Jawa Tengah ataupun Jawa Timur menjadikan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya sehari-hari.
Sebagai negara yang kaya akan keanekaragamannya, Indonesia memiliki banyak ciri khas tersendiri seperti bahasa yang menjadi alat komunikasi. Selain itu, berjalannya komunikasi pun tidak lepas dari adanya saling pemahaman antar individu dengan pesan yang akan disampaikan ke lawan bicaranya (Djokowidodo, 2022). Berbicara tentang pemahaman bahasa setiap daerah, memiliki perbedaan bahasa yang digunakannya, seperti di Sumatera Barat yang menggunakan bahasa Minangkabau, kemudian Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasa Bugis, dan di Yogyakarta,Dari berbagai macam bahasa yang tersebar, rupanya bahasa Jawa memiliki jumlah penutur paling banyak di Indonesia. Dengan jumlah yang sangat banyak ini, belum tentu setiap daerah yang menggunakan bahasa jawa memiliki kesamaan dalam pengucapan atau penulisannya. Hal ini karena bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Adapun kaitan yang dimaksud adalah nada bahasa, konsep gramatikal bahasa, atau konsep tingkatan bahasa (Aan Setyawan, 2011). Dari dasar-dasar seperti ini akan menghasilkan suatu variasi bahasa di bahasa Jawa. Meski demikian, variasi ini harus dilihat dari latar belakang dan daerah asal penuturnya. Dengan begitu, bahasa akan mempunyai bentuk dan kata yang khas yang mana ini dinamakan dengan dialek (Maryaeni, 2006). Dalam bahasa Jawa, penggunaan dialek dapat dibagi ke beberapa wilayah yang dituturkannya khususnya wilayah Jawa Timur, diantaranya:
- Dialek Surabaya
Bahasa Jawa dialek Surabaya biasa disebut dengan ‘basa Suroboyoan’ yang mana terdapat kekhasan logat daripada bahasa Jawa di wilayah lainnya. Pada dialek Surabaya, dapat dideskripsikan dengan bentuk-bentuk konjungsi yang menjadi pembeda dari lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), konjungsi merupakan kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat. Dialek Surabaya memiliki khas tersendiri yang dapat dilihat dari sejumlah leksikon yang berbeda dengan bahasa Jawa lainnya dan dapat dikenali dari segi wujudnya, cakupan maknanya, dan variasi pelafalannya (Ruriana, 2017). Dialek Surabaya berkembang di daerah Surabaya dan sekitarnya. Selain itu, dialek Surabaya dianggap menjadi bahasa yang paling kasar dibandingkan bahasa Jawa lainnya. Namun, bahasa yang halus juga masih dipergunakan sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain atau orang yang lebih dewasa, tetapi bahasa halus Surabaya tentunya juga tidak sehalus di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam penggunaannya, dialek Surabaya memiliki tutur yang terbatas yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Bahasa Jawa baku sendiri memiliki tiga ragam, seperti ragam ngoko, krama, dan krama inggil (Ruriana, 2017). Selain itu, kosakata dialek Surabaya tidak sama dengan bahasa Jawa dialek Solo-Yogya, seperti ‘mene’ yang memiliki arti besok pagi. Sedangkan dalam bahasa Jawa baku, besok pagi memiliki sebutan ‘sesuk’. Perbedaan bahasa Jawa dialek Surabaya dengan bahasa Jawa standar yaitu terdapat pada fonologi, morfologi, dan leksikal. Fonologi dapat kita ketahui dari kata ‘mulih’ menjadi ‘moleh’. Selanjutnya morfologi menggunakan akhiran-ne, tetapi dialek Surabaya menjadi -e , seperti bukue, sepedae. Sedangkan Leksikal dapat dilihat dari kata ‘mari’, yang memiliki arti selesai.
- Dialek Tengger
Dialek Tengger merupakan dialek yang dituturkan oleh suku Osing di wilayah Bromo dan merupakan suku tertua di Jawa Timur. Penggunaan dialek tengger memiliki perbedaan dengan dialek Jawa Timur lainnya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi saat pengucapan [o] yang tidak dipakai dan menggantinya dengan [a] (Fitriana, 2017). Sebagai contoh ‘selasa’menjadi ‘seloso’ dalam pengucapan dialek tengger. .
- Dialek Malang
Penggunaan dialek malang dapat dilihat melalui penghilangan konsonan pada awal dan akhir kata atau dapat juga penambahan konsonan, contohnya yaitu ‘wetan’ menjadi ‘etan’ atau ‘kowe’ menjadi ‘awakmu’. Namun, dialek ini dianggap bukan dialek yang berdiri sendiri, namun terjadi akibat adanya pengaruh dari bahasa Jawa baku.
- Dialek Banyuwangi
Dialek Banyuwangi umumnya dikenal dengan dialek osing, karena osing merupakan suku yang berasal dari sana. Kata using sendiri berarti ‘pribumi’ dan mereka juga baru mengakui sebagai orang Jawa pada tahun 1970. Hal ini terjadi karena adanya migrasi besar-besar yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1870 untuk kepentingan perkebunan. Dan dari proses inilah yang membuat pengaruh buruk ke penduduk aslinya (Andhika Wahyudiono, 2018).
Penggunaan dialek osing sangat berbeda dengan bahasa Jawa lainnya, namun memiliki persamaan dengan bahasa Jawa di Banyumas. Menurut Wedhawati, (2001) terdapat kemiripan fonem vokal dan ciri silabisnya, dimana kemiripan ini terlihat dari fonem vokalnya yang tegang kendur bunyinya seperti pengucapan [tipis} dengan vokal /i/ tegang, sementara pada bahasa Jawa dialek standar ;tipis] dengan vokal /i/ kendur. Perbedaan ini dikarenakan wilayah Banyuwangi yang sangat jauh dengan pusat bahasa Jawa, yaitu Yogyakarta-Solo. Dari contoh kata yang bisa diambil disini adalah pengucapan kata [pitik] yang merupakan dialek banyuwangi dan [pitIʔ] merupakan dialek Yogyakarta-Solo. Selain itu, ada juga contoh kata di banyuwangi menggunakan “lek”, namun di yogyakarta-solo menggunakan “le”
- Dialek Yogyakarta-Solo
Penggunaan dialek ini memiliki ciri khas tersendiri karena bahasa dari dialek Yogyakarta-Solo dianggap paling halus dibandingkan dengan bahasa Jawa lainnya. Adapun tingkat tutur yang dapat diketahui ada tigas, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Contoh krama inggil yaitu badhe tindak pundi? , krama madya yaitu ajeng kesah pundi? , dan ngoko yaitu arep lungo ngendi?
Keragaman dialek yang dimiliki Jawa Timur tidak lepas dari penyebaran yang dilakukan oleh masyarakat pendahulunya. Setiap wilayah di Jawa Timur memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda sehingga menciptakan keberagaman, khususnya dialek bahasa. Dari kelima dialek tersebut mempunyai latar kebudayaan yang berbeda-beda seperti dialek osing yang menggunakan bahasa Jawa Kuna karena sangat jauh dari pusat bahasa yaitu Yogyakarta-Solo, kemudian dialek Tengger yang menggunakan bahasa Jawa Kuna karena sejarah mereka yang mempertahankan wilayah dari Kerajaan Mataram. Dialek Surabaya yang terlihat keras karena pola perilaku masyarakat pesisir yang dikenal dengan pembawaannya yang lugas dan tegas sehingga terlihat kasar, dan dialek Yogyakarta-Solo yang merupakan pusat kebudayaan sehingga menjadikannya sebagai acuan atau standar kebudayaan yang dimiliki oleh wilayah yang berada di sekitarnya. Dari kelima dialek yang berkembang dan menyebar di wilayah Jawa Timur semua ini dapat dikaitkan dengan teori antropologi dengan konsep culture area (daerah kebudayaan) yang dikemukakan oleh Clark Wissler. Secara garis besar penggunaan konsep ini melihat suatu keunikan dari wilayah kebudayaan (culture area) yang berawal dari pusat kebudayaan (culture center) dan menjadi pusat geografi, hal ini membuat adanya penyebaran unsur-unsur budaya dari pusat ke luar (Ihromi, 2003). Hal ini, bisa dilihat bahwa suatu budaya yang memiliki jarak cukup jauh akan memiliki banyak perbedaan unsur-unsur budaya khususnya dialek bahasa (Wiradnyana, 2015). Latar belakang penyebaran dan wilayah dengan kebudayaan pusat bisa mempengaruhi perubahan dari segi bahasa yang digunakan sehari-hari.
REFERENSI