Mohon tunggu...
Aiya Lee
Aiya Lee Mohon Tunggu... -

Adalah si sulung berdarah Jawa Timur dan Maluku Utara. Dibuat dan dilahirkan di Ternate. Merupakan seorang penikmat peta, namun membenci peta buta, apalagi yang pake bahasa Cina. Lebih memilih makan ikan daripada ayam, dan minum cendol dibanding Mocca Float. Pernah ditipu sekuriti Singapura, dan disekap pengamen kereta Tegal. Ia memutuskan musik instrumen sebagai obat tidur paling masuk akal dibanding CTM. Dan juga seorang muslim moderat yang sangat takut anak kucing.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Incredible Balikpapan

25 Februari 2013   02:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:45 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu saya pernah bermimpi bisa menginjakkan kaki di pulau Kalimantan, pulau terbesar di nusantara sekaligus tempat dimana 3 negara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam) menyandarkan wilayah kedaulatan mereka. Disana, hutan mereka menjadi paru-paru dunia, flora dan faunanya menjadi kebanggaan bangsa, serta budayanya yang tua menjadi mahal untuk dipandang sebelah mata.

Disana pula saya pernah mendengar kisah tentang negeri kaya raya yang dipimpin seorang raja telah berjaya. Bukan itu saja, tanah pertiwi juga mempertaruhkan wilayah dan harga diri bangsa dari sejengkal batas antar negara dengan Malaysia. Selain itu, cerita mengenai banyaknya perusahaan raksasa yang menjadi barometer kemakmuran Indonesia juga santer terdengar hingga di luar angkasa.

Sejak setahun lalu saya mencari informasi tentang wilayah manakah yang paling layak dijadikan tolak ukur kemajuan Kalimantan. Dari semua jawaban, sebagian besar menyarankan saya ke Kalimantan Timur khususnya ke kota Balikpapan. Konon, peradabannya sudah lebih maju dibanding wilayah yang lain. Tentu saya bukan sedang membanding-bandingkan pencapaian sebuah kota, melainkan hanya memilih mana yang paling layak dikunjungi dan paling siap menyambut pendatang, dan setelah menimbang beberapa aspek semisal tersedianya akomodasi yang baik dan akses yang mudah serta biaya hidup yang masih manusiawi, akhirnya pilihan jatuh pada kota Beruang Madu.

Terbang dengan maskapai berbiaya rendah idola para pelancong, saya berangkat dari Makassar sebagai pusat jembatan udara di timur Indonesia. Lumayan, perjalanan 45 menit itu berakhir dengan salam perpisahan dari seorang awak kabin cantik yang terlihat gugup menyebut nama bandara Sepinggan. Berbekal selembar itenerary, saya menyimpan susunan jadwal dan list objek wisata selama kunjungan sehari semalam. Dengan petunjuk GPS (guide penduduk setempat), saya menuju rumah seorang kenalan menggunakan angkutan kota hijau tua menuju Terminal Dam.

Sejak berpijak di Balikpapan, saya optimis kalau kota ini mampu mengangkat wajah Indonesia dihadapan para Malaysia sebagai tempat hidup paling bergengsi di se-antero Borneo. Bagaimana tidak, dengan kehidupan masyarakat yang cukup dinamis, kota ini tampak menggeliat dengan segala sumber dayanya. Jalanan yang super bersih dengan pohon-pohon jangkung yang rimbun, serta kontur wilayah berbukit dengan lintasan sungai-sungai spiral yang eksotis, sungguh merupakan modal mutlak bagi Indonesia untuk memukul telak keharmonisan hidup bangsa-bangsa tetangga.

Selama perjalanan saya selalu memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan citra suatu kota sambil jelalatan mencari unsur-unsur kearifan lokal yang masih dijaga. Sungguh bangga rasanya saat dua pasang bola mata menemukan berbagai ukiran dan ornamen khas Kalimantan masih bertengger manis di gapura maupun di setiap sudut kota, bahkan saya nyaris sujud syukur saat melihat bendera pusaka masih mengangkasa di halaman sekolah dengan para siswanya yang berseragam khas Indonesia. Ah, ternyata kita masih saudara, saya pikir sudah dicaplok tetangga.

Setibanya di tempat tujuan, saya kembali berdecak kagum melihat betapa rapihnya terminal angkutan umum yang masih satu lokasi dengan pasar tradisional. Angkot-angkot berbaris rapih, penjaja dagangan berjejer dengan teratur, areanya bebas dari tukang palak, pengamen, becek dan bau sampah membusuk. Oke, saya butuh waktu seumur hidup untuk percaya kalau ini masih di Indonesia. Dari situ saya berjalan kaki mencari rumah teman yang yang kami pun belum pernah ketemu dan hanya bertegur sapa lewat situs pelancong internasional.

Namanya mbak Hikmah, putri asli Balikpapan yang bingung pas ditanya "apa makanan khas Balikpapan." Lokasi rumahnya sangat dekat dengan terminal yang juga masih di pusat kota, cukup menyusuri gang sempit berjarak 200 meter dan bertemulah saya dengan guide paling beken se-Couchsurfing ini. Awalnya saya masih luma-luma cikung untuk bertegur sapa atau sekedar "menggilai" nya. Ah, ternyata cukup beberapa menit saja untuk bisa melumpuhkan suasana. Akhir kata, walau sedang sakit ia rela menemani saya memperkosa Balikpapan.

Sebagai tuan rumah yang mulia, dia menuruti saya untuk pergi ke Depot Cendrawasih demi menyantap es campur paling nikmat sejagad raya. Oke, kami melakukan kesilapan dengan pergi ke Kebun Sayur terlebih dahulu. Bukan, ini bukan rencana yang ditukar, ini hanya sekedar ganjaran akibat obrolan tanpa jeda yang kami lakukan di atas angkot tadi. Ya, kami teledor dan warung dambaan itu kelewatan jauh dibelakang. Fine!

Jangan berburuk sangka dengan nama Kebun Sayur, saya bukan sedang pergi berbelanja keperluan dapur atau berburu terasi impor. Ini adalah tempat pusat oleh-oleh khas Balikpapan yang menjual segala jenis buah tangan se-Kalimantan, juga tak ada satu pun yang menjual sayur mayur disini. Jangankan saya, Hikmah pun tak sanggup menjabarkan alasan kenapa dan mengapa toko pusat oleh-oleh bisa menjelma menjadi Pasar Inpres Kebun Sayur. Hanya nenek moyang dan Tuhan yang tahu alasannya. Tapi menurutnya, Kebun Sayur adalah nama kampung dimana pasar skandal itu berdiri, semacam nama Kebon Jeruk di Jakarta. Jadi, alasan kuat sih namanya diadopsi dari nama kampung halamannya.

Tambah Hikmah, selama dia jadi guide, saya lah orang pertama yang paling singkat berkunjung ke pasar oleh-oleh. Bukan apa-apa, masalahnya kebanyakan aksesoris yang dijual sudah banyak dipasarkan di Bali. Bahkan mulai dari bahan dan segala seni ukirnya juga persis seperti yang ada disana. Jadi, cukup songket Banjar beraroma jeruk yang saya beli dengan harga 40 ribu, setelah itu kami melipir keluar "kebun" dan menunaikan niat untuk kembali ke pelukan es campur. Sebagai tambahan, trip kali ini disponsori oleh angkot dan jalan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun