Bukalapak, yang memiliki sumber daya lebih terbatas, tidak mampu bertahan dalam perang harga ini. Konsumen Indonesia yang sensitif terhadap harga lebih memilih platform yang menawarkan diskon terbesar. Akibatnya, Bukalapak kehilangan pangsa pasar secara signifikan.
Ketergantungan pada Subsidi dan Promosi
Strategi Bukalapak untuk menarik konsumen baru mengandalkan subsidi besar dalam bentuk diskon produk dan ongkos kirim gratis.
Pendekatan ini berhasil meningkatkan akuisisi pengguna dalam jangka pendek tetapi tidak berkelanjutan. Saat modal mulai terbatas, Bukalapak kesulitan mempertahankan subsidi ini, yang menyebabkan eksodus konsumen ke platform lain.
Penurunan Kepercayaan Investor
Setelah IPO, Bukalapak menghadapi tekanan besar untuk menunjukkan pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun, laporan keuangan perusahaan terus menunjukkan kerugian besar, yang membuat harga sahamnya anjlok. Kepercayaan investor yang melemah mempersulit Bukalapak untuk mendapatkan pendanaan tambahan, sehingga memperburuk posisi keuangan mereka.
Fokus Bisnis yang Terlalu Luas
Bukalapak mencoba mendiversifikasi bisnisnya ke sektor fintech dan layanan teknologi lainnya.
Diversifikasi ini mengakibatkan perusahaan kehilangan fokus pada inti bisnisnya, yaitu marketplace UMKM. Sumber daya yang terbatas menjadi terlalu tersebar sehingga melemahkan daya saing utama Bukalapak.
Efek Pandemi COVID-19
Pandemi sebenarnya menciptakan peluang bagi e-commerce, tetapi momentum ini lebih banyak dimanfaatkan oleh Shopee dan Tokopedia yang melakukan investasi besar-besaran dalam logistik dan promosi. Bukalapak, yang sedang dalam restrukturisasi, tidak mampu mengejar langkah cepat pesaingnya.