Kita ambil contoh pada kasus “kopi maut Mirna”. Pemberitaan-pemberitaan yang muncul berkaitan dengan kasus tersebut, sebelum Jessica Wongso ditentukan sebagai tersangka oleh polisi, cenderung ke arah yang ‘menyudutkan Jessica’, sehingga opini masyarakat mengenai seorang Jessica adalah satu suara: Jessica adalah penaruh sianida pada kopi Mirna. Padahal, dalam kasus seperti ini seharusnya berlaku asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Sebaliknya, yang dilakukan pers bukan mentaati asas tersebut melainkan berlaku sebagai pengadilan (trial by the press). Artikel-artikel yang diberitakan tidak menunjukkan kenetralan, sebaliknya, justru mengarah pada suatu ‘tujuan’ yang dapat berpengaruh pada banyak hal di masa depan – termasuk keputusan pengadilan yang sesungguhnya di hadapan hakim.
Pers, sama seperti hukum, dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Karena pemberitaan di pers, seseorang bisa dihujat sampai mati ataupun disanjung hingga langit ketujuh. Segala sesuatu memang bergantung kepada perilaku masing-masing individu, tetapi diskresi pers untuk melakukan filtrasi pada artikel-artikel yang dikeluarkan juga amat diperlukan. Jangan sampai ukuran dan sudut pandang yang dipakai oleh jurnalis – yang belum tentu benar – menjadi ukuran dan sudut padang yang dipakai oleh masyarakat. Pers bukan lagi alat propaganda. Kembali, seperti yang dikatakan oleh Presiden Jokowi, pers adalah cahaya moral dan pembentuk karakter, mentalitas, dan moralitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H