Mohon tunggu...
Aisah Latif Mawarni
Aisah Latif Mawarni Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta

Saya Aisah Latif Mawarni, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Selamat Membaca Email : aisahlatifma.aksigk21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pelaku Usaha Rasakan Dilema, Akibat Disahkannya RUU KIA

24 Juni 2022   22:40 Diperbarui: 4 Juli 2022   20:11 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Gettyimages.com 

Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak ini, memang sudah dinantikan kehadirannya khususnya bagi para pekerja terutama karyawati, sebagaimana telah disahkan pada 9 Juni 2022 pada Rapat BADAN legislasi DPR. 

RUU KIA mengatur mengenai hak dan kewajiban terkait cuti, yang terangkum diantaranya; hak dan kewajiban terkait cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan; cuti keguguran 1,5 bulan (waktu istirahat);cuti mendampingi istri untuk suami, selama 40 hari; setiap ibu menyusui berhak mendapatkan waktu dan tempat untuk menyusui selama waktu kerja, serta hak atas diberikannya akses layanan kesehatan dan psikologi edukasi tentang kesehatan reproduksi dan kehamilan

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan "RUU KIA bertujuan untuk menciptakan Generasi Emas Indonesia menjadi sumber daya manusia atau SDM Indonesia yang unggul."

Melihat kedinamisan dunia saat ini, peran perempuan di berbagai aspek kehidupan termasuk bidang pekerjaan yang sudah banyak diisi oleh perempuan, dari yang memang dirasa cocok-cocok saja, diperankan wanita sampai pekerjaan yang yang tak pernah dibayangkan akan di-handle juga oleh perempuan.

"Memang, RUU KIA ini berperan penting dalam menyejahterakan Ibu dan Anak sekaligus memberikan pemenuhan hak bagi Ibu dan Anak Indonesia."

Namun disisi lain, Keputusan diberlakukannya RUU KIA ini mengundang berbagai pro dan kontra dari pekerja juga pelaku usaha. Fokus penulis dalam bahasan artikel kali ini, yaitu pada pemberian cuti 6 bulan, yang rasa-rasanya kurang sesuai menurut pendapat para pelaku usaha, mulai dari pertimbangan produktivitas hingga menyoal upah karyawan cuti tersebut. 

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Apindo DKI Jakarta, mengatakan "Terus terang kami dunia usaha belum diajak bicara. Mestinya FGD (focus group discussion) dulu, dibicarakan dulu. Jangan sampai meledak gitu aja, jadi gaduh, bola liar, investasi kurang nyaman, Kita mau lepas dari pandemi tiba-tiba ada seperti ini lagi, kan nggak elegan. Dampaknya akan sangat negatif,.." 

Kira-kira dilema apa saja, dampak seperti apa sih yang dirasain pelaku usaha akibat kebijakan ini, yuk simak lebih lanjut!

  1. Turunnya produktivitas pekerja akibat rencana kebijakan ini.

Akibat kekosongan karyawan ditinggal cuti, bukan hal yang tidak mungkin untuk perusahaan untuk bongkar muat perusahaan guna menambal kekosongan tersebut. Yaaa, meskipun dengan cara menambal tadi bukanlah solusi yang optimal, pegawai baru pastinya perlu banyak beradaptasi. 

"Kalau enam bulan kosong rekrutmen baru, konsepnya mendidik dulu, belum tentu selesai satu bulan, baru enam bulan berhenti lagi, nah ini sangat menurunkan tingkat produktivitas, belum tune in, akhirnya karyawan juga kasihan," 

Menurut data dari Asian Productivity Organization (APO) yang dikeluarkan pada tahun 2020 menunjukkan posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Kemudian berada di bawah rata rata tingkat produktivitas tenaga kerja 6 Negara Asean bahkan peringkat dunia, Indonesia berada diurutan 107 dari 185 Negara. 

"Jangan sampai kebijakan ini akan semakin menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja kita yang jauh tertinggal," ungkapnya. 

