Mohon tunggu...
Thontowi Wallace
Thontowi Wallace Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

aku ada maka aku berfikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebiri Demokrasi dengan Parliamentary Treshold

15 September 2020   23:01 Diperbarui: 16 September 2020   07:57 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Parliamentary treshold atau ambang batas parlemen menjadi kebijakan yang panas dirumuskan oleh wakil rakyat selama tiga pemilu terakhir (2009, 2014, dan 2019). 

Menurut August Mellaz, threshold, electoral threshold, ataupun parliamentary threshold pada dasarnya sama, yakni ambang batas (syarat) yang harus dilampaui oleh partai politik, untuk dapat mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan.[1] Belum genap setahun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjabat, regulasi mengenai pemilu kembali mencuat ditengah pandemi Covid-19. 

Evaluasi serta formulasi mengenai kebijakan pemilu menjadi hal yang serius dilakukan untuk mempersiapkan pemilu 2024 menjelang. Pasca pemilu 2019 lalu, kebijakan ini menuai pro-kontra ditubuh parlemen itu sendiri. 

Para anggota DPR dari masing-masing partai politik memiliki subjektifitas yang berbeda. Karena kebijakan ini akan berpengaruh terhadap nasib partai politik dalam pemilu selanjutnya. 

Kebijakan ambang batas ini pertama kali digunakan pada pemilu 2009 silam. Kebijakan ini pertama termuat dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008. 

Pasal 202, menyebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Pada pemilu 2009, yakni 28 dari 44 partai politik tidak lolos dari ambang batas.[2]

 Berlanjut dengan formula baru mengenai kebijakan ambang batas ini, pada pemilu 2014 DPR berhasil merevisi UU nomor 10 tahun 2008 menjadi UU nomor 8 tahun 2012. Pasal 208 menetapkan bahwa ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5%. Kebijakan ini kembali tidak meloloskan dua partai pada pemilu 2014.[3] 

Pada tahun 2017, peraturan ini kembali di revisi menjadi UU Nomor 7 tahun 2017. Ambang batas yang ditentukan pun kian meningkat dari kebijkan sebelumnya menjadi 4% untuk pemilu 2019. Dari kebijakan terbaru mengenai ambang batas ini, dipemilu 2019 terdapat 7 parpol yang tidak lolos 4% dari ambang batas. 

Dinamika yang sudah terjadi dari pemilu 2009 hingga 2019 diatas membuat persaingan antar partai politik semakin ketat. Persaingan ini menyisakan partai-partai dengan suara terbanyak dalam pertarungan kursi parlemen. 

Hubungan sebab-akibat dari kebijakan yang sudah terjadi harus bisa diperhatikan oleh masyarakat kedepannya. Dengan semakin berkurangnya partai politik di parlemen menjadikan wadah aspirasi semakin berukurang. Disinilah titik dimana demokrasi yang semakin dikebiri.

Ihwal parliamentary treshold ini, membuat partai-partai besar semakin keras melantangkan dalam meningkatkan ambang batas dari sebelumnya. Ditengah pandemi yang sedang dihadapi Indonesia, DPR sudah memulai untuk merancang regulasi baru mengenai pemilu. Kali ini wacana yang muncul ialah menaikkan ambang batas dari 4% menjadi 7%.[4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun