Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.30, saatnya aku untuk merebahkan badanku setelah seharian penuh beraktivitas. Baru mau menutup mata, gawaiku berbunyi, ada pesan masuk dari ketua Yayasan.
[Assalamu'alaikum bu Sinta mengganggu waktunya, tadi saya didatangai oleh wali murid mereka protes karena ada KTP dan KK walimurid yang dipakai Ibu Sukma untuk pinjam uang ke pinjol tanpa sepengetahuannya. Mereka ingin ibu Sukma diganti] begitulah isi pesan yang masuk dari Ketua Yayasan Sahabat Anak.
Sudah hampir 4 tahun Yayasan Sahabat Anak kami dirikan. Teringat di awal-awal pertama aku bertemu dengan Sukma. Dia adik kelasku waktu di SMP. Sukma yang aku kenal dulu anak yang berasal dari keluarga berada. Aku dikenalkan oleh sahabatku Desy. Sukma anak yang manja, kata Desy dia sudah tidak punya Ibu dan tinggal bersama neneknya. Dulu neneknya perawat dan sekarang punya apotek. Meskipun beda generasi, tapi kami sering bermain Bersama. Sukma menganggap kami seperti kakaknya, dia anak tunggal yang amat begitu disayang sama nenek dan keluarga besarnya.
Setelah hampir 20 tahun sejak lulus SMP tak pernah bertemu lagi dengan Sukma. Setelah lulus kuliah aku merantau ke Jakarta. Aku tergabung dalam start up online shop dan menyasar toko kelontongan serta UMKM. Aku menjadi koordinator divisi sumber daya manusia, jadi sering memberikan pelatihan untuk UMKM. Beberapa kali membuat pelatihan di kampung halamanku. Aku kembali dipertemukan tanpa sengaja denga Sukma. Saat itu dia kirim DM, katanya suaminya hadir dalam acara pelatihan kewirausahaan yang aku selenggarakan Dia bercerita, kalau sekarang dia tinggal di desa sebrang tempat tinggalnya dulu, dia menjadi guru salah satu sekolah Pendidikan usia dini. Kapan-kapan kalau pulang kampung lagi dia minta ketemuan.
Pada satu kesempatan, ketika pulang kampung, aku janjian bertemu dengan Sukma. Aku ingin melihat sekolahnya, yang katanya proses belajar mengajar dilakukan di teras mushola.
Sukma mengajakku ke kontrakannya, betapa sangat terenyuh melihat kondisi kontrakannya yang hanya beralaskan tanah. Rumah tipe 21 yang belum beres dalam pengerjaannya. Ruang tamu yang berantakan dengan baju-baju yang belum dia setrika. Sangat kontras dengan kondisi rumah dia dulu, kamarnya saja dengan ranjang springbed kualitas super. Dindingnya dilapisi wallpaper yang sangat jarang bagi orang kampung pada saat itu. Uang jajan satu harinya dia kalau buatku itu uang jajan untuk satu minggu. Dia sangat royal mentraktir teman-temannya. Sukma bercerita, neneknya meninggal karena kangker. Harta peninggalan neneknya habis dijual untuk pengobatan kangker neneknya, karena dulu tentu saja tidak ada BPJS seperti sekarang. Sekarang dia ngajar, membuka sekolah untuk anak-anak usia dini. Melihat latar belakang perekonomian warga sekitar yang kebanyakan merupakan ekonomi menengah menggugah hati dia untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak usia dini. "Saya sekolah pendidikan usia dini, ingin agar ilmu yang saya miliki bermanfaat kak". Begitu kata Sukma saat kutanya kenapa membuka sekolahnya untuk anak usia dini.
Sekarang jumlah anak didiknya ada 15 orang katanya. Dia mengajakku melihat proses belajar dengan sarana dan pra sarana yang seadanya. Anak-anak hanya duduk beralaskan karpet masjid yang sudah tidak terpakai. Meja dan papan tulis pun dikasih dari pengurus masjid. Jangankan sarana bermain, untuk sarana belajar saja masih tidak layak. Bersyukur pengurus masjid mempersilahkan teras untuk dijadikan tempat belajar anak-anak. Sukma menjelaskan, sekolah ini merupakan rintisan dan masih menginduk kepada sekolah dulu dia mengajar. Dia meminta bantuanku untuk mebuatkan Yayasan, supaya sekolah yang dia dirikan bisa mengurus sendiri tanpa harus menginduk ke sekolah lain.
Yayasan sudah terbentuk dan bangunan juga sudah ada meski masih jauh dari kata layak untuk menjadi tempat belajar anak-anak usia dini. Dengan dua orang guru yang secara sukarela mengajar anak-anak. Karena kesibukanku sebagai trainer dan domisiliku di Jakarta, aku tidak begitu ikut campur tentang urusan Yayasan. Betapa kaget ketika mendengar kabar kalau Sukma menggunakan KTP para wali murid untuk untuk pinjam ke pinjol. Aku memang mendengar bagaimana keadaan ekonomi Sukma, namun tidak terpikir jika Sukma berani melakukan hal itu.
Kuletakan kembali hp ku, biarlah besok aku akan menghubungi ketua Yayasan. Terlalu lelah rasanya jika malam ini aku menelponnya. Biar hati dan pikiranku juga bisa jernih untuk mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi di Yayasan.
Selesai memberikan pelatihan kewirausahaan pada para mahasiswa semester akhir, aku menghubungi ketua Yayasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Sukma. Pak Yogi, Ketua Yayasan menjelaskan kalau sebenarnya Sukma selama ini mempunyai hutang ke renternir. Untuk melunasi hutang ke renternir Sukma mengajukan pinjaman ke pinjol dengan menggunakan KTP wali murid. Hal ini baru diketahui ketika wali murid didatangi beberapa orang yang merupakan debt collector yang tentu saja membuat wali murid itu takut. Dan bukan hanya satu wali murid tapi lebih dari 5 orang yang dipakai KTP nya untuk meminjam uang di pinjol. Kejadian itu membuat geger warga karena ada debt collector ke kampung, tampang preman para debt collector membuat warga ketakutan dan Sukma sendiri pergi entah kemana dan tidak bisa dihubungi.
Aku segera menutup telpon dan mencoba menghubungi Sukma, no dia tidak aktif. Aku mencoba menghubungi beberapa teman yang dekat dengan Sukma dan ternyata mereka memiliki pengalaman yang sama. Sukma pernah meminjam uang pada mereka dan berjanji untuk mengembalikan dalam tempo beberapa bulan, namun sampai sekarang Sukma masih belum mengembalikan uang yang dia pinjam pada mereka. Dan kondisi rumah tangga Sukma saat ini juga sedang tidak baik-baik saja kata mereka.
Aku tak pernah mendengar apapun tentang hutang-hutang Sukma sebelumnya, aku hanya sebatas tahu jika kondisi ekonomi Sukma yang serba kekurangan. Rumahpun dia tinggal di kontrakan, karena rumah peninggalan neneknya sudah dijual.
Citra Yayasan sebagai tempat belajar anak usia dini dipertaruhkan, di satu sisi kasian dengan Sukma. Dia nekat melakukan Tindakan itu karena terpaksa, terdesak oleh kondisi ekonomi dan mendapat kemudahan dari aplikasi pinjol. Proses belajar anak-anak terhambat karena tidak ada guru yang mengajar, dengan satu orang guru yang ada tentu kewalahan menghadapi 42 orang anak usia dini yang membutuhkan perhatian extra di kelas.
[Kami akan mencari guru pengganti ibu Sukma ya bu, karena Ibu Indah kewalahann mengajar 42 orang anak dalam satu kelas. Jika diliburkan sudah kelamaan].
Tentu saja aku harus menyetujui apa yang diusulkan pengurus yayasan, bagaimanapun juga anak-anak yang belajar di Yayasan Sahabat Anak harus mendapatkan hak mereka untuk belajar. Dan citra Yayasan harus dipulihkan agar orang tua murid yang ada di lingkungan Yayasan tetap mau mempercayakan anak-anaknya untuk belajar di Yayasan Sahabat Anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H