Tidak mudah baginya hidup menjadi single parents dengan dua orang anak. Menjadi janda di usia 30 tahun bukanlah hal yang dia inginkan. Ketika seseorang memutuskan untuk menikah tentu tak pernah berpikir untuk bercerai. Menjalani pernikahan bahagia tentu menjadi impian semua orang, begitupula dengan Risa. Â Percekcokan selalu terjadi setiap hari. Selalu saja ada hal yang diributkan, seringkali pertengkaran terjadi di depan anak-anak. Tentu itu tidak sehat untuk tumbuh kembang mereka.
Awalnya dia hanya mencoba untuk pulang ke rumah orang tuanya. Rasanya sudah tidak kuat jika harus melanjutkan rumah tangga, jika diantara kita sudah tidak ada saling memahami, apa yang mesti dipertahankan, mungkin sudah watak Deni yang sulit dirubah. Itu yang dia utarakan pada orang tuanya. Stigma negative menjadi janda dia dapatkan dari tetangga sekitarnya. Meski sudah menyiapkan mental, namun tetap saja terdengar bisik-bisik tetangga yang menggosipkan dia. "Padahal aku tidak bersikap genit pada lelaki lain, tetap saja menjadi janda itu dipandang rendah" kata dia berkeluh kesah. Meskipun sudah menjadi keputusannya mengakhiri pernikahan dan telah menyiapkan mental, namun tetap saja menerima stigma negative membuat dia sedih dan sempat down mentalnya.
"Orang tuaku tahu watak mantan suamiku" katanya suatu hari dia bercerita padaku. Risa, teman kantorku sering curhat padaku tentang kehidupan rumah tangganya. Sebenarnya, ketika memutuskan untuk menikah orang tua Risa tidak terlalu setuju. Bapaknya Risa tidak menyukai watak Deni yang terlihat sombong jika sedang ngobrol. Dia selalu menyombongkan keluarganya sebagai turunan ningrat. Padahal rumah saja mereka masih ngontrak.
"Mungkin karena ijin orang tua yang setengah-setengah itu kehidupan rumah tanggaku seperti ini ya, rasanya sudah nggak kuat lagi." Curhatan Risa kembali di saat-saat luang mengerjakan pekerjaan kantor.
"Nggak coba untuk mempertahankan demi anak-anak?" kataku, anak pertama Risa perempuan berusia 7 tahun dan anak keduanya laki-laki baru berusia 3 tahun. Ada drama juga saat Risa tahu kalau dia hamil anak kedua. Dia sempat ingin menggugurkan kandungan karena dia merasa tidak siap untuk hamil. Dengan kondisi rumah tangga yang menurutnya seperti neraka. Selain masalah ekonomi, perselingkuhan juga menjadi bumbu penyebab perceraian mereka.
"Justru, karena ini demi anak-anak. Aku tidak mau mereka selalu melihat pertengkaranku." Sudah hampir delapan tahun usia pernikahan Risa dan Deni. Hampir setiap hari aku mendengar curhatannya. Aku tidak dapat banyak memberikan saran pada Risa. Menjadi pendengar setia sebagai teman mungkin sedikitnya bisa menghilangkan beban masalah yang dia rasakan. Karena terkadang orang yang curhat hanya butuh didengarkan saja. Aku yakin Risa tahu mana yang terbaik untuknya.
Di awal pernikahan memang sudah tidak ada kecocokan diantara mereka. Risa yang lebih terlihat dominan dan Deni yang terlihat begitu nurut pada Risa, seolah-olah tidak punya harga diri sebagai suami karena dia selalu disetir Risa. Deni hanya bisa membanggakan keluarganya yang katanya turunan ningrat. Gaji yang Risa dapatkan lebih besar dari gaji suaminya. Bagi Risa, suaminya bukan seorang pekerja keras dan terkadang dia tidak tegas. Dia sebagai kepala keluarga, tapi Risa yang selalu berpikir. Entah karena dia anak paling bungsu yang mungkin paling dimanja oleh orang tuanya, sehingga tak bisa hidup mandiri meski sudah menjadi suami. Ketika masih numpang di rumah orang tua Risa selama 5 tahun, tidak ada keinginan sama sekali dari mantan suaminya untuk memiliki rumah sendiri. Merasa nyaman tinggal di rumah orang tua Risa, makana sudah selalu tersedia, anak-anak ada yang membantu merawat. Meski gaji sedikit tapi tidak pernah merasakan kekurangan karena masih dibantu oleh orang tua Risa. Dia tidak malu ongkang-ongkang kaki di rumah orang tua Risa. Sikap seperti itu yang terkadang membuat Risa kesal pada kelakuan mantan suaminya. "Aku tidak masalah gajiku lebih besar dari suamiku, tapi setidaknya ada usaha dari dia untuk bisa berubah. Minimal ketika di rumah orang tuaku dia bisa menempatkan diri dan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga."
Risa memaksakan diri untuk membeli rumah, meskipun harus nyicil. "Kamu juga pasti yang nyicil rumah" begitu kata ibunya Risa. "Siapa tahu jika pindah rumah dia akan bisa berpikir" alasan itu yang memaksakan Risa untuk membeli rumah secara kredit.
Ketika pindah rumah bukannya berubah suami Risa malah selingkuh dengan teman kantornya.
"Aku capek kerja bantu nyari uang, berpikir bagaimana bisa mencukupi kebutuhan ekonomi dan menutup cicilan, dia malah selingkuh Ta", itu menjadi puncak kesabaran Risa dalam menghadapi suaminya. Sudah tidak ada pilihan lain, bercerai merupakan keputusan terbaik yang harus diambil. Apalagi yang mau diperbaiki, sudah jauh sekali perbedaan prinsip diantara mereka, kehadiran wanita lain membuat harapan membina rumah tangga yang diimpikan Risa semakin sirna.
Dulu Risa pernah bercerita kalau memutuskan menikah hanya berdasarkan kenyamanan. Risa merasa nyaman dengan Deni karena mereka sama-sama berasal dari latar belakang ekonomi yang hampir sama. Risa takut jika dia menikah dengan orang yang berlatar ekonomi menengah atas. Padahal aku yakin banyak lelaki lain yang suka sama Risa, kata teman kampusnya Risa salah satu bintang kampus. Dia takut keluarganya akan direndahkan, jadi dia yakin untuk menikah dengan Deni, meski orang tuanya kurang menyetujuinya.
Risa selalu cerita tentang ayahnya yang begitu pekerja keras dan begitu sayang pada ibunya. Ayah Risa hanya sebagai supir pribadi, ibunya seorang ibu rumah tangga. Ketika pulang kerja, jika ayahnya melihat ibunya masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga selalu tak sungkan untuk membantunya. Ayahnya tidak pernah marah pada ibunya, dan Risa tidak pernah melihat pertengkaran diantara orang tuanya. Risa ingin suaminya memiliki sifat seperti ayahnya. Seorang pekerja keras dan sayang sama keluarga.
Jika suaminya, sepulang kerja dia akan langsung leha-leha. Tak peduli keadaan rumah yang kotor, tak pernah mau mencuci piring jika tidak diminta. Dia hanya akan menjemput anak-anak yang dititipkan kepada orang tua Risa. "Aku capek, dengan kondisi ini."
Kini, setelah mereka bercerai. Mantan saminya sangat jarang menemui anak-anaknya. Jangankan memberi nafkah bulanan. Untuk sekedar uang jajan saja tidak dia berikan. Untunglah Risa masih memiliki kedua orang tua. Meski sangat tidak enak bagi Risa masih meminta pada orang tuanya namun, kondisi yang menyebabkan dia masih harus menumpang hidup di rumah orang tuanya kembali.
Terkadang setelah bercerai pun pertengkaran masih terjadi, mantan suaminya menganggap Risa menghalang-halangi untuk bertemu anaknya. Padaha itu tidak benar, katanya. Dia selalu terbuka jika mantan suaminya ingin bertemu dengannya. Hanya saja dia pernah marah ketika suaminya mengajak main anak-anak, dia tidak bisa mengontrol membeli jajanan untuk anak-anaknya. Ketika anak keduanya sakit, malah dia belikan es. Ibu mana yang tidak akan marah jika ayahnya tidak bisa menjaga anak-anaknya. Jadi, Risa menjadi lebih ketat dalam mengawasi anaknya. Jika mantan suaminya ingin mengajak pergi dia harus pastikan dulu kondisi badannya dan harus tahu kemana mereka pergi.
Dia kira, setelah bercerai masalah dengan mantan suaminya akan bisa selesai dan menjalin pertemanan dengan baik. Tapi, ternyata tidak bisa. Hubungan mereka menjadi rumit. Meski rumit namun harus terus berupaya bisa menjaga hubungan baik dengan mantan suami. Bisik-bisik tetangga tak perlu didengar karena pikiran harus tetap waras dan tetap bangkit. Mencoba untuk menjalin komunikasi dengan mantan suami demi anak-anak. Memberikan keluarga yang utuh tidak bisa, setidaknya berdamai dengan keadaan dan menerima apa yang telah terjadi agar bisa saling memaafkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H