PENDAHULUAN
Dalam tatanan kehidupan berkeluarga, perkara yang berkaitan dengan warisan sering menimbulkan permasalahan. Dimana permasalahan tersebut sering menyebabkan sengketa dan perpecahan dalam keluarga.
Dimana permasalahan tersebut seharusnya menjadi ranah kehidupan keluarga yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa harus melibatkan pihak luar ataupun pengadilan. Karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan seharunya mampu menjadi pijakan tanpa harus mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing pribadi.
Pewarisan dapat diartikan sebagai suatu proses berpindahnya harta peninggalan dari seseorang pewaris kepada ahli warisnya. Fungsi dari pewarisan adalah untuk menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang di tinggalkan.Ketentuan pembagian warisan telah diatur dalam hukum waris.
Hukum waris sendiri adalah: keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan,perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga. Hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses pembagian warisan, agar mampu tercipta tatanan hukumnya.
PEMBAHASAN
1.Apa Yang Menjadi Kewajiban Ahli Waris Terhadap Pewaris Yang Meninggal Dunia?
Ahli waris mempunyai hak dan kewajiban atas harta peninggalan yang diterimanya. Hak ahli waris adalah menerima warisan yang merupakan bagian dari harta itu. Di sisi lain, ahli waris juga memiliki beberapa kewajiban sebagai ahli waris. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain menanggung biaya pengurusan jenazah, semua hutang ahli waris, dan lain-lain.
Dengan kata lain, sebelum membagi harta warisan, terlebih dahulu harus diselesaikan beberapa hal yang berkaitan dengan harta warisan, baru kemudian diselesaikan kewajiban-kewajiban ahli waris terhadap harta warisan tersebut.
1. Biaya perawatan jenazah (tajhiz)
Semua biaya pengurusan jenazah didahulukan dari pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat dan pemberian kepada ahli waris karena perawatan jenazah dari kematian hingga penguburan adalah wajib sebagai ganti nafaqah ḍarūriyah selama masih hidup. Dan hal-hal yang dibutuhkan almarhum adalah: biaya mandi, biaya penguburan, biaya penguburan dan segala kebutuhan orang yang meninggal sampai ditempatkan di kuburan terakhir.
Fuqaha sependapat bahwa biaya perawatan dan pengurusan jenazah harus diambil dari harta peninggalannya sampai batas yang wajar (ma'ruf). Akan tetapi, para ahli Fuqaha berbeda pendapat mengenai biaya pemeliharaan jenazah bagi mereka yang tidak memiliki ahli waris. Fuqaha malikiyah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan harus dibebankan pada Baitul-Māl (Kas Negara) karena kondisi tersebut membebani kewajiban Baitul-Māl. Sementara itu, ahli hukum Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya perawatan harus ditanggung oleh keluarga yang bergantung padanya (selama mereka masih hidup).
2.Pelunasan hutang
Hutang adalah tanggung jawab yang harus dibayar seseorang sebagai imbalan atas hasil yang diterimanya dari orang lain. dan ketika melakukan kewajiban kepada Allah SWT, kewajiban yang diperlukan selama hidupnya dan tidak terpenuhi, itu disebut dainullah (hutang kepada Allah), seperti mengeluarkan zakat, pergi haji, tobat, dll. Menurut hukum Islam, pelunasan utang tersebut merupakan salah satu kewajiban utama, guna membebaskan seseorang dari tanggung jawab di kemudian hari dan membuka tabir yang membatasi orang tersebut ke surga. Telah melunasi semua utang-utangnya, khususnya utang-utang yang diklaim oleh seseorang dan utang-utang di bawah tanggungan almarhum yang meninggalkan warisan. Oleh karena itu, harta warisan tidak dapat dibagi-bagi di antara para ahli waris sebelum utang si mayit dilunasi.
3.Pemberian wasiat
Kata "wasiat" menunjukkan pesan yang disampaikan oleh seseorang. Makna lafḍiyahnya yaitu menyampaikan sesuatu. Menurut hukum Islam, wasiat adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain dalam bentuk harta, hutang atau manfaat yang menjadi milik penerima wasiat setelah kematian pewaris. Surat wasiat dapat dianggap sebagai bentuk surat wasiat pewaris yang ditempatkan pada penerima surat wasiat. Wasiat dapat dianggap sebagai bentuk wasiat oleh pewaris. Jadi tidak setiap wasiat berbentuk harta. Terkadang wasiat berbentuk nasihat, petunjuk tentang hal-hal tertentu, rahasia pewaris, dll. Menurut hukum Islam, jumlah maksimum harta yang tersisa adalah sepertiga dari harta yang diwariskan.
2.Mengapa Proses Penyesalan Harta Warisan Secara Dilaksanakan?
Konsep Waktu Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan dari Perspektif Hukum Islam. Persoalan hukum Islam dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah juga secara rinci telah mengatur bagaimana mekanisme pembagian warisan mulai dari pengertian, rukun, syarat, sebab-sebab menerima warisan, penghalang pewarisan, para ahli waris, dan bagian masing -masing para ahli waris. Sesuai dengan yang tertuang dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 11 dan 12 dan Nabi juga menegaskan dalam haditsnya terkait dengan pembagian pembagian yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an. Tujuan dari peraturan itu semata-mata hanya untuk terwujudnya tujuan pewarisan dan terciptanya sebuah perdamaian dalam keluarga serta dapat berlaku adil juga melindungi hak-hak waris terhadap semua ahli waris.
Terhadap waktu pembagian warisan menurut Al-Qur'an tidak diatur secara jelas namun secara tersirat Islam mengajarkan agar menyegerakan dalam melakukan kebaikan. Hal ini terdapat dalam Q.S. Al-Imran Ayat 133, yang artinya: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa"."
Kemudian,dalam Riwayat Muslim juga terdapat ketentuan melakukan kebaikan, yang dalam menyegerakan artinya:"Segeralah berbuat kebaikan sebelum fitnah itu datang dalam hidup anda, fitnah yang sangat gelap gulita (semua urusan tak bisa diselesaikan)". (H.R. Muslim)
Waktu Pembagian Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991) Ketentuan waris Islam menganjurkan pembagian warisan harus menyegerakan untuk dilaksanakan karena, dikhawatirkan terjadi berbagai konflik internal dalam keluarga atau harta warisan yang nilai atau jumlahnya tidak akan sama apabila tidak disegerakan. Sebab, harta peninggalan biasanya tidak hanya berupa uang saja, namun bisa terdapat tanah atau bangunan atau barang yang memiliki nilai. Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata- mata disebabkan adanya kematian. Dengan kata lain, harta seseorang tidak beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih hidup. Hal ini sejalan dengan penjelasan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf a dan b, yaitu:
a. "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing
b. "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. "
Dengan adanya ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No.1 Tahun 1991 tersebut dapat dijelaskan bahwa hukum kewarisan dalam Islam terjadi apabila pewaris yaitu orang yang dinyatakan meninggal dunia dan memiliki harta peninggalan untuk diberikan kepada ahli waris yang memiliki hak untuk menjadi ahli waris terhadap bagian- bagiannya yang telah ditentukan.
3.Mengapa Di Masyarakat Sering Terjadi Persenketakan Masalah Harta Warisan ?
Pembagian warisan merupakan suatu permasalahan yang rentan terjadinya konflik dalam sebuah keluarga. Sering kali keutuhan keluarga menjadi berantakan, fenomena ini terjadi diberbagai lapisan masyarakat. Faktor penyebab terjadinya sengketa waris adalah karena belum adanya pembagian harta warisan dalam rentang waktu yang lama sehingga harta tersebut menjadi musnah dan timbulnya fitnah, ini didukung oleh ketidaktahuan ahli waris, dan adanya penguasaan sepihak dari salah satu ahli waris. Secara naluri, keinginan mengambil alih kekayaan orang yang meninggal tentu merupakan keinginan siapapun orang berada sekitarnya. Tidak peduli, apakah yang berada di sekitar tersebut keturunannya atau hanya kebetulan mempunyai kedekatan saja. Tampaknya ada belum tahu, bahwa tidak semua orang yang dekat secara fisik dengan pewaris mempunyai hak waris. Hal demikian berlaku sebaliknya, tidak mesti orang yang tidak dekat secara fisik harus diabaikan dari pembagian warisan. Karena, bisa jadi orang sehari-hari dekat dengan pewaris tersebut sekalipun telah bertahun-tahun, sama sekali bukan keluarga yang mempunyai hubungan kewarisan dengan pewaris.
Ketidak tahuan hukum waris menyebabkan seseorang ahli waris mempunyai persepsi yang salah. Orang yang yang secara hukum mestinya tidak berhak karena alasan tertentu merasa berhak akhirnya menguasai seenaknya harta peninggalan almarhum. Apalagi kalau jarak pembagian harta dengan kematian pewaris berlangsung sangat lama, semisal sudah sampai keturunan derajat ketiga atau bahkan keempat. Sedangkan, harta sudah terlanjur dikuasai secara sepihak oleh sebagian keluarga. Padahal, mestinya segera setelah pewaris meninggal, pembagian warisan ini dilaksanakan. Sebab, salah satu asas hukum waris Islam adalah ijbari. Asas ini mengandung pengertian, bahwa peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli waris berlaku dengan sendirinya, tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Itulah sebabnya hukum waris beserta ketentuannya, berlaku seketika ketika pewaris benar-benar telah meninggal. Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, pada saat itu pula harus ditentukan siapa ahli waris yang berhak menerima dan dipilih mana harta yang dapat dibagi sebagai harta warisan dan mana yang bukan. Oleh karena mengenai berapa ketentuannya, para ahli waris sering tidak tahu, maka melibatkan tokoh agama setempat ( kiai atau ustadz ) yang mengerti, merupakan sesuatu hal perlu dilakukan oleh ahli waris.
Yang sering dilakukan oleh ahli waris, yang culas sekaligus tamak, ini adalah biasanya mengalihkan harta warisan kepada pihak ketiga dengan cara menjual tanpa sepengetahuan ahli waris yang lain. Momen kedamaian dan kediaman ahli waris lain, disalahgunakannya untuk berlaku curang. Dia lupa dengan asas ijbari yang ada pada hukum kewarisan, bahwa ahli waris dan bagian harta yang berhak diterima melekat sampai kapanpun. Bahkan, oleh karena melekat, harta warisan yang sudah berpindah kepada pihak lainpun secara hukum dapat tetap diperhitungkan apabila ahli waris lain yang dirugikan mempermasalahkannya. Apabila terjadi sengketa di Pengadilan Agama harta yang sudah beralih ke pihak lainpun masih dapat digugat dan yang membeli harta warisan tersebut juga dijadikan tergugat.
4. Bagaimana seharusnya dalam menyelesaikan masalah harta warisan dilakukan di tengah masyarakat?
Cara-cara yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah harta warisan, sebagai berikut:
1. Melalui perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak diantara ahli waris, bentuk seperti ini biasa dilakukan dengan adanya pihak pertama sebagai ahli waris yang menyatakan keluar dari menerima hak waris, dan menyerahkan warisan kepada pihak kedua atau ahli waris lain yang dikehendaki oleh ahli waris pertama, apakah melalui pembebasan tebusan atau penggantian sama sekali ataupun melalui tebusan atau penggantian atas atas harta warisan yang telah diwariskan kepada pihak pertama.
2. Perdamaian dalam bentuk jual beli, perdamaian dalam bentuk ini biasanya dinyatakan seolah-olah terjadi transaksi jual beli, yaitu pihak ahli waris pertama telah menyerahkan harta bagian warisannya kepada ahli waris yang dikehendakinya, dan ahli waris yang menerima tersebut menyatakan seperti membeli harta dari pihak pertama, bentuk seperti ini biasanya untuk mempermudah dalam menyelesaikan surat-surat yang terkait dengan hak kepemilikan.
3. Perdamaian dalam bentuk perjanjian tukar menukar, Perjanjian tukar menukar dalam pembagian waris dengan jalan damai bisa dilakukan, pihak yang menyatakan mundur sebagai ahli waris dapat menerima tebusan atau ganti yang ditukar dalam bentuk harta yang lain yang seharusnya menjadi bagian warisnya, dan harta sebagai tukarannya diberikan oleh pihak yang tidak mengundurkan diri sebagai ahli waris.
4. Perdamaian pembagian warisan juga bisa dilakukan dengan memberikan bagian yang sama diantara ahli waris, jika seluruh ahli waris sepakat atas pembagian warisan tersebut dan telah diketahui bagiannya masing-masing sesuai hukum kewarisan Islam
5. Sebagai Mahasiswa Islam Apa Yang Anda Lakukan Bila Terjadi Sengketa Harta Warisan Dalam Suatu Keluarga?
Ada konflik yang terjadi di keluarganya, mereka lebih memilih diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan tidak sampai ke perangkat desa apalagi sampai ke meja pengadilan. Dalam masalah penyelesaian konflik keluarga atau sengketa yang terjadi di masyarakat akibat pembagian harta orang tua yang terkadang disebabkan karena tidak merata atau tidak adil dalam pembagiannya, sebenarnya bisa di tempuh dengan dua cara, yaitu dengan kekeluargaan atau dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
Seperti halnya yang sudah di sudah dijelaskan di pembahasan pertama orang yang berhak menerima harta hibah adalah siapa saja, baik dari kalangan calon ahli waris sendiri maupun diluar calon ahli waris tanpa di batasai besaran nilai harta yang akan diberikannya.Dalam hal ini orang tua mempunyai kekuasaan penuh atas hartanya yang akan di hibahkan kepada siapapun dan dalam jumlah berapapun. Sehingga nantinya ahli waris bisa saja mendapat harta dua kali, yaitu dari jalur hibah ketika pewaris masih hidup dan dari waris ketika pewaris telah meninggal dunia.
Dalam hal lain terdapat perbedaan pendapat menurut jumhur ulama yang mana jika orang tua yang memberikan hibah terhadap calon ahli warisnya ketika dalam keadaan sakit dan setelah itu meninggal dunia maka hibah tersebut termasuk dalam sepertiga warisannya.Hal ini maka ketika hibah diberikan pada saat orang tua dalam keadaan sakit dan meninggal dunia maka harta yang diberikan termasuk termasuk dalam harta warisan, yang mana harta tersebut nantinya di kumulasikan dari harta peninggalan yang lain. Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210 ayat 1 yang menyebutkan bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menghibahkan 1/3 hartanya sekalipun dalam keadaan sakit. Mereka menyamakan proses hibah dengan wasiat, dengan ketentuan hibah yang telah memenuhi syarat-syaratnya.
Dalam pemberian hibah yang mana besaran jumlahnya telah di tentukan sebanyak-banyak 1/3 dari harta yang dimiliki, hal ini merupakan demi kemaslahatan bersama. Dengan di batasi jumlahnya ketika terjadi konflik maka bisa langsung megkalkulasikan menjadi harta warisan. Disamping itu pula pada pasal 210 ini juga menyebutkan bahwasannya ketika memberikan harta waris dengan hibah harus dihadapan dua orang saksi. Keberadaan para saksi sangat berpengaruh ketika terjadinya perselisihan antar anggota keluarga. Dalam hal ini jika nantinya terjadi konflik maka saksi bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan baik pada keluarga sendiri maupun di pengadilan.
DI SUSUN OLEH KELOMPOK 2 HKI 4E :
Aisyah Rahmawati (212121147)
Hilma Syahidah (212121154)
Bibit Sukma Mukti (212121167)
Ahmad Husain ( 212121182)
Nova Tri Nugroho (212121185)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI