29 April, seluruh media memberitakan gerhana matahari yang akan terjadi tahun ini. Mereka bersiap-siap meliput kejadian yang sangat langka, dikabarkan gerhana yang terjadi kali ini adalah gerhana matahari total. Dan dapat terlihat jelas dikotaku. Sambutan yang berlebihan dari penduduk.
Aku menerawang ke atas langit, sebentar lagi putri dan ksatria akan bertemu. Seakan tersedot ke arah langit, aku tak menyadari tempatku berpijak bergetar hebat. Seseorang menabrakku dari belakang. Oh, bukan dia merangkulku. Aku berteriak histeris melepaskan kedua tangannya yang memelukku erat, terseret, lalu terjerembab di jalanan. Tapi tangannya menarik tubuhku, yang seketika berpindah. Dan kami berdua ambruk di trotoar.
Dahi kirinya mengucurkan darah, aku segera tersadar. Pria ini telah menyelamatkanku, dari puing bangunan toko yang tiba-tiba jatuh. Puluhan manusia berlarian, panik.
“Terimakasih...” kataku, lalu mengambil sapu tangan di dalam tas tanganku. Menyeka darah di dahinya, menekan kuat-kuat agar darahnya berhenti mengalir.
“Kamu baik-baik saja kan?” tanya pria itu, tatapan matanya membuatku kembali tersedot ke arah langit.
Namanya Levan. Dan sejak saat itu kami tak dapat menghindari pertemuan-pertemuan berikutnya. Mungkin sedikit berlebihan, tapi hari-hariku terasa lebih ‘Hidup’. Bersama satu sosok pria berjiwa petualang, yang memperlihatkan sebuah dunia yang tak pernah aku tahu. Membuat aku takjub, terpesona.
Tanpa harus berhitung, aku tahu inilah jatuh cinta. Satu hal yang aku hindari mati-matian. Namun Rekha benar, cinta tak akan meminta izin untuk menyapa. Ia tiba-tiba saja telah menyelimutimu dengan hangat. Memberikan kesejukan angin lereng-lereng gunung saat kau merasa gerah dengan segala kesemrawutan dunia.
Ares tahu. Entah bagaimana tapi ia akhirnya tahu. Dengan senyuman misterius, ia mengatakan akan melepaskanku untuk bahagia bersama dengan Levan. Semudah itu? Aku tak percaya. Tapi rupanya dalam kisahku tak ada tokoh antagonis yang disebut Angkara.
Tatapan mata Levan membuatku kembali terhisap ke atas cakrawala. Namun kali ini aku terperangkap disana, tak dapat kembali. Kilau mata itu semakin redup, lalu hilang dihadapanku. Tergeletak, bersimbah darah. Aku bahkan tak bisa menyentuhnya untuk terakhir kali. Setelah orang-orang bertubuh perkasa dan kasar memukulinya membabi buta. Mengacuhkan teriakanku yang membelah langit. Menyeretku dengan kasar.
Kutukan Sang Angkara ternyata lebih kejam daripada hukuman yang ditimpakannya pada putri dan ksatria. Mereka masih dapat bertemu dan bertatapan dari jauh. Sedangkan ksatriaku harus menemui ajalnya. Aku tak akan membunuh diriku seperti Juliet, aku akan membawa Ares dalam penderitaanku. Baginya aku tidaklah hidup, cuma cangkang kosong yang bisa bergerak. Diberi makan, dipelihara agar tetap cantik. Namun selamanya terkurung dalam kastil yang disebut Rumah Sakit Jiwa.
***