  1. Nasib pelaku usaha UMKM  dengan karyawan yang didominasi  oleh wanita

Dilihat dari sisi pelaku UMKM, merujuk pada data Kementerian koperasi dan UKM tahun 2019 mencatat jumlah tenaga kerja UKM sebanyak 119,6 juta orang setara dengan 96,92% total tenaga kerja Indonesia,sisanya 3,08% berasal dari usaha besar.

"Pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang,bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut apakah dari sisi finansial UMKM tersebut memiliki kemampuan," lanjutnya.

Yaaa, oke. Meskipun dalam aturannya, 3 bulan setelahnya penghasilan akan dibayarkan sebesar 70% saja, tapi tetap saja pelaku usaha harus mengeluarkan biaya tanpa produktivitas. Dan bagaimana, jika yang cuti bukan hanya 1,2 orang tapi puluhan, dalam 6 bulan pula, yaa gimana yaa?? bukanya ini butuh dipertimbangkan?

Apalagi ini, menyangkut nasib 60 juta UMKM kita, bahkan di perusahaan dan pelaku usaha kelas menengah yang dirasa mampu menerapkan kebijakan ini, pastinya juga ikut menimang-nimang kebijakan baru ini..

 

  1.  Berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi pekerja perempuan.

Potensi pekerja perempuan dengan berbagai keunggulan dibandingkan dengan pekerja laki-laki, atau malah sebagai pelengkap, penyeimbang kinerja perusahaan dalam melaksanakan kinerjanya. Hal ini menjadikan pertimbangan lebih bagi para HRD perusahaan, dapat dikatakan peran wanita pun memang penting dalam suatu perusahaan.

namun, jika dikaji kembali mengenai kebijakan RUU KIA ini, malah-malah bisa saja diskriminasi dapat terjadi pada perempuan. Bagaimana tidak, bisa jauh lebih irit bukan, kalau di kantor yang ada hanya pekerja laki-laki saja?

"Mungkin saja, perusahaan bakalan mengurangi penerimaan karyawan perempuan, yang akhirnya berkurang juga peluang-peluang perempuan untuk berkarir" 

Atau, alih-alih untuk menekan biaya yang dikeluarkan perusahaan, perusahan akan memberikan syarat yang tidak biasa, buat karyawan maupun lumrahnya buat para pekerja kontrak "kamu saya terima kerja disini, asalkan kamu bersedia tiga tahun tidak menikah, atau boleh aja menikah, tapi menunda kehamilannya" coba gimana tuh? 

Ini bukan hanya masalah peningkatan beban finansial (biaya tenaga kerja), tapi juga beban non-finansial lain, seperti rekrutmen dan pelatihan tenaga pengganti, beban manajemen untuk mengatur subtitusi pekerja, peralihan tugas dari pegawai yang cuti kepada rekan kerja yang memiliki fungsi tugas yang kurang lebih sama di perusahaan. 

Sementara itu, para pengusaha mendukung jika terkait kesehatan. Tetapi dampaknya harus dipikirkan secara matang. 

"Kami juga berharap agar sinkronisasi RUU ini dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang nantinya membingungkan pelaku usaha. Serta dalam pembahasan RUU ini agar melibatkan pelaku usaha dari berbagai sektor dan kelas sehingga nantinya dapat merumuskan kebijakan dan tepat dan produktif," pungkasnya.

Menyamakan persepsi, dengan bermusyawarah guna mendapatkan satu kesepakatan yang tepat dan produktif kini tengah diharapkan oleh masyarakat, khususnya pelaku usaha. Harapannya pemerintah dapat mempertimbangkan, dan memutuskan kebijakan ini di kemudian hari dengan solusi-solusi yang akhirnya dapat menjawab dilema para pelaku usaha juga tetap mampu mendukung tujuan diberlakukannya RUU KIA demi keberlangsungan kehidupan sang Generasi Emas yang berkualitas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun