Zaman dahulu kala, tersebutlah seorang putri. Berparas jelita, berbudi luhur. Dan seorang ksatria gagah berani. Mereka saling mencintai. Namun, diam-diam ada yang ingin memisahkan mereka. Sang Angkara. Maka, jiwa Sang Putri menjadi tawanan dalam rembulan. Dan Sang Ksatria, terbelenggu dalam sengat api mentari.
Sang Bulan temaram, pucat pasi. Dan Surya memendarkan terik. Rupanya Sang Semesta merasa iba, maka ia membuat keadaan dimana Putri bisa bertemu dengan Ksatria. Bulan dan Matahari berada dalam garis yang sama. Gerhana.
Untuk beberapa saat mereka bisa saling melepaskan rindu. Meskipun hanya saling memandang dari kejauhan. Tak dapat lebih dari tujuh menit empat puluh detik. Karena pertemuan mereka mengakibatkan penderitaan bagi makhluk bumi.
Mereka menahan diri, berpasrah pada nasib yang mengharuskan kembali berpisah. Dari jarak yang sangat jauh masing-masing memperlihatkan betapa satu sama lain saling mencintai. Dan berterimakasih kepada alam semesta dengan memberikan cahaya indah bulan purnama. Memancarkan sinar lembut mentari pagi, memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk bumi.
Sang Angkara semakin murka. Ternyata apa yang ia lakukan tak membuat Sang Putri berhenti mencintai Ksatria. Apalagi menyerah dan takluk dalam genggaman, seperti harapannya.
Untuk membalas dendam, Sang Angkara menimpakan kutukan pada manusia bumi. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan. Saling mencintai seperti Putri mencintai Ksatria, saling melindungi seperti Ksatria melindungi Putri. Tak akan pernah dapat bersatu, bahkan bertemu meskipun pada saat gerhana matahari.
Kisah ini diceritakan oleh nenekku selama bertahun-tahun. Nenek mendapatkan kisah ini dari neneknya. Begitu seterusnya. Bagiku ini cerita yang indah meskipun terdengar tragis. Aku selalu bertanya, bagaimana cara untuk menghindar dari kutukan itu. Nenek tersenyum, lalu berkata bahwa kita tidak akan pernah tahu. Karena itu adalah resiko yang harus ditempuh oleh seseorang yang memilih untuk jatuh cinta.
Usiaku menginjak dua puluh empat tahun. Selama ini aku terkesan sangat berhati-hati untuk jatuh cinta. Mungkin pengaruh dari kisah putri dan ksatria, yang telah tertanam kuat dalam ingatanku. Aku menerima perjodohan yang diatur oleh orang tuaku, yakin bahwa pilihan mereka pasti yang terbaik untukku. Pernikahan kami dilaksanakan dalam waktu tiga bulan ke depan.
Sahabatku kerapkali bertanya. Apakah aku mencintai calon suamiku? Aku tersenyum, lalu menjawab bahwa cinta akan datang di kemudian hari.
“Bagaimana bila ternyata kamu jatuh cinta, pada pria lain. Sebelum kamu menikah? Luna” tanya Rekha, sahabatku sejak kecil.
Aku tertawa kecil, aku tak akan membuat diriku jatuh cinta pada pria manapun. Tapi, cinta datang bukan karena kita pinta. Ia akan menyelusup diam-diam, merangkak perlahan-lahan, merayapi pembuluh darah, hati dan jantung. Sampai akhirnya kita tersadar, setelah ia merantai jiwa kita erat. Rekha bagaikan pujangga yang melantunkan syair, tapi aku tetap bergeming.
29 April, seluruh media memberitakan gerhana matahari yang akan terjadi tahun ini. Mereka bersiap-siap meliput kejadian yang sangat langka, dikabarkan gerhana yang terjadi kali ini adalah gerhana matahari total. Dan dapat terlihat jelas dikotaku. Sambutan yang berlebihan dari penduduk.
Aku menerawang ke atas langit, sebentar lagi putri dan ksatria akan bertemu. Seakan tersedot ke arah langit, aku tak menyadari tempatku berpijak bergetar hebat. Seseorang menabrakku dari belakang. Oh, bukan dia merangkulku. Aku berteriak histeris melepaskan kedua tangannya yang memelukku erat, terseret, lalu terjerembab di jalanan. Tapi tangannya menarik tubuhku, yang seketika berpindah. Dan kami berdua ambruk di trotoar.
Dahi kirinya mengucurkan darah, aku segera tersadar. Pria ini telah menyelamatkanku, dari puing bangunan toko yang tiba-tiba jatuh. Puluhan manusia berlarian, panik.
“Terimakasih...” kataku, lalu mengambil sapu tangan di dalam tas tanganku. Menyeka darah di dahinya, menekan kuat-kuat agar darahnya berhenti mengalir.
“Kamu baik-baik saja kan?” tanya pria itu, tatapan matanya membuatku kembali tersedot ke arah langit.
Namanya Levan. Dan sejak saat itu kami tak dapat menghindari pertemuan-pertemuan berikutnya. Mungkin sedikit berlebihan, tapi hari-hariku terasa lebih ‘Hidup’. Bersama satu sosok pria berjiwa petualang, yang memperlihatkan sebuah dunia yang tak pernah aku tahu. Membuat aku takjub, terpesona.
Tanpa harus berhitung, aku tahu inilah jatuh cinta. Satu hal yang aku hindari mati-matian. Namun Rekha benar, cinta tak akan meminta izin untuk menyapa. Ia tiba-tiba saja telah menyelimutimu dengan hangat. Memberikan kesejukan angin lereng-lereng gunung saat kau merasa gerah dengan segala kesemrawutan dunia.
Ares tahu. Entah bagaimana tapi ia akhirnya tahu. Dengan senyuman misterius, ia mengatakan akan melepaskanku untuk bahagia bersama dengan Levan. Semudah itu? Aku tak percaya. Tapi rupanya dalam kisahku tak ada tokoh antagonis yang disebut Angkara.
Tatapan mata Levan membuatku kembali terhisap ke atas cakrawala. Namun kali ini aku terperangkap disana, tak dapat kembali. Kilau mata itu semakin redup, lalu hilang dihadapanku. Tergeletak, bersimbah darah. Aku bahkan tak bisa menyentuhnya untuk terakhir kali. Setelah orang-orang bertubuh perkasa dan kasar memukulinya membabi buta. Mengacuhkan teriakanku yang membelah langit. Menyeretku dengan kasar.
Kutukan Sang Angkara ternyata lebih kejam daripada hukuman yang ditimpakannya pada putri dan ksatria. Mereka masih dapat bertemu dan bertatapan dari jauh. Sedangkan ksatriaku harus menemui ajalnya. Aku tak akan membunuh diriku seperti Juliet, aku akan membawa Ares dalam penderitaanku. Baginya aku tidaklah hidup, cuma cangkang kosong yang bisa bergerak. Diberi makan, dipelihara agar tetap cantik. Namun selamanya terkurung dalam kastil yang disebut Rumah Sakit Jiwa.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H