah Indonesia yang paling pantas memikul amanat pancasila.

Selama disana saya jarang menemukan ceceran sampah dimana-mana, seluruh sudut kota tampak bersih dan rapih. Petugas kebersihan ada dimana-mana, tempat sampah dan papan himbauan kebersihan juga selalu tersedia sejagat raya. Akhirnya, walaupun dengan luas kota yang tergolong kecil, orang jadi betah tinggal disana. Bahkan kata Hikmah, warga dilarang membuang sampah pada siang hari, karena dapat mengganggu kualitas udara dan keindahan. Mobil sampah juga diharamkan beroperasi pada pagi-sore hari, semua proses pendistribusian sampah hanya dapat dilakukan pada malam hari. Keren sekali jendral!

Kami menghabiskan banyak cerita tentang kedisiplinan Balikpapan sambil lesehan di Pantai Kemala dan Melawai, sebuah bibir pulau yang menjadi pembatas antara darat dan laut Balikpapan. Alih-alih menanti sunset yang terkutuk dibalik awan, saya menikmati segerombolan kapal tongkang yang berlalu-lalang diantara selat Balikpapan. Banyak kapal segede gaban yang lagi nangkring cantik di laut lepas, rata-rata milik perusahaan tambang atau minyak yang memfasilitasi para pekerja sebagai sarana transportasi ekslusif. Saking bongsornya, kapal-kapal itu bahkan lebih menyeramkan dibanding upil di pelupuk mata.

Semakin gelap kapal-kapal itu semakin merapat di dermaga Balikpapan, banyak orang yang sudah menunggu kedatangan keluarga mereka. Adil sekali hidup ini, dimana ada yang masih gengsi ke kantor naik mobil pribadi, yang lainnya berlapang dada membuang usia diatas kapal demi mencari sepiring rezeki di laut seberang. Saya akhirnya digeret pulang oleh Hikmah sebelum jatuh pingsan akibat kebanyakan protes dan memuji yang bukan-bukan. Memuji aspal Balikpapan yang mulus bak pantat bayi misalnya.

Inilah hari dan malam pertama saya di kota beruang madu, Hikmah sangat berjasa menemani saya melancong ke mesjid raya super megah kemudian beribadah bersama disana. Hari pertama saya tutup dengan obrolan hangat dengan ibunya, banyak kisah inspiratif tentang mendiang ayahnya yang sangat menggetarkan sanubari. Tak lama saya pun menyandarkan penat di ruang tv ditemani kucing kesayangan mereka, Poh.

Pagi di Balikpapan sangatlah romantis, seorang suami akan mengantar istrinya berangkat kerja. Anak-anak sekolah bergegas menuntut ilmu dengan restu orang tua yang melepas mereka dengan hangat. Tak ada yang naik kendaraan pribadi, jarang pula yang nenteng gadget parlente ke sekolah. Semua nampak sederhana dan berwibawa. Ah, Hikmah dan keluarganya pun begitu. Ibunya bahkan masih memperhatikan sarapan saya sebelum berangkat kerja dan sebelum kami pamit berpisah. "Aiya termasuk salah satu tamu yang paling diperhatikan ibu lho, jarang-jarang ada tamu yang diperhatiin sarapannya" kata Hikmah sambil menerima secarik testimoni dari saya. Makasih tante!

Saya harus menuntaskan misi terakhir seorang diri, berbekal ilmu trayek angkutan yang diwariskan Hikmah, pergilah kaki gatal ini menikmati udara segar di Jalan Minyak dan mencari monyet-monyet penunggu hutan. Terpaksa saya putuskan hubungan baik dengan angkot dan lebih memilih berjalan kaki. Udara disepanjang JM benar-benar asri, hawa sejuk serta kicauan burung mampu menyulap jalanan lembab terasa seperti karpet mahal buatan Turki. Saya menikmatinya hingga berakhir di depan Lapangan Merdeka. Yah kira-kira 2 km lah, tapi tak masalah, gugusan kilang minyak Mathilda dan harumnya laut Kemala sudah sangat cukup meredam keluh kesah.

Perjalanan sehari semalam ini akhirnya tamat di penangkaran buaya Teritip milik Borneo Life, namun sebelum kesana saya masih sempat-sempatnya tebar pesona di Plaza Balikpapan dan Taman Bekapai. Namanya saja penangkaran buaya, ya iyalah ada banyak buaya sok imut yang lagi gogoleran. Kulit mereka tebal bak sendal bakiak, hidungnya jerawatan duri-duri tajam, serta bau busuk yang menyengat akibat sebongkah tokay mengering di dalam kandang. Saya yang awalnya antusias ingin mencoba sate buaya langsung diam seribu bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun