Mohon tunggu...
Ai Siti Nur Assiyah
Ai Siti Nur Assiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Sains Komunikasi dan Pengambangan Masyarakat di IPB University

Saya merupakan mahasiswa program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di IPB University. Menuangkan pemikiran melalui tulisan adalah hobi saya. Saya tertarik untuk menulis dan berbagi pendapat mengenai isu yang sedang hangat dan isu yang berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Oleh karena itu, saya menuangkan semua aspirasi saya melalui tulisan berupa artikel.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Food Estate: Sudahkah Mencapai Keberhasilan Tata Kelola Pangan di Indonesia?

12 Juni 2022   07:22 Diperbarui: 12 Juni 2022   07:23 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Ilustrasi gambar sawah (sumber:Pixabay).


Keberhasilan tata kelola pangan merupakan hal yang menjadi tujuan utama suatu negara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui terwujudnya ketahanan pangan. Salah satu penyebab terguncangnya sektor pangan adalah penyebaran virus Covid-19 di berbagai kawasan Indonesia. Pandemi Covid-19 membatasi semua aktivitas masyarakat Indonesia sehingga produksi pangan sempat mengalami penurunan. Penerapan lockdown ditetapkan sebagai upaya preventif dari pemerintah daerah yang berakibat pada sulitnya akses keluar masuk bahan-bahan pokok dan mempengaruhi perkembangan pangan di suatu daerah. (Devereux, Bn and Hoddinott, 2020; Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2020) dalam (Zaelani dan Rachmah, 2021).

Perkembangan pangan yang mengalami kesulitan akibat pembatasan aktivitas manusia dapat berujung pada kondisi krisis pangan yang mengancam ketahanan pangan Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo membuat suatu kebijakan yang diharapkan mampu menjaga ketahanan pangan Indonesia agar terhindar dari krisis pangan, kebijakan tersebut diberi nama Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional (Food Estate). Merujuk Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani di Lahan Rawa Kalimantan Tengah, program food estate dilaksanakan untuk pengembangan perbenihan dan budidaya komoditas, seperti budidaya tanaman pangan, budidaya tanaman holtikultura, budidaya tanaman perkebunan, dan budidaya peternakan (WALHI, 2021).

Tidak hanya Kalimantan Tengah yang menjadi kawasan penerapan kebijakan food estate, "negeri sagu" yakni Papua juga menjadi sasaran penerapan kebijakan kawasan lumbung pangan di Indonesia. Kebijakan food estate yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya pencegahan krisis pangan memberikan banyak dampak pada pelaksanaannya. Tata kelola pangan yang diharapkan dapat membangun kawasan lumbung pangan tersebut, akankah mencapai keberhasilan atau terjebak dalam kondisi kegagalan?

Tata Kelola Pangan Indonesia Melalui Food Estate

Tata kelola sumber daya alam dapat dikatakan berjalan dengan baik dan berkelanjutan jika dalam pelaksanaannya ada keterbukaan dari pemangku kebijakan terhadap aktor-aktor lain yang bersangkutan. Selain itu, melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi penting untuk dilakukan agar meminimalisir adanya konflik akibat pelanggaran hak-hak masyarakat. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab akan menjadi kunci keberhasilan program yang akan dijalankan.

Jika kita melihat kondisi di lapangan, upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan melalui program food estate belum melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanannya. Program food estate yang ditetapkan pasca penetapan pandemi Covid-19, kembali menaruh orang asli Papua sebagai objek pembangunan. Orang asli Papua dan Pemerintah Otonomi Khusus sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan (WALHI, 2021). Tidak hanya di Papua, kasus yang sama terjadi di Kalimantan Tengah tepatnya di kawasan Gunung Mas yang menjadi daerah penanaman komoditas singkong. Operasi penanaman komoditas singkong dijalankan secara tertutup dan masyarakat setempat tidak dibiarkan untuk memasuki kawasan perkebunan yang dijaga oleh barisan tantara selama 24 jam.

Pelaksanaan program yang diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat setempat dalam hal ketahanan pangan, kini memberikan dampak awal yang justru merugikan masyarakat. Program food estate memberikan dampak berupa konsekuensi secara ekologis, sosial-ekonomi, dan politik. Berbicara mengenai dampak ekologis, pembukaan kawasan hutan Gunung Mas di Kalimantan Tengah yang bertujuan untuk menciptakan perkebunan singkong menyebabkan terjadinya bencana banjir di kawasan hilir. Selain itu, penebangan pohon di kawasan hutan tersebut akan menyebabkan hilangnya habitat orang utan yang menjadi ancaman hilangnya keanekaragaman hayati.

Rencana pembangunan food estate di Papua oleh Presiden Jokowi akan mengakibatkan konversi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Konversi seluas 2.684.461,54 hektar, serta 29.02 hektar Areal Penggunaan Lain (APL). Hal ini jelas akan memperpanjang daftar deforestasi di tanah Papua (WALHI, 2021). Hutan Papua yang akan dikonversi tersebut memberikan konsekusensi sosial-ekonomi bagi masyarakat setempat. Hilangnya potensi pangan lokal yakni sagu akan menyebabkan adanya perubahan pola mata pencaharian masyarakat setempat. Orang asli Papua akan kesulitan untuk melakukan aktivitas produksi dengan komoditas selain sagu jika tidak ada fasilitas pembelajaran dari pemerintah. Kondisi tersebut menyebabkan adanya ancaman penurunan pendapatan akibat terhambatnya sistem produksi atau pola nafkah bagi masyarakat Papua.

Kebijakan food estate yang dapat mengancam hilangnya hutan Papua dapat menimbulkan keresahan dalam hal "suap menyuap" terhadap masyarakat setempat. Seperti pada masa dilaksanakannya program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) ditemukan beberapa pihak masyarakat yang melakukan transaksi kepada perusahaan untuk menerima "suapan" secara pribadi atas tanah hutan adat milik bersama. Akibatnya, timbul konsekuensi politik yang mengancam pada hubungan sosial antar masyarakat Papua.

Adanya konsekuensi yang muncul akibat program tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan tata kelola pangan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum bersifat terbuka dan belum melibatkan masyarakat di dalamnya, sehingga akan memberikan dampak yang meluas bagi masyarakat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun