Saya bertanya kepada aktivis Suriah, “Mengapa pergerakan SAA di Allepo seperti keong?” [1] Dia menjawab: “Allepo adalah wilayah yang cukup padat, sebisa mungkin operasi pembebasan Allepo diusahakan agar tidak menimbulkan banyak korban dan kerusakan bangunan.”
Bagi pengamat konflik Suriah, pastinya paham bahwa Allepo adalah “paru-paru” Suriah tempat tumbuhnya industri-industri baik yang lokal maupun yang berskala internasional.
Dalam merebut Allepo, SAA dibantu Hizbullah lebih banyak melakukan perang gerilya, itulah mengapa saya hanya bisa tersenyum pahit saat BBC, CNN juga media corong zionis lainnya di Indonesia seperti Arrahmah dan Voa Islam membuat berita palsu khas para pecundang: “Rezim menggunakan bom barrel di Allepo.”
Sekarang kita beralih ke Damaskus. Di pinggiran Damaskus, Kamp Yarmouk dikepung berbulan-bulan oleh SAA. Tidak ada teroris yang bisa keluar dari tempat tersebut. SAA juga tidak masuk ke dalam Kamp karena jika itu dilakukan, habislah pengungsi Palestina disana menjadi korban baku tembak kedua belah pihak. Rakyat Palestina hendak keluar dari Kamp tetapi selalu dihalangi teroris, dan mereka dijadikan tameng hidup.
Ketika Yarmouk dikepung rpat dan mereka [teroris] tidak bisa keluar, maka akses mereka untuk bisa memasuki ibukota-Damaskus pun tidak menemukan celah sedikitpun. Damaskus yang merupakan jantungnya Suriah, masih bisa berdetak, masih relatif aman kendatipun roket-roket berjatuhan setiap hari.
Dan mengapa ketika Hizbullah memutuskan untuk terjun langsung ke dalam perang Suriah, yang direbut pertama kali adalah Al-Qusayr, bukan yang lain? Kota itu adalah jalur masuk sekaligus ‘gudangnya’ pasokan teroris baik itu senjata maupun kebutuhan makanan.Nah jika kota ini direbut, otomatis kekuatan teroris akan melemah dan hal ini sudah terbukti.
Sejak penaklukan Al-Qusayr, pembebasan daerah-daerah lain menjadi lebih mudah. SAA belajar banyak dari perang Stalingrad, dimana Tentara Keenam Jerman akhirnya menyerah setelah terkepung bukan hanya dalam badai salju, namun benar-benar terisolasi dari mendapatkan kebutuhan hidup mereka setelah pasukan yang mengawal mereka di belakang diporakporandakan Uni Sovyet, dan dari 330.000 personel, hanya sekitar 90.000 yang selamat dan menyerahkan dirinya kepada Uni Sovyet.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Strategi. Dalam perang dimanapun, termasuk perang di dunia maya melawan agen Zionis kita butuh strategi yang matang, bukan asal bisa tembak lalu menembak membabi buta.
Dari ketiga cerita di atas, SAA melakukan operasi militer setelah mempelajari kondisi medan dan lawan terlebih dahulu, dan hal itulah yang seharusnya kita lakukan ketika kita harus “perang” melawan para provokator, apapun baju yang dikenakannya, baju Sunni ataupun Syiah.
Pengakuan Eksistensi [Oleh Muhammad Dudi Hari Saputra]
Sebagian besar perasaan tertusuk manusia, ketika keberadaan dirinya tidak dianggap ada. Anda bisa melihat sosoknya, tapi wujud nya seolah lenyap. Bentuk praktek ini bisa berbagai macam: dari pertanyaan yang tidak dibalas, sapaan yang diacuhkan maupun senyum yang dibalas dengan kegetiran.
Manusia yang mengalami hal ini akan merasa sakit luar biasa, mengapa bisa timbul sakit seperti itu? Karena hal ini menyentuh elemen paling mendasar (isholatul) manusia, yang di dalam falsafah Islam disebut sebagai wujud (eksistensi).
Axel Honneth menjelaskan bentuk eksistensi manusia sebagai keinginan untuk mendapatkan pengakuan (recognition). Manusia setidaknya memiliki tiga bentuk pengakuan yang ingin dicapainya, pertama adalah pengakuan cinta untuk kepercayaan diri nya, kedua adalah pengakuan moral dan martabat untuk penghormatan dirinya dan ketiga dalah pengakuan pencapaian kehidupan sosial untuk penghargaan dirinya.
Dan tujuan utama manusia untuk mencapai ketiga pengakuan ini, hanya agar dirinya dianggap ada, sehingga tidak dilupakan atau disisihkan.
Menurut Honneth, dasar konflik yang terjadi dikehidupan manusia karena adanya pelecehan/disrespect terhadap orang atau kelompok lain yang tidak mendapatkan pengakuan akan eksistensi nya. Kelompok-kelompok atau orang-orang yang termarjinal/tersisihkan akhirnya memberontak dan melawan orang atau kelompok yang menyisihkannya tersebut.
Sehingga perlu menurut Honneth untuk menciptakan komunikasi yang deliberatif (komunikasi yang mendalam, terbuka dan setara) terhadap kelompok atau orang yang tersisihkan, agar diakui keberadaannya dan menjadi bentuk penghormatan terhadap sesama manusia.
Disadari atau tidak, kita sering kali berbuat acuh terhadap orang lain. Nabi Muhammad Saww pernah berkata, “untuk membunuh seseorang tidak perlu dengan membencinya, tapi cukup dengan tidak peduli dan mengacuhkannya.”
Melumpuhkan Pemuja Popularitas
Dalam beberapa waktu terakhir, saya sering menemukan orang yang begitu terobsesi dengan popularitas. Banyak teman saya yang curhat, bahwa si fulan dan si fulan, melakukan hal-hal yang sangat provokatif – sehingga benar-benar eksis.
Bagaimana melawan mereka? Tentunya dengan menggunakan strategi. Saya amati bahwa para provokator ini adalah orang-orang yang kesepian dan berusaha menunjukkan taringnya di dunia maya, dengan menghalalkan segala cara – propaganda dan fitnah.
Mereka, harus dilawan. Dan strategi yang paling tepat untuk mengalahkan mereka adalah dengan membiarkannya, menyisihkannya, dan tidak menganggapnya ada — sebagaimana teori eksistensi manusia Axel Honneth, yang dipaparkan Dudi diatas.
Keterangan:
[1] Pergerakan Tentara Suriah di Allepo sangat lambat dan beberapa wilayah yang dkontrol ISIS kondisinya sangat mengenaskan.
Penulis: Aisyah Fadiya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI