Mohon tunggu...
Aisyah Fridannisa
Aisyah Fridannisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan IPB University

Pernah aktif menulis dan mencoba untuk aktif menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

MOLEF Koro Kratok: Inovasi Sumber Pangan yang Terjangkau dan Bergizi

3 Desember 2024   18:04 Diperbarui: 3 Desember 2024   20:37 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koro Kratok (Dokumentasi Pribadi)

Kekurangan Energi Protein (KEP) adalah satu dari lima permasalahan gizi pokok di Indonesia. Jika dikaitkan dengan definisi dan tipe malnutrisi (masalah gizi) menurut UNICEF, kekurangan energi protein termasuk dalam salah satu jenis malnutrisi yang dapat terlihat secara kasat mata, yaitu undernutrition (kekurangan gizi). Kekurangan gizi dapat menghambat pertumbuhan, melemahkan sistem imun, mengganggu perkembangan otak, hingga meningkatkan risiko terhadap penyakit dan juga kematian. Malnutrisi jenis ini dapat berupa wasting (gizi buruk atau kurang), stunting (kurang gizi kronik/jangka panjang), ataupun keduanya. Wasting dapat ditandai dengan tubuh yang terlalu kurus dibandingkan dengan tinggi badan serta lingkar lengan atas (LiLA) yang terlalu kecil, sementara stunting dapat terlihat dengan tinggi badan yang sangat pendek jika dibandingkan dengan anak sepantarannya. Persentase stunting balita di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 masih cukup tinggi, yaitu 21,5%. Persentase tersebut masih jauh dari hasil yang diinginkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, yang menetapkan penurunan angka stunting balita hingga 14%.

Terdapat beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan kekurangan energi protein pada anak dibawah usia lima tahun, antara lain status ekonomi dan sosial yang rendah, kurangnya makanan dengan kandungan protein tinggi dalam makanan sehari-hari, infeksi mikroba, serta kurangnya ketersediaan bahan makanan bergizi. Salah satu langkah pencegahan untuk mengurangi risiko terjadinya kekurangan energi protein ini adalah dengan meningkatkan konsumsi pangan tinggi protein. Sumber pangan dengan kandungan protein tertinggi dan mudah diperoleh biasanya berasal dari sumber hewani. Namun, pangan dari sumber hewani ini cenderung memiliki harga yang relatif tinggi sehingga kurang terjangkau bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah kebawah. Sumber protein nabati dapat menjadi alternatif yang tepat dan lebih terjangkau dalam mengatasi masalah ini.

Sejauh ini, pangan tinggi protein dari sumber nabati di Indonesia yang paling umum dikonsumsi adalah kedelai. Kedelai dapat diproduksi menjadi berbagai produk pangan dan minuman, seperti tempe, tahu, oncom, keripik tempe, kecap, dan minuman kedelai. Sayangnya, kedelai di Indonesia sebagian besar merupakan produk impor. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2023 hanya mampu memenuhi sekitar 10% dari kebutuhan nasional sehingga masih harus dipenuhi dengan impor dari luar negeri, terutama dari Amerika Serikat. Salah satu penyebab kurangnya produksi kedelai ini dikarenakan oleh harga kedelai yang kurang kompetitif dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya.

Potensi Koro Kratok

Koro kratok (Phaseolus lunatus) merupakan jenis tanaman legum, yaitu tanaman yang dapat mengkap nitrogen di dalam tanah dan memanfaatkannya untuk kesuburan tanah. Karena kemampuan inilah tanaman legum sering digunakan sebagai salah satu tanaman dalam sistem tumpangsari. Selain dapat menyuburkan tanah, koro kratok ini memiliki potensi yang sangat baik menjadi sumber pangan karena tinggi akan protein, karbohidrat, dan serat, sekaligus rendah kandungan lemak. Kandungan karbohidrat dalam koro kratok berkisar antara 60,55-74,62%, sementara kandungan proteinnya sekitar 12,24-24,92%, kandungan serat sekitar 4,20-5,50%, dan kandungan lemaknya hanya sekitar 0,99-1,21%. Selain itu, koro kratok juga kaya akan kandungan vitamin B1 (tiamin) serta B2 (riboflavin). Kandungan protein yang tinggi inilah yang menyebabkan koro kratok berpotensi tinggi menjadi pengganti protein yang bersumber dari hewani.

Koro kratok juga bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki indeks glikemik yang rendah. Hal ini disebabkan karena jenis karbohidrat dalam koro kratok merupakan jenis yang lambat dilepaskan ke dalam tubuh sehingga menyebabkan rasa kenyang yang bertahan lebih lama. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa koro kratok juga memiliki sifat fungsional yang dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh, seperti sebagai antioksidan yang dapat melawan radikal bebas, penghambat proliferasi (pembelahan) sel tumor dan sel kanker, sebagai antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan jamur, dan juga bersifat gastroprotektif, yaitu dapat melindungi lambung dari kerusakan atau luka yang disebabkan oleh etanol. Sifat-sifat fungsional ini dapat menjadi nilai tambah dari koro kratok, disamping kandungan zat gizinya yang tinggi, khususnya protein.

Mengapa Modified Legume Flour (MOLEF)

Pemanfaatan koro kratok di Indonesia hingga saat ini masih belum maksimal karena sebagian besar dari masyarakat hanya memanfaatkan koro kratok sebagai pakan ternak. Salah satu alasan yang dapat menyebabkan terjadinya fenomena tersebut adalah karena adanya kandungan zat antigizi pada koro kratok. Beberapa zat antigizi tersebut antara lain lektin (khususnya sebagai penggumpal darah), tanin, antitripsin, asam fitat, serta glukosida penghasil senyawa oksalat dan sianida. Zat-zat antigizi tersebut dapat menghambat penyerapan dan pemanfaatan mineral esensial, menurunkan komponen gizi pangan, dan menurunkan daya cerna protein. Namun, berdasarkan beberapa hasil penelitian, zat-zat antigizi tersebut sebenarnya dapat hilang dengan proses pengolahan, seperti perendaman, pemanasan pada suhu tinggi, serta fermentasi.

Modified Legume Flour (MOLEF) merupakan produk tepung dari hasil fermentasi tanaman legum, salah satunya koro kratok. Proses fermentasi ini dapat dilakukan secara spontan menggunakan penambahan larutan asam dan garam, ataupun secara tidak spontan (fermentasi terkendali) dengan Bakteri Asam Laktat (BAL) seperti Lactobacillus plantarum. Proses fermentasi ini dapat menurunkan kandungan zat antigizi pada koro kratok seperti lektin (sejenis protein) karena proses fermentasi dapat memutuskan ikatan protein dan mengubah sifat antigizinya, sekaligus meningkatkan nilai gizinya karena protein juga dapat terpecah menjadi asam amino, yaitu bentuk yang lebih mudah diserap oleh tubuh. Pengolahan MOLEF juga melibatkan proses perendaman dan pemanasan sehingga zat antigizi lain seperti asam sianida, asam fitat, antitripsin, dan tannin juga dapat berkurang selama proses pengolahan. Disamping itu, pengolahan koro kratok menjadi MOLEF secara umum juga dapat meningkatkan kualitas tekstur dan rasanya, serta membuatnya lebih praktis untuk diaplikasikan menjadi produk pangan dalam menu makanan sehari-hari.

Langkah Pengembangan dan Komersialisasi

Peneliti di bidang teknologi pangan merupakan garda terdepan dalam penelitian tentang proses pengolahan koro kratok menjadi MOLEF dan pengembangan produknya, dampaknya terhadap penurunan zat antigizi, peningkatan penyerapan zat gizi dan efeknya terhadap kesehatan, serta peningkatan tekstur dan rasa. Pengujian kulitas pangan seperti komposisi zat gizi, sifat fisik, sifat kimia, dan tingkat penerimaan konsumen; pengujian keamanan pangan dari keberadaan mikroba secara alami dan kandungan alergen; serta pengujian ketahanan masa simpan dapat dilakukan dengan penelitian laboratorium. Penelitian-penelitian ini penting dilakukan untuk memastikan keamanan pangan dari produk MOLEF supaya menjadi produk berkualitas tinggi, serta memberikan gambaran tentang pemanfaatan MOLEF dalam produk pangan. Tentunya, produk yang dihasilkan juga harus memenuhi regulasi yang berlaku, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bagi komodutas yang akan diedarkan di dalam negeri, serta CODEX atau regulasi negara tujuan jika produknya akan diekspor ke luar negeri.

Sampai saat ini, penelitian tentang pengembangan produk tepung serta MOLEF dari koro kratok telah menghasilkan produk-produk pangan, antara lain sebagai pengganti tepung terigu pada tepung serbaguna, mi instan, dan mi basah; bahan pendukung dalam nuget jamur merang; serta menjadi bahan utama dalam produk daging analog (daging tiruan) seperti sosis dan bakso, produk sereal ubi jalar, serta produk kue brownies. Namun sayangnya, produk-produk dari hasil penelitian tersebut belum diketahui secara umum oleh masyarakat luas sehingga sosialisasi serta edukasi tentang MOLEF koro kratok serta pengembangan produknya masih perlu ditingkatkan. Ilmuwan teknologi pangan dapat berkolaborasi dengan UMKM lokal ataupun industri pangan untuk memproduksi serta memasarkan produk yang telah dikembangkan melalui penelitian laboratorium, supaya produk tersebut dapat dikomersialisasikan sehingga lebih mudah diakses dan lebih dikenal oleh masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun