Fesyen pernah menjadi komoditas yang mahal karena pembuatannya memakan waktu yang lama, dijahit dengan tangan, dan  sangat  detail  terhadap  pernak-perniknya.  Karena harga mahal tersebut, fesyen hanya  dapat  dibeli  oleh  kalangan  tertentu  saja.  Setelah dimulainya  zaman  revolusi  industri  yang  dimulai  pada  tahun  1980, muncullah teknologi  mesin  jahit  yang  kemudian  menjadi  tonggak  produksi  fast fashion.Â
Fast  Fashion  dengan menggunakan proses produksi yang cepat dan bahan baku yang murah, industri fast fasyen dapat menghasilkan produk yang dapat dijual dengan harga yang terjangkau, tetapi produknya tidak dapat bertahan lebih lama dan tentunya memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan.Â
Pendekatan  Fast  Fashion  juga  mempertimbangkan  sifat  dari  permintaan  konsumen  yang  mewakili  perpindahan  dari  rantai  pasokan  yang  digerakkan  oleh  produsen/perancang   untuk   menuntut   rantai   yang   dikendalikan   oleh   konsumen.   Oleh   karena   itu,  dorongan  yang  mendukung  konsep  Fast  Fashion adalah waktu dan permintaan konsumen (Muazimah & Rani, 2021).
Akibat   dari   hal   ini,   berbagai   negara   dan   perusahaan  lini  mode  di  dunia khususnya  pada    negara-negara    berkembang. Dampak hal ini, negara-negara dan perusahaan di berlomba lomba memenuhi permintaan pasar dengan membangun pabrik tekstil. Dengan perkembangan industri   Fast   Fashion   secara   internasional,  Â
Fast Fashion yang memiliki dampak paling serius bagi lingkungan tidak dapat diabaikan, termasuk kerusakan lingkungan yang cukup parah, seperti yang terlihat di Indonesia, beberapa wilayah mengalami berbagai permasalahn lingkungan termasuk kerusakan ekosistem mikro dan sumber air yang strategis. Dampak  terhadap  kelangsungan  hidup (sustainablity) tersebut lah yang kemudian menyebabkan  keterkaitan  dengan  upaya  SDGs,  yakni  SDGs  Tujuan  12  yang  menjadi  bahasan  pada essai yang saya buat ini.
Fast Fashion merupakan sebuah strategi yang digunakan oleh bidang industry fashion untuk menghasilkan dan menjual fashion kilat dan murah. Strategi ini berfokus pada produksi massal dan penggunaan bahan baku yang murah untuk menghasilkan produk yang dapat dijual dengan harga terjangkau. Fast fashion juga menggunakan desain yang cepat dengan proses yang berlangsung hanya dalam beberapa minggu saja, sehingga produk dapat dijual dengan cepat dan mengikuti tren yang sedang populer.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri fashion yang sangat berkembang pesat, dan menjadi salah satu target bagi strategi fast fashion yang dimana terdapat jumlah konsumen yang berdaya beli yang sangat tinggi dan biaya tenaga kerja yang terjangkau.
      Sebagai  contoh,  di  Indonesia, H&M memiliki total 25 toko, Pull&Bear memiliki  14  toko,  Bershka  memiliki  9  toko,  Zara  memiliki  13  toko,  dan  Uniqlo  memiliki  29  toko pada  kalangan  konsumen  Fast  Fashion  adalah  membeli  lebih  banyak  sesuai  dengan  tren  dan  musim,  dan  menyimpan  garmen  dengan  jangka  waktu lebih singkat.
Sustainable  Development  Goals
Sustainable  Development  Goals  (selanjutnya  disebut  "SDGs")  atau  Tujuan  Perkembangan  Berkelanjutan (TPB) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia,  termasuk  Indonesia,  guna  melindungi lingkungan, memerangi perubahan iklim, mengentaskan kemiskinan, dan menjamin akses terhadap sumber daya alam yang merupakan rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia termasuk berkualitas tinggi demi kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. SDGs  diluncurkan  pada  tahun  2015 dan mencangkup 17  Tujuan  dan  169  target  yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Pada  essai ini,  SDGs  yang  dipilih  adalah  tujuan poin 12.
Tujuan dari 2 SDGs (Sustainble Development Goals) adalah untuk memastikan pola produksi dan  konsumsi   bertanggung  jawab.  Untuk mencapai pola produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab pada tahun 2030, Indonesia telah menetapkan target, yang akan membantu kemajuan dan kesuksesan dalam mencapai target tersebut.Â
Target tersebut untuk mencapai 10 tahun penerapan kerangka penggunaan yang bertanggung jawab, Target tersebut diharap kan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, mendorong perubahan perilaku yang lebih ramah terhadap lingkungan, serta dapat mengimplementasikan pola produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, sehingga dapat mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.Â
Pengelolaan bahan kimia dan limbah B3, untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimia dan limbah B3 terhadap dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat. Serta  pencapaian  praktik  bisnis yang  berkelanjutan.  Upaya yang  dilakukan  untuk  mencapai  tujuan tersebut tercermin dalam kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah.
Pelaksanaan  Target  SDGs  12.6  dengan  indikator  12.6.1  pada  perseroan  yang  bergerak  pada  bidang  fesyen  sendiri  telah  membuahkan  hasil.  Hal  ini  tidak  terlepas  dari  adanya  pengaturan  dan/atau   kebijakan   kewajiban   pelaporan   Laporan   Keberlanjutan  (Sustainability  Report)  di  Indonesia,  baik  berdasarkan  POJK  Keuangan  Keberlanjutan  maupun  secara  sukarela  melalui  PSAK  No  1.  Sebagai  contoh,  perseroan  yang  bergerak  pada  sektor  ini  antara  lain  yang  telah  melakukan  pelaporan  Laporan  Keberlanjutan  (Sustainability  Report), antara lain
PT Eratex Djaja Tbk, sebuah perusahaan yang fokus pada produksi pakaian jadi, telah mengambil  Langkah yang penting dalam mengitegrasikan prinsip keberlanjutan dalam operasionalnya dengan menerbitkan sebuah laporan keberlanjutan pada tahun 2021. Sehingga dapat menghasilkan ikhtisar kinerja   keberlanjutan dari sebuah laporan tersebut.
Berfokus pada konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, mencakup berbagai tantangan global dan lokal yang muncul dari pola konsumsi yang tidak berkelanjutan serta dampak lingkungan yang diakibatkan oleh produksi industri. terutama dalam konteks fast fashion, mencakup berbagai tantangan yang signifikan terhadap upaya mencapai konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Fast fashion adalah model bisnis yang menghasilkan pakaian dengan cepat dan murah, sering kali mengikuti tren mode terbaru, tetapi memiliki dampak lingkungan dan sosial yang serius.
Para  pelaku konsumerisme membeli barang  yang tidak benar-benar  ia  butuhkan  demi  mencari  kepuasan  dari  tindakan  tersebut.  Dengan harga jual yang sangat murah dan tren, industri fast fashion  telah membuat konsumen menjadi 'konsumen yang tidak sadar membeli secara terus menerus' di mana mereka  terus membeli dan memakai fast fashion secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi lingkungan .
Selain membeli lebih banyak yang  kemudian  membengkakan  statistika  konsumsi,  konsumen  Fast Fashion seringnya juga menyimpan pakaian dalam  jangka  waktu  yang  jauh  lebih  singkat  daripada di masa lalu. Selain itu juga, konsumen Fast Fashion dapat dengan mudahnya membuang pakaian yang sudah tidak dipakai hal  ini  disebabkan  oleh  tren  fesyen  yang  berganti dengan sangat cepat beririsan dengan kualitas pakaian  Fast  Fashion  yang  kurang.
Demi menekan biaya produksi guna meraup untung yang sebesar-besarnya, Fast Fashion menggunakan bahan berkualitas rendah yang justru berpotensi mencemari lingkungan (itsojt, 2022). Fast fashion dapat menyebabkan pencemaran air, kerusakan lingkungan karena penggunaan bahan kimia beracun. Industri fesyen seringkali mengabaikan bahaya bahan kimia dalam produknya dan memilih bahan yang lebih murah dan dapat diproduksi dengan cepat. Misalnya mewarnai pakaian, mencetak foto, dan finishing produk biasanya menggunakan bahan kimia berbahaya.
Salah satu bahan yang paling umum digunakan dalam produksi pakaian adalah poliester. Poliester adalah salah satu bahan yang paling sering digunakan dalam pembuatan pakaian. Poliester diproduksi dari plastik, yang dimana terbuat dari minyak bumi. Ketika kain poliester dicuci, kain tersebut akan mengeluarkan mikrofiber plastik yang dapat meningkatkan polusi plastik di laut. Mikrofiber ini juga sulit terurai dan dapat berdampak buruk pada kehidupan di laut, seperti plankton yang akan memakannya, yang kemudian menjadi rantai makanan yang berujung pada manusia.
Banyak orang yang mendonasikan pakaian bekas mereka, namun kontribusi ini hanya memberikan sedikit dampak dalam mengurangi limbah tekstil. Meskipun banyak orang yang berpikir bahwa mendonasikan pakaian bekas dapat mengurangi limbah fashion, namun kenyataannya dari mendonasikan pakaian bekas hanya mengurangi 20% dari pakaian yang didonasikan yang terjual di toko amal, sisanya akan dikirim ke pendaur ulang tekstil atau negara-negara berkembang, yang dapat merugikan industri tekstil.
Perkembangan Fast   Fashion   ternyata memberikan dampak negatif yang signifikan pada aspek sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.  Fenomena ini, Bersama dengan strategi fast fashion yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti multinasional untuk memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya memiliki keterkaitan dengan Target SDGs 12.6.1. Target ini bertujuan untuk mendorong pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, dengan indicator berupa jumlah perusahaan besar yang menyusun dan melaporkan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report).
Sepertinya, pola konsumsi dan pola produksi dalam fast fashion telah mencapai tingkat yang berbahaya bagi bumi dan manusia, sehingga perlu adanya perbaikan dengan pemenuhan Target SDGs 12.6.1. Di Indonesia, pelaporan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) telah menjadi kewajiban bagi emiten dan perusahaan publik berdasarkan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK Keuangan Berkelanjutan.  Dengan   demikian, sekitar 292 jumlah emiten dan perusahaan publik telah menyusun laporan tersebut setiap tahunnya dari 2018 sampai dengan 2020.
Selain itu, OJK menetapkan sanksi bagi pelanggaran kewajiban pelaporan yang berada pada Pasal 13 POJK Keuangan Berkelanjutan.  Namun, Indonesia saat ini belum memiliki pengaturan yang mewajibkan Perusahaan privat untuk menyusun Laporan Keberlanjutan (Sustainability  Report). Sehingga, sulit untuk mengetahui berapa banyak perusahaan privat baik yang bergerak di bidang fesyen maupun bukan yang telah melakukan pelaporan tersebut. Tanpa adanya peraturan yang mengikat maka, pelaporan keberlanjutan hanya akan bersifat sukarela bagi perusahaan privat.
REFERENSI
Ardella, Valencia (2023). Fast Fashion dan implementasi SDGS 2.6.1 Di Indonesia: Kewajiban Laporan Keberlanjutan Perusahaan. MODA Volume 5 Nomor 2 Juli 2023.
Mishra, Manoranjan (2023). A Bibliometric Analysis Of Sustainable Development Goals (SDGs): Ariview Of Progress, Challenges, And Opportunities. Environment, Development and Sustainability (2024) 26:11101--11143.
Leman, Fiona May (2020). Dampak Fast Fashion Terhadap Lingkungan. Seminar Nasional Envisi: Industri Kreatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H