Mohon tunggu...
Aisyah Zaimatun Nabilah
Aisyah Zaimatun Nabilah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Antropologi, Universitas Airlangga

Saya Mahasiswa Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Ragam Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Jawa Timur melalui Teori Culture Area

29 November 2022   09:44 Diperbarui: 29 November 2022   13:06 2709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.istockphoto.com/

Sebagai negara yang kaya akan keanekaragamannya, Indonesia memiliki banyak ciri khas tersendiri seperti bahasa yang menjadi alat komunikasi. Selain itu, berjalannya komunikasi pun tidak lepas dari adanya saling pemahaman antar individu dengan pesan yang akan disampaikan ke lawan bicaranya (Djokowidodo, 2022). Berbicara tentang pemahaman bahasa setiap daerah, memiliki perbedaan bahasa yang digunakannya, seperti di Sumatera Barat yang menggunakan bahasa Minangkabau, kemudian Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasa Bugis, dan di Yogyakarta, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur menjadikan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya sehari-hari.

Dari berbagai macam bahasa yang tersebar, rupanya bahasa Jawa memiliki jumlah penutur paling banyak di Indonesia. Dengan jumlah yang sangat banyak ini, belum tentu setiap daerah yang menggunakan bahasa jawa memiliki kesamaan dalam pengucapan atau penulisannya. Hal ini karena bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Adapun kaitan yang dimaksud adalah nada bahasa, konsep gramatikal bahasa, atau konsep tingkatan bahasa (Aan Setyawan, 2011). Dari dasar-dasar seperti ini akan menghasilkan suatu variasi bahasa di bahasa Jawa. Meski demikian, variasi ini harus dilihat dari latar belakang dan daerah asal penuturnya. Dengan begitu, bahasa akan mempunyai bentuk dan kata yang khas yang mana ini dinamakan dengan dialek (Maryaeni, 2006). Dalam bahasa Jawa, penggunaan dialek dapat dibagi ke beberapa wilayah yang dituturkannya khususnya wilayah Jawa Timur, diantaranya:

Bahasa Jawa dialek Surabaya biasa disebut dengan ‘basa Suroboyoan’ yang mana terdapat kekhasan logat daripada bahasa Jawa di wilayah lainnya. Pada dialek Surabaya, dapat dideskripsikan dengan bentuk-bentuk konjungsi yang menjadi pembeda dari lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), konjungsi merupakan kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat. Dialek Surabaya memiliki khas tersendiri yang dapat dilihat dari sejumlah leksikon yang berbeda dengan bahasa Jawa lainnya dan dapat dikenali dari segi wujudnya, cakupan maknanya, dan variasi pelafalannya (Ruriana, 2017). Dialek Surabaya berkembang di daerah Surabaya dan sekitarnya. Selain itu, dialek Surabaya dianggap menjadi bahasa yang paling kasar dibandingkan bahasa Jawa lainnya. Namun, bahasa yang halus juga masih dipergunakan sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain atau orang yang lebih dewasa, tetapi bahasa halus Surabaya tentunya juga tidak sehalus di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam penggunaannya, dialek Surabaya memiliki tutur yang terbatas yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Bahasa Jawa baku sendiri memiliki tiga ragam, seperti ragam ngoko, krama, dan krama inggil (Ruriana, 2017). Selain itu, kosakata dialek Surabaya tidak sama dengan bahasa Jawa dialek Solo-Yogya, seperti ‘mene’ yang memiliki arti besok pagi. Sedangkan dalam bahasa Jawa baku, besok pagi memiliki sebutan ‘sesuk’. Perbedaan bahasa Jawa dialek Surabaya dengan bahasa Jawa standar yaitu terdapat pada fonologi, morfologi, dan leksikal. Fonologi dapat kita ketahui dari kata ‘mulih’ menjadi ‘moleh’. Selanjutnya morfologi menggunakan akhiran-ne, tetapi dialek Surabaya menjadi -e , seperti bukue, sepedae. Sedangkan Leksikal dapat dilihat dari kata ‘mari’, yang memiliki arti selesai.

  • Dialek Tengger

Dialek Tengger merupakan dialek yang dituturkan oleh suku Osing di wilayah Bromo dan merupakan suku tertua di Jawa Timur. Penggunaan dialek tengger memiliki perbedaan dengan dialek Jawa Timur lainnya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi saat pengucapan [o] yang tidak dipakai dan menggantinya dengan [a] (Fitriana, 2017). Sebagai contoh ‘selasa’menjadi ‘seloso’ dalam pengucapan dialek tengger. . 

  • Dialek Malang

Penggunaan dialek malang dapat dilihat melalui penghilangan konsonan pada awal dan akhir kata atau dapat juga penambahan konsonan, contohnya yaitu ‘wetan’ menjadi ‘etan’ atau ‘kowe’ menjadi ‘awakmu’. Namun, dialek ini dianggap bukan dialek yang berdiri sendiri, namun terjadi akibat adanya pengaruh dari bahasa Jawa baku. 

  • Dialek Banyuwangi

Dialek Banyuwangi umumnya dikenal dengan dialek osing, karena osing merupakan suku yang berasal dari sana. Kata using sendiri berarti ‘pribumi’ dan mereka juga baru mengakui sebagai orang Jawa pada tahun 1970. Hal ini terjadi karena adanya migrasi besar-besar yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1870 untuk kepentingan perkebunan. Dan dari proses inilah yang membuat pengaruh buruk ke penduduk aslinya (Andhika Wahyudiono, 2018).

Penggunaan dialek osing sangat berbeda dengan bahasa Jawa lainnya, namun memiliki persamaan dengan bahasa Jawa di Banyumas. Menurut Wedhawati, (2001) terdapat kemiripan fonem vokal dan ciri silabisnya, dimana kemiripan ini terlihat dari fonem vokalnya yang tegang kendur bunyinya seperti pengucapan [tipis} dengan vokal /i/ tegang, sementara pada bahasa Jawa dialek standar ;tipis] dengan vokal /i/ kendur. Perbedaan ini dikarenakan wilayah Banyuwangi yang sangat jauh dengan pusat bahasa Jawa, yaitu Yogyakarta-Solo. Dari contoh kata yang bisa diambil disini adalah pengucapan kata [pitik] yang merupakan dialek banyuwangi dan [pitIʔ] merupakan dialek Yogyakarta-Solo. Selain itu, ada juga contoh kata di banyuwangi menggunakan “lek”, namun di yogyakarta-solo menggunakan “le”

  • Dialek Yogyakarta-Solo

Penggunaan dialek ini memiliki ciri khas tersendiri karena bahasa dari dialek Yogyakarta-Solo dianggap paling halus dibandingkan dengan bahasa Jawa lainnya. Adapun tingkat tutur yang dapat diketahui ada tigas, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Contoh krama inggil yaitu badhe tindak pundi? , krama madya yaitu ajeng kesah pundi? , dan ngoko yaitu arep lungo ngendi?

Keragaman dialek yang dimiliki Jawa Timur tidak lepas dari penyebaran yang dilakukan oleh masyarakat pendahulunya. Setiap wilayah di Jawa Timur memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda sehingga menciptakan keberagaman, khususnya dialek bahasa. Dari kelima dialek tersebut mempunyai latar kebudayaan yang berbeda-beda seperti dialek osing yang menggunakan bahasa Jawa Kuna karena sangat jauh dari pusat bahasa yaitu Yogyakarta-Solo, kemudian dialek Tengger yang menggunakan bahasa Jawa Kuna karena sejarah mereka yang mempertahankan wilayah dari Kerajaan Mataram. Dialek Surabaya yang terlihat keras karena pola perilaku masyarakat pesisir yang dikenal dengan pembawaannya yang lugas dan tegas sehingga terlihat kasar, dan dialek Yogyakarta-Solo yang merupakan pusat kebudayaan sehingga menjadikannya sebagai acuan atau standar kebudayaan yang dimiliki oleh wilayah yang berada di sekitarnya. Dari kelima dialek yang berkembang dan menyebar di wilayah Jawa Timur semua ini dapat dikaitkan dengan teori antropologi dengan konsep culture area (daerah kebudayaan) yang dikemukakan oleh Clark Wissler. Secara garis besar penggunaan konsep ini melihat suatu keunikan dari wilayah kebudayaan (culture area) yang berawal dari pusat kebudayaan (culture center) dan menjadi pusat geografi, hal ini membuat adanya penyebaran unsur-unsur budaya dari pusat ke luar (Ihromi, 2003). Hal ini, bisa dilihat bahwa suatu budaya yang memiliki jarak cukup jauh akan memiliki banyak perbedaan unsur-unsur budaya khususnya dialek bahasa (Wiradnyana, 2015). Latar belakang penyebaran dan wilayah dengan kebudayaan pusat bisa mempengaruhi perubahan dari segi bahasa yang digunakan sehari-hari.

REFERENSI

Aan Setyawan. (2011, 7 2). BAHASA DAERAH DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN DAN SOSIOLINGUISTIK: PERAN DAN PENGARUHNYA DALAM PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA. International Seminar “Language Maintenance and Shift”.

Andhika Wahyudiono. (2018). KAJIAN BAHASA OSING DALAM MODERENITAS. Seminar Nasional.

Djokowidodo, A. (2022). Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Dialek Madiun: Tinjauan Pendidikan, 5(4), 1227–1232. https://doi.org Perbandingan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Jogjakarta. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu /10.54371/jiip.v5i4.550

Fitriana, H. N. (2017). Variasi Dialek Tengger di Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Dialektologi Diakronis, 1(1), 1-10.

Ketut Wiradnyana. (2015, 9 28). PARADIGMA PERUBAHAN EVOLUSI PADA BUDAYA MEGALITIK DI WILAYAH BUDAYA NIAS.

Maryaeni. (2006, 1). KARAKTERISTIK BAHASA JAWA DIALEK JAWA TIMUR. 13(1), 56-65.

Ruriana, P. (2017). Konjungsi dalam Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan. Kibas Cenderawasih: Jurnal Ilmiah …. http://kibascenderawasih.kemdikbud.go.id/index.php/kibas/article/view/117%0Ahttps://kibascenderawasih.kemdikbud.go.id/index.php/kibas/article/download/117/93

T.O Ihromi. (2003). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Wedhawati. (2001). Tata bahasa Jawa mutakhir. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun