Akhir-akhir ini viral di media sosial kasus yang menimpa guru honorer dari konawe selatan Sulawesi bernama Supriyani. Bu supriyani dipolisikan bahkan ditahan hingga dimintai 50 juta karena dituduh memukul paha anak muridnya yang merupakan anak polisi dengan sapu sampai meninggalkan bekas memar.
 Kasus bu supriyani ini membuat netizen mengulik Kembali kasus guru-guru yang senasib dengan bu supriyani tetapi tidak tersorot media. Salah satunya yaitu pak sambudi. Sambudi dipenjarakan karena mencubit muridnya yang tidak melaksanakan sholat.
Kejadian pencubitan itu bermula Ketika Sambudi menghukum siswa-siswa SMP Raden Rahmat yang tidak melaksanakan sholat dhuha (3/2/2016). Â Dijelaskan bahwa sholat dhuha tersebut merupakan kebijakan sekolah untuk menumbuhkan ketaqwaan siswanya. Namun, beberapa siswa menghindar dari kegiatan sholat dhuha berjamaah tersebut termasuk anak Yuni Kurniawan, yaitu SS.
Karena kejadian tersebut SS mengalami luka memar bekas cubitan. Melihat hal tersebut, orang tua SS tidak terima atas perlakuan Sambudi dan melaporkannya ke Polsek Balongbendo. Atas laporan tersebut, Sambudi akhirnya disidang pada selasa (28/6/2016) di pengadilan Negri (PN) Sidoarjo. Karena perkara ini, ratusan guru memberikan dukungan simpatik dengan cara melakukan aksi long march dari Alun-alun Sidoarjo hingga Ruang Sidang Kartika PN. Mereka tidak terima karena seorang guru diperkarakan hingga dijebloskan ke penjara hanya karena ingin mendidik muridnya yang tidak tertib.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim, Ichwan Sumadi, memberikan dukungan atas kasus Sambudi ini.
"katakanlah, seorang guru mencubit siswa. Namun, yang dilakukannya itu dalam koridor mendidik dan hukuman mencubit itu belum dalam kategori parah," terang Ichwan. Apalagi tidak hanya satu siswa yang dihukum, melainkan ada sekitar 30 siswa yang mendapatkan sanksi yang sama.
Ichwan menambahkan, dirinya menduga jika orang tua SS merupakan anggoa TNI AD berpangkat Serka dari satuan Intel Kodim 0817 Gresik sehingga membuat Polsek Balongbendo tidak dapat menolak laporannya.
Siding pertama kasus Sambudi dilaksanakan pada Selasa (28/6/2016) pukul 14.00 WIB di PN Sidoarjo. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada siding kala itu belum menentukan dakwaan terhadap Sambudi sehingga sidang ditunda hingga 14 Juli 2016.
 Sambudi memberi penjelasan bahwa ia hanya menepuk bahu SS dan mengingatkan agar SS tidak mengulangi kenakalannya lagi. Namun, Kapolsek Balongbendo menyampaikan hal yang berbeda, Kompol Sutriswoko selaku Kapolsek mengatakan bahwa memang benar ada cubitan hingga memar di lengan SS.
Lanjutnya, kejadian pada 3 Ferbuari 2016 itu kemudian dilaporkan oleh orang tua SS tiga hari setelahnya. Setelah laporan masuk, pihaknya langsung melakukan visum yang berujung pada pemeriksaan pertama Sambudi.
Sidang tuntutan selanjutnya dilaksanakan pada Kamis (14/7/2016). Pada sidang tersebut, JPU menuntut Sambudi dengan pidana enam bulan dengan masa percobaan satu tahun. Tuntutan itu dibacakan oleh Jaksa Andrianis, menyatakan bahwa Sambudi telah bersalah dan melanggar pasal 80 ayat (1) Undang-undang perlindungan anak. Jaksa juga menambahkan bahwa tindakan mencubit itu tidak dibenarkan.
Sidang selanjutnya dilakukan pada kamis (21/7/2016). Pada sidang tersebut, Sambudi melakukan pembelaan diri melalui kuasa hukumnya, Priyo Utomo, ia menyatakan bahwa alat bukti yang disampaikan saat sidang itu cacat dan tidak memenuhi syarat.
Hasil visum yang digunakan sebagai alat bukti persidangan kasus Sambudi ternyata dilakukan di puskesmas. Menurut Priyo Utomo, visum untuk perkara hukum seperti ini harusnya dilakukan di Rumah Sakit.
Priyo menambahkan jika hasil visum tersebut terlihat aneh. Ada jeda lima hari dari waktu kejadian hingga waktu orang tua SS melaporkan ke polisi. Mereka melakukan visumnya baru  setelah melapor.
"Anehnya, hasil visum mengatakan bahwa memar itu merupakan luka baru. Padahal ada jeda waktu lima hari dari perkara yang disangkakan itu," ujar Priyo.
Keanehan juga ditambah dengan lemahnya saksi hukum karena hanya keterangan SS dan orang tuanya saja. Karena hal tersebut, siding Kembali dilanjutkan pada 28 Juli 2016.
"saya tidak tau alasan utamanya melaporkan ke polisi apa. Hanya saja, hal seperti ini bisa dimusyawarahkan. Siding ini berpegaruh sangat besar terhadap kondisi guru se-Indonesia. Mereka memantau siding ini," terang ichwan.
Ichwan berkata bahwa kasus seperti ini membuat para guru cemas ketika akan menghukum siswanya dan akhirnya menjadi tidak peduli ketika siswanya tidak mematuhi peraturan karena mereka takut jika tindakan mendidiknya akan dilaporkan ke polisi seperti Sambudi ini.
Guru yang menerapkan disiplin dalam batas yang bisa dikatakan wajar sesuai norma dan aturan yang berlaku bagi muridnya, malah dituduh melalukan tindakan kriminal.
Kasus pak Sambudi ini ada kaitannya dengan Teori Keadilan dari John Rawls yaitu Difference Principle atau prinsip perbedaan. Menurut John Rawls ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika hal tersebut memeberi manfaat besar bagi mereka yang paling dirugikan dalam masyarakaat (the least advantaged). Dalam kasus sambudi ini, jika dia benar-benar tidak bersalah namun diperlakukan secara tidak adil (dijebloskan ke penjara dengan  hasil visum yang janggal dan kesaksian yang lemah), maka ini bisa dilihat sebagai ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadapnya.
John Rawls juga menekankan pentingnya prosedur yang adil (fair procedures) dalam distribusi keadilan. Menurut Rawls, keadilan tidak hanya bergantung pada hasil tetapi juga pada bagaimana proses itu dilakukan. Jika ada kekeliruan dalam prosedur hukum yang mengarah kepada ketidakadilan (misalnya, bukti yang tidak diperiksa dengan cermat) maka itu melanggar prinsip keadilan procedural John Rawls.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H