Sidang selanjutnya dilakukan pada kamis (21/7/2016). Pada sidang tersebut, Sambudi melakukan pembelaan diri melalui kuasa hukumnya, Priyo Utomo, ia menyatakan bahwa alat bukti yang disampaikan saat sidang itu cacat dan tidak memenuhi syarat.
Hasil visum yang digunakan sebagai alat bukti persidangan kasus Sambudi ternyata dilakukan di puskesmas. Menurut Priyo Utomo, visum untuk perkara hukum seperti ini harusnya dilakukan di Rumah Sakit.
Priyo menambahkan jika hasil visum tersebut terlihat aneh. Ada jeda lima hari dari waktu kejadian hingga waktu orang tua SS melaporkan ke polisi. Mereka melakukan visumnya baru  setelah melapor.
"Anehnya, hasil visum mengatakan bahwa memar itu merupakan luka baru. Padahal ada jeda waktu lima hari dari perkara yang disangkakan itu," ujar Priyo.
Keanehan juga ditambah dengan lemahnya saksi hukum karena hanya keterangan SS dan orang tuanya saja. Karena hal tersebut, siding Kembali dilanjutkan pada 28 Juli 2016.
"saya tidak tau alasan utamanya melaporkan ke polisi apa. Hanya saja, hal seperti ini bisa dimusyawarahkan. Siding ini berpegaruh sangat besar terhadap kondisi guru se-Indonesia. Mereka memantau siding ini," terang ichwan.
Ichwan berkata bahwa kasus seperti ini membuat para guru cemas ketika akan menghukum siswanya dan akhirnya menjadi tidak peduli ketika siswanya tidak mematuhi peraturan karena mereka takut jika tindakan mendidiknya akan dilaporkan ke polisi seperti Sambudi ini.
Guru yang menerapkan disiplin dalam batas yang bisa dikatakan wajar sesuai norma dan aturan yang berlaku bagi muridnya, malah dituduh melalukan tindakan kriminal.
Kasus pak Sambudi ini ada kaitannya dengan Teori Keadilan dari John Rawls yaitu Difference Principle atau prinsip perbedaan. Menurut John Rawls ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika hal tersebut memeberi manfaat besar bagi mereka yang paling dirugikan dalam masyarakaat (the least advantaged). Dalam kasus sambudi ini, jika dia benar-benar tidak bersalah namun diperlakukan secara tidak adil (dijebloskan ke penjara dengan  hasil visum yang janggal dan kesaksian yang lemah), maka ini bisa dilihat sebagai ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadapnya.
John Rawls juga menekankan pentingnya prosedur yang adil (fair procedures) dalam distribusi keadilan. Menurut Rawls, keadilan tidak hanya bergantung pada hasil tetapi juga pada bagaimana proses itu dilakukan. Jika ada kekeliruan dalam prosedur hukum yang mengarah kepada ketidakadilan (misalnya, bukti yang tidak diperiksa dengan cermat) maka itu melanggar prinsip keadilan procedural John Rawls.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H