Setelah pengumuman kelulusan di sekolahku, dia menjemputku untuk mengajakku main ke Sukabumi. Dia tidak mengatakan akan mengajakku ke rumahnya tetapi akan mengajakku main ke Salabintana. Aku menyetujuinya agar tahu kota tempat dia tinggal.
" An jadi kan? " tanyaanya dengan harap cemas.
" Iya jadi Dang." Jawabku sambil berjalan di sisinya." Mainnya ke Salabintana ya.."
" Iya An, kalu kamu belum siap aku ajak main ke rumah, aku nggak maksa kok." Imbuhnya sambil menatapku seolah dia mengerti gejolak hati yang nggak pede untuk bertemu orang-orang di rumahnya.
" Makasih ya... aku janji pelan-pelan aku mengumpulkan keberanian dulu." Ujarku.
Dia tertawa mnedengar jawabanku. Katanya baru kali ini ada cewek yang susah diajak main ke rumah.padahal kalau melihat teman-temannya mereka sudah biasa bolak balik ke rumah pacarnya. Dan aku tersenyum mendengarkannya.
" Aku kamseu ya," tanyaku. Dia menggeleng dan bilang aku beda.Aku menikmati pemandangan di Salabintana. Bukan karena pemandangannya yang indah tetapi mungkin karena aku berada di dekatnya dan tempat tinggalnya. Aku pulang tepat pukul 04.00 sore .
" Dang kalau cape aku pulang sendiri aja." Kataku padanya.
" An walau secape apapun, aku akan nganter pulang karena tadi pun aku yang jemput." Jawabnya dengan suara yang menenangkan jiwa. Entahlah beberapa hari ini aku jadi sentimentil. Dan aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Sepanjang perjalanan kami berdiam diri, entah karena cape atau karena aku merasa kami berbicara dengan hati masing-masing. Tak terasa sudah sampai ke rumah uaku. Kami ngobrol dulu karena itu malam minggu. Menceritakan perjalanan tadi dan diselingi dengan tawa kami berdua.Â
Tak lupa dia juga menceritkan kalau besoknya mau ke Bandung bareng kakaknya, mau tes katanya. Aku mendoakan semoga diterima agar cita-citanya tercapai. Pukul 09.00 dia pamit pulang. Aku nggak mengantarnya ke jalan karena hari sudah malam. Dia aku antarkan ke pintu pagar. Setelah dia menghilang di kelamnya malam, aku masuk ke rumah.
Seminggu setelah itu, aku pun mengikuti tes sipenmaru di kota Bandung. Aku berangkat dengan Masliah dan Nina serta menginap di rumah kakaku yang tinggal di Buah batu. Selesai sipenmaru, aku nggak langsung pulang melainkan liburan di rumah kakaku sambil menunggu hasilnya. Sebulan berlalu pengumumanpun keluar dan ternyata aku harus bisa menerima kenyataan kalau aku nggak diterima di perguruan tinggi yang diinginkn. Lalu aku disarankan mencari perguruan tinggi swasta.
Sebulan setelah pertemuan itu, aku mencoba mengirim surat ke rumahnya mengabarkan kalau aku gagal tes sipenmaru dan mencoba masuk di swasta. Tak ada jawaban. Aku memahami mungkin dia sibuk dengan kuliahnya di kehutanan itu. Tapi masa sih nggak ada waktu banget buat menulis satu kalimat balasan untukku. Aku kuatkan untuk tidak menduga yang negatif.
Pagi itu aku menerima surat darinya. Dia minta maaf baru bisa balas surat karena sibuk alasannya. Kubalas dan kukatakan nggak apa-apa asal setia. Aku pun sudah mulai mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi swasta yang bisa kujangkau biayanya. Begitu seterusnya, kami hanya berhubungan lewat surat walaupun kami tinggal di kota yang sama. Aku meminta waktu sama  dia untuk ketemu. Walau jawabannya aku dapat sudah lewat dari waktu yang aku inginkan.Entah sengaja atau tidak tapi aku merasa hubungan kami agak renggang dengan sendirinya.
Setelah ujian tengah semester, aku minta ijin ke kakakku untuk pulang dulu ke warungkondang. Walau ijin agak susah akhirnya kakakku mengijinkanku pergi. Aku tulis surat untuknya kalau aku mau ketemu di tempat pertama kita ketemu. Aku ancam kalau nggak datang aku anggap hubungan kita selesai tanpa penjelasan.
Sampai di rumah uaku, aku bilang ke kakak sepupuku kalau aku mau ketemu dia.
" Benapa nggak ketemu di bandung An? "Tanyanya.
" Nggak apa-apa teh biar menjadi kenangan." Jawabku sekenanya.
" Dadangnya sudah tahu ? tanyanya lagi.
" Sudah aku kirim surat seminggu lalu." Ujarku lagi.
" Ya sudah kalau begitu." Imbuh kakaku sambil mengajakku makan siang. Tepat pukul 04.00 aku turun ke batu yang berada di sungai itu tapi ternyata nggak ada. Aku pikir mungkin belum datang. Detik berlalu namun dia tetap nggak datang. Akhirnya kuputuskan kalau semuanya harus berlalu tanpa pembelaan dan penjelasan. Aku naik dan kembali ke rumah ua.
" Datang nggak An?  Tanya kakak sepupuku. Aku menggelengkan kepala dan ngajak kakakku ngobrol yang lain. Kakakku sudah paham kalau aku sedang nggak mau diajak bicara tentang dia. Makanya dia cerita kegiatannya setelah keluar dari SMEA. Dia ngehonor di kantor Ua  , katanya dari pada nganggur. Aku mengangguk dan tersenyum.
Besoknya pagi-pagi aku pulang ke Bandung karena hari Seninnya ada kuliah pagi. Sampai di kampus pas waktunya mau dimulai. Dan akupun mengikuti kuliahku dengan penuh tanda tanya dan penasaran padanya. Kenapa mesti nggak datang.
Beberapa waktu berlalu dan kami tidak berkirim kabar lagi. Aku isi waktuku dengan kegiatan di kampusku.Kubiarkan rasaku mengambang semu. Rasaku kini tak sebiru dulu bahkan terasa kelu dan mulai membisu.
Sampai suatu hari aku menerima suratnya tetapi aku sudah tak mau lagi dia permainkan. Aku tak membukanya apalagi membalasnya. Kubiarkan surat itu lapuk dimakan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H