Mohon tunggu...
Aissyah Nabila Anjani
Aissyah Nabila Anjani Mohon Tunggu... Lainnya - College Student

Hello! Thank you for reading :)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Solusi Penertiban Permukiman Liar di Sempadan Sungai

20 Mei 2020   16:23 Diperbarui: 20 Mei 2020   16:31 1685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urbanisasi adalah perpindahan orang atau penduduk dari desa ke kota. Salah satu faktor terjadinya urbanisasi yaitu kurangnya lapangan pekerjaan dan fasilitas yang ada di daerah pedesaan dan tidak meratanya pembangunan. Tingginya urbanisasi di perkotaan dapat menyebabkan beberapa permasalahan, seperti permukiman kumuh dan permukiman liar. Permukiman liar merupakan hunian yang terletak di lokasi yang peruntukan lahannya tidak diperuntukkan sebagai bangunan hunian atau biasa disebut permukiman ilegal.

Kota Surabaya sebagai salah satu kota yang menjadi pusat kegiatan di provinsi Jawa Timur juga kerap menjadi sasaran urbanisasi masyarakat dari luar Kota Surabaya. Permukiman liar banyak ditemukan di kota yang dijuluki sebagai kota pahlawan ini, seperti di bantaran sungai dan tepi rel kereta api. Salah satu bantaran sungai yang pernah menjadi lokasi permukiman liar yaitu sempadan Kali Jagir.

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan. Tidak semua masyarakat mendapatkan akses dan keterjangkauan untuk memiliki hunian yang layak huni.

Masyarakat yang tidak mampu untuk memiliki hunian yang layak seringkali membangun/membeli rumah secara informal yang cenderung memiliki kualitas lingkungan dan bangunan yang kurang baik. Permukiman informal yang kerap terjadi biasa disebut slum and squatter settlement, yang berarti permukiman kumuh dan permukiman liar.

Permukiman liar biasa disebut sebagai permukiman ilegal, dimana UN-HABITAT mendefinisikan sebagai daerah perumahan dengan kualitas buruk yang dibangun di lahan yang ditempati secara ilegal. Permukiman liar tidak sama seperti permukiman kumuh. Namun, secara realita permukiman liar sebagian besar dalam kondisi yang kumuh.

Rumah tangga kumuh yang dimaksud yaitu sekelompok orang yang tinggal di atap yang sama di daerah kota yang kekurangan satu atau lebih kondisi-kondisi seperti perumahan yang tahan lama; lingkungan hidup yang layak; akses terhadap air bersih; akses terhadap sanitasi dan kepemilikan yang terjamin. (UN-HABITAT, 2008).

Permasalahan permukiman muncul ketika lahan semakin terbatas dan menjadikan tepian sungai sebagai alternatif lokasi bermukim, khususnya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Keterbatasan akses untuk mendapat hunian yang layak memberikan mereka arahan untuk pergi ke pinggiran kota yang tergolong terjangkau untuk MBR, seperti kolong jalan tol, pinggiran rel dan tepian sungai.

Dengan semakin bertambahnya masyarakat yang bermukim di tepian sungai, lama kelamaan akan menyebabkan sungai tidak dapat meminimalisir dan mengendalikan stabilitas morfologinya sendiri, seperti terjadinya erosi, sedimentasi, dan banjir. Masyarakat yang tinggal di tepian sungai akan membuang limbah mereka langsung ke sungai, yang dapat menyebabkan sungai dapat tersumbat dan penuh dengan sampah.

Dalam buku Panduan Ringkas untuk Pembuat Kebijakan, UN-HABITAT mendefinisikan penggusuran paksa sebagai pemindahan permanen ataupun sementara yang bertentangan dengan keinginan individu, keluarga dan/atau masyarakat dari tempat tinggalnya dan/atau lahan yang mereka huni, tanpa adanya ketersediaan, dan aksesibilitas, ke berbagai bentuk perlindungan hukum yang memadai.

Dalam Perda Provinsi Jawa Timur No. 9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo, pasal 6, disebutkan bahwa tanah pada daerah sempadan sungai digunakan untuk keperluan a) operasi dan pemeliharaan sungai, b) tempat penimbunan hasil sementara pengerukan sungai, c) pembuatan bangunan sungai dan bangunan-bangunan pengairan, d) bangunan pengelolaan sungai (utilitas sungai), e) bangunan pengambilan dan pembuangan air, f) bangunan fasilitas umum dan g) jalur hijau.

Dalam Pasal 9 dijelaskan mengenai sanksi administrasi dan upaya paksa. Maksud upaya paksa dalam pasal 9 dalam Penjelasan Perda berupa pembongkaran bangunan yang berada pada bantaran sungai dan atau daerah sempadan sungai dan daerah penguasaan sungai yang bertentangan dengan peruntukannya. Upaya penggusuran merupakan opsi yang diambil pemerintah untuk menyikapi masalah permukiman liar dan sebagai upaya untuk melakukan manajemen dan penataan kota.

Penggusuran yang telah dilakukan oleh pemerintah seringkali dianggap melanggar hak asasi manusia dalam memiliki huniannya sendiri. Dalam menangangi kasus permukiman kumuh, memang sebisa mungkin perencana atau penyelenggara proyek akan melakukan perbaikan pada lingkungan perumahan tersebut, seperti peremajaan permukiman. Namun jika hal tersebut masih tidak dapat dilakukan, maka penggusuran merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan. Dalam kasus permukiman kumuh di sempadan Kali Jagir, tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menanganinya kecuali penggusuran, karena adanya permukiman di atas sempadan sungai sudah menjadi pelanggaran pemanfaatan ruang.

Bagaimana jika warga melakukan aksi dan menuntut hak mereka untuk memiliki tempat tinggal? Bukankah penggusuran bersinggungan dengan hak asasi manusia terutama hak atas tempat tinggal? Bagaimana cara yang tepat agar manajemen dan penataan kota tetap dapat terlaksana?

Dalam melakukan penggusuran, pemerintah juga harus memastikan masyarakat mendapatkan haknya untuk di relokasi atau permukiman kembali. Dalam melakukan penggusuran, beberapa hal yang pemerintah dapat lakukan untuk tetap mempertahankan menghargai hak asasi manusia masyarakat setempat, tetapi dapat mengembalikan fungsi sempadan sungai seperti yang seharusnya, yaitu:

  • Menetapkan regulasi terkait dengan sempadan sungai yang harus bebas dari segala aktivitas yang tidak mendukung fungsi sungai. Dalam tahap ini, pemerintah dapat menegaskan peraturan dan sanksinya jika masih terdapat permukiman yang melanggar atau timbul permukiman sempadan sungai yang baru.
  • Melakukan sosialisasi pada warga terkait dengan pentingnya menjaga fungsi sempadan sungai. Sosialisasi ini juga menjadi pendekatan oleh pemerintah kepada masyarakat agar masyarakat bisa lebih “ikhlas” ketika harus pergi meninggalkan rumah sempadan sungai mereka. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi terkait relokasi yang akan dilakukan, bagaimana prosesnya, kondisi kepemilikan lahan di lokasi baru nanti, serta fasilitas dan pelayanan apa yang akan mereka dapatkan setelah dilakukan relokasi.
  • Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Pemerintah dapat menampung aspirasi warga terkait lokasi mana yang harus dipilih sebagai lokasi tempat perpindahan rumah para warga yang akan menjadi tempat tinggal baru mereka.
  • Melakukan penataan permukiman warga berupa relokasi permukiman warga. Pemerintah harus memastikan masyarakat permukiman sempadan sungai mendapat hak mereka untuk relokasi hunian ke tempat yang lebih layak huni, agar mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat pula terkait dengan kualitas lingkungan yang semakin baik. Selain itu pemerintah juga dapat memberikan masyarakat hak milik pribadi atas tanah maupun bangunan rumah mereka.
  • Melakukan peremajaan dan normalisasi fungsi sungai dan sempadan sungai. Hal ini dilakukan sebagai sarana rehabilitasi sungai setelah sekian lama menanggung “beban” yang tidak semestinya ditanggung, seperti adanya permukiman di Stren Kali Jagir, dan warga yang membuang sampah dan limbah mereka ke sungai yang dapat menyebabkan bencana seperti banjir dan erosi. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan di sempadan sungai secara berkala. Dalam melakukan rehabilitasi, pengawasan serta pengendalian ini, pemerintah dapat melibatkan masyarakat agar dapat berperan aktif dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

Jadi, tingginya urbanisasi ke perkotaan menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hunian yang layak, terutama bagi MBR. Mereka cenderung membuat permukiman liar atau ilegal demi tetap bertahan hidup di perkotaan.

Dalam melakukan penertiban permukiman liar, sebisa mungkin dilakukan perbaikan atas lingkungan permukiman tersebut untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup masyarakat serta melakukan penataan permukiman. Tetapi jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka penggusuran menjadi alternatif terakhir untuk penertiban permukiman liar, dengan catatan pemerintah harus tetap memerhatikan hak asasi manusia bagi masyarakat tersebut terutama hak atas hunian yang layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun