Mohon tunggu...
Airlangga
Airlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

atlet karate

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peranan Golput dalam Pemilu

21 November 2023   14:33 Diperbarui: 21 November 2023   14:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Golput, singkatan dari "golongan putih," merujuk pada sikap pemilih yang memilih untuk tidak memberikan suaranya pada pemilihan umum. Fenomena golput bisa muncul karena berbagai alasan, termasuk ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia, ketidakpercayaan pada sistem politik, atau bahkan ketidakpedulian terhadap proses demokratis.

Meskipun golput dapat dipandang sebagai bentuk protes atau ketidaksetujuan terhadap kondisi politik, beberapa ahli berpendapat bahwa golput juga dapat merugikan. Dengan tidak menggunakan hak suara, pemilih potensial kehilangan kesempatan untuk memengaruhi hasil pemilihan dan memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka.

Sebagai alternatif, sebagian orang berpendapat bahwa partisipasi aktif dalam pemilihan lebih efektif daripada golput. Dengan mengajukan calon independen, mendukung perubahan kebijakan, atau terlibat dalam kegiatan politik lainnya, warga dapat memiliki dampak yang lebih besar daripada hanya menyatakan ketidakpuasan melalui golput.

Namun, untuk memahami fenomena golput secara menyeluruh, perlu diakui bahwa keputusan untuk golput juga bisa menjadi bentuk ekspresi politik. Beberapa individu mungkin merasa bahwa sistem politik yang ada tidak mencerminkan kepentingan mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak memberikan legitimasi pada proses tersebut.

Dalam konteks ini, upaya untuk mengurangi golput dapat melibatkan perubahan dalam sistem politik itu sendiri. Peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi warga dapat menjadi langkah-langkah penting untuk mendorong lebih banyak orang untuk percaya bahwa partisipasi mereka dapat membuat perbedaan yang nyata.

Dalam merespon fenomena golput, penting bagi masyarakat dan pemimpin politik untuk mendengarkan dan memahami ketidakpuasan yang mendasarinya. Hanya dengan mengatasi akar penyebab ketidakpuasan ini, sistem politik dapat menjadi lebih inklusif dan mewakili keberagaman pandangan dan kepentingan masyarakat.

Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 mengatur, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas Kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama, dan dalam waktu 30 (tiga puluh) bari MPR harus melaksanakan sidang untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang baru menggantikan yang lama. Permasalahan muncul jika ditinjau dari perspektif kedaulatan rakyat yang dimana ada nilai demokrasi didalamnya yang tercederaj oleh Pasal 8 ayat (3) tersebut karena MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru

Menurut kami, golput di perboleh, karena bahwasannya sebagai rakyat kita memiliki hak kebebasan berpendapat, yang tercantum dalam Pasal No 7 2017, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini menyebutkan, Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih, tidak ada aturan pidana bagi seseorang yang tidak memilih dalam pemilihan presiden, namun jika kita mengajak orang lain untuk golput, maka dapat ditindak secara pidana.

Pada dasarnya yang menetapkan calon presiden dan calon wakil presiden adalah MPR, jika penetapan calon tersebut tidak memuaskan beberapa keinginan rakyat, maka golput dapat dijadikan solusi karena ketidakpuasan atas calon yang telah ditetapkan

Namun, Masyarakat yang bersikap apatis terhadap politik menjadi salah satu penyebab tingginya angka golput. Masyarakat dengan tipe seperti ini tidak lagi peduli dengan urusan politik, bahkan tidak juga mencari tahu apa itu golput dan risiko jika memilih untuk golput pada setiap pemilu, bahwasannya pilihan kita akan menentukan masa depan bangsa ini, maka dari itu kita tidak boleh apatis terhadap perkembangan politik di Negara kita sendiri

Untuk mencegah angka golput yang semakin naik pemerintah perlu melakukan solusi untuk mengurangi angka golput bahwasanya yang membuat angka golput naik karna rakyat tidak puas dengan calon presiden yang ditetapkan maka dari pemerintah perlu mengadakan forum untuk memberikan pendapatnya mengenai calon presiden yang memuaskan keinginan rakyat

Menurut kami bahwa golput adalah bentuk dari ekspresi politik, dengan adanya golput pemerintah seharusnya sadar bahwa pasangan calon presiden dan wakil calon presiden tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Jika mayoritas masyarakat memilih untuk golput, seharusnya diadakan pemilu ulang dengan kandidat yang berbeda

Jadi kesimpulan kami, bahwa golput adalah "HAK" dan bukan "KEWAJIBAN", karena tidak dilarang undang-undang atau konstitusi, oleh karena itu masyarakat mempunyai hak untuk tidak memilih calon presiden dan wakil presiden. Hak itu tidak boleh di paksakan oleh pihak manapun untuk ikut berpatisipasi dalan pemilu, karena itu adalah HAK setiap individu di dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun