[caption caption="Diambil dari www.getscoop.com"][/caption]
Beberapa waktu yang lalu, ketika Presiden Jokowi menghadiri Perayaan Hari Pers Nasional di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam kesempatan yang dihadiri banyak petinggi pers nasional, Presiden Jokowi menyebutkan dalam pidatonya beberapa judul berita yang sensasional. Berita-berita tersebut dinilai dapat menimbulkan pesimisme masyarakat. Judul berita tersebut antara lain “Kabut Asap Tidak Teratasi, Riau Terancam Merdeka”, “Pemerintah Gagal Aksi Teror Tak Akan Habis Sampai Kiamat”, dan masih ada beberapa judul lain yang disebut oleh Jokowi.
Pada pidatonya pula, Jokowi menegaskan bahwa “cahaya moral, pembentukan karakter, pembentukan mentalitas, moralitas, itu ada di media. Ada di pers.”
Indonesia adalah negara berkembang. Dari beberapa tahun silam hingga saat ini, status Indonesia masih negara berkembang. Meskipun begitu, zaman terus berubah. Sesungguhnya di masa persaingan ini pun pers juga bersaing – bersaing mendapatkan banyak pembaca, banyak iklan tertempel, acara dengan rating tertinggi, dan sebagainya. Pers sibuk bersaing untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri, bukan memprioritasikan kepentingan masyarakat.
Kepentingan masyarakat yang perlu dipenuhi oleh pers sesungguhnya bukan hanya informasi dan data saja. Tayangan-tayangan media yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika sebenarnya mengganggu kepentingan masyarakat. Banyak acara yang ditayangkan oleh media menjadi tempat bagi anak-anak di bawah umur ‘belajar berperilaku tak beretika’. Hal-hal inilah yang sering kali tidak lagi diperhatikan oleh pers pada masa kini.
Masalah pada pers saat ini bukan hanya mengenai acara-acara kurang layak tayang, tetapi juga pemberitaan yang melenceng dan dibesar-besarkan. Seperti kata Jokowi dalam pidatonya, saat ini “status seseorang bisa dijadikan berita”. Fakta, memang benar kita sering menjumpai banyak berita yang mengomentari hanya satu saja status di media sosial tokoh tertentu. Tidak salah jika kita menilai pers hari-hari ini terlalu melebih-lebihkan segala sesuatu.
Namun, di samping menemukan kecacatan pada pers Indonesia saat ini, kita juga perlu menyelidiki apa hal yang menyebabkan munculnya kecacatan-kecacatan tersebut. Pertama, meningkatnya kebutuhan ekonomi. Kerentanan ekonomi saat ini menjadikan perusahaan-perusahaan dagang dan jasa membutuhkan peningkatan permintaan, sehingga mereka semakin menggencarkan promosi. Pers merupakan opsi terbaik untuk melakukan promosi tersebut. Dalam hal ini, pihak perusahaan dan pers mendapat keuntungan, namun masyarakat dirugikan karena sering kali iklan di media lebih banyak dari pada isi acara pada media tersebut.
Kemungkinan penyebab kecacatan yang kedua adalah keinginan dan kesukaan masyarakat. Orang Indonesia pada umumnya cenderung suka mendapatkan sebanyak mungkin informasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dalam hubungannya dengan pers, masyarakat ingin tahu apa saja mengenai event penting yang terjadi pada saat event tersebut terjadi.
Masyarakat kita memiliki rasa keingintahuan yang sangat tinggi akan informasi. Tipikal masyarakat yang seperti ini bisa jadi mengubah karakter penulisan para jurnalis dari netral menjadi mengejar kesukaan masyarakat. Masyarakat suka berita yang heboh, ramai, dan sering kali cenderung menjelek-jelekkan, maka dicarilah ‘aktor’ yang bisa dibuatkan artikel seperti itu. Sampai setiap posting tokoh-tokoh nasional di media sosial pun dijelajahi satu demi satu, dicari kecacatannya, dan dijadikan sebuah berita besar.
Di atas semua kemungkinan yang menjadikan pers kita saat ini banyak cacat, mari kita melihat ke depan untuk menjadikan pers kita lebih baik. Suatu hal yang sangat baik apabila pers dapat sungguh menjadi pihak yang netral. Pers adalah media pemberitaan – sesungguhnya jika fungsi tesebut masih disadari. Pers bukan partai politik yang meloncat seperti katak ke sana kemari mencari tempat yang menguntungkan – menjadi oposisi atau pemihak pemerintah. Pers bukan alat kontrol kekuasaan untuk saling menguatkan atau saling melemahkan. Pers bukan jin yang mengabulkan permintaan berita masyarakat, hanya ingin memuaskan masyarakat dengan informasi namun tidak memperhatikan validitas informasi tersebut.
Pers dengan para jurnalis yang berperan di dalamnya harus belajar untuk menjadi netral. Tidak semua yang diberitakan di pers itu buruk. Beberapa hal sudah baik, namun penilaian yang dilakukan secara cerdas dan teliti tentu akan menilai bahwa pers saat ini terlalu dikontrol oleh pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain, pers masih memihak, belum netral.
Kita ambil contoh pada kasus “kopi maut Mirna”. Pemberitaan-pemberitaan yang muncul berkaitan dengan kasus tersebut, sebelum Jessica Wongso ditentukan sebagai tersangka oleh polisi, cenderung ke arah yang ‘menyudutkan Jessica’, sehingga opini masyarakat mengenai seorang Jessica adalah satu suara: Jessica adalah penaruh sianida pada kopi Mirna. Padahal, dalam kasus seperti ini seharusnya berlaku asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Sebaliknya, yang dilakukan pers bukan mentaati asas tersebut melainkan berlaku sebagai pengadilan (trial by the press). Artikel-artikel yang diberitakan tidak menunjukkan kenetralan, sebaliknya, justru mengarah pada suatu ‘tujuan’ yang dapat berpengaruh pada banyak hal di masa depan – termasuk keputusan pengadilan yang sesungguhnya di hadapan hakim.
Pers, sama seperti hukum, dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Karena pemberitaan di pers, seseorang bisa dihujat sampai mati ataupun disanjung hingga langit ketujuh. Segala sesuatu memang bergantung kepada perilaku masing-masing individu, tetapi diskresi pers untuk melakukan filtrasi pada artikel-artikel yang dikeluarkan juga amat diperlukan. Jangan sampai ukuran dan sudut pandang yang dipakai oleh jurnalis – yang belum tentu benar – menjadi ukuran dan sudut padang yang dipakai oleh masyarakat. Pers bukan lagi alat propaganda. Kembali, seperti yang dikatakan oleh Presiden Jokowi, pers adalah cahaya moral dan pembentuk karakter, mentalitas, dan moralitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H