Mohon tunggu...
Siti Aisya Rahmadhania
Siti Aisya Rahmadhania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mahasiswi Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Angka Kelahiran Turun? Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana, Boleh atau Tidak?

5 Desember 2024   17:53 Diperbarui: 5 Desember 2024   19:20 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artinya: "Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan"

Islam sebagai agama secara mendalam telah memberikan konsep hak asasi manusia (HAM) dalam ajaran-ajarannya. Imam al-Ghazali merumuskan lima hak dasar yang melekat pada setiap manusia, yang disebut al-Kulliyyat al-Khamsah. Kelima hak tersebut mencakup: hak untuk mempertahankan hidup (hifzh al-nafs), hak untuk memiliki harta benda (hifzh al-mal), hak untuk kebebasan berpikir (hifzh al-aql), hak untuk mempertahankan keturunan (hifzh al-nasl), dan hak untuk kebebasan beragama (hifzh al-din). Jika kelima hak tersebut dapat terpenuhi dengan baik dan adil, maka kemaslahatan masyarakat akan tercapai. Sebaliknya, apabila hak-hak tersebut belum terakomodasi, atau bahkan tidak ada sama sekali, berarti kemaslahatan dalam kehidupan publik belum dapat terwujud.

Lalu dari sudut pandang ulama, terdapat beberapa ulama yang memperbolehkan KB antara lain, Yusuf Qaradhawi, Imam Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut. Mereka berpendapat bahwa praktik KB boleh dilakukan dengan adanya ketentuan antara lain: untuk menjaga kesehatan ibu, menghindari kesulitan ibu, dan untuk menjarangkan anak.

Sedangkan beberapa ulama yang melarang antara lain Madkhour, Abu A'la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan. Dan Syaed Abi Bakr berpendapat diharamkannya penggunaan suatu alat kontrasepsi yang memutuskannya kehamilan melalui sumbernya.

Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan program Keluarga Berencana (KB) selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. MUI menekankan pentingnya kesehatan reproduksi, jarak kelahiran, dan kesejahteraan keluarga. Namun, MUI juga memberikan batasan, seperti melarang penggunaan metode KB permanen kecuali jika ada alasan medis yang sah.

Jadi kesimpulannya, Keluarga Berencana (KB) dalam pandangan agama Islam diperbolehkan dengan adanya syarat tertentu seperti tujuan dan metode kontrasepsi yang digunakan. Beberapa ulama setuju penggunaan alat kontrasepsi asalkan tidak memutus kehamilan secara permanen selain dengan alasan medis yang jelas. Selain itu, KB juga diperbolehkan asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun