Ya, namanya selera, tentu tidak semua jenis kudapan itu saya sukai. Walaupun demikian, rasa memang gak bisa bohong, dibandingkan kudapan yang dibeli di pasar, rasanya jauh berbeda.
Saya dan suami biasa memanggil ibu mertua dengan sebutan emak. Saya akui, kudapan buatan emak dan kakak memang paling enak, lebih lembut, dan terjamin higienisnya.Â
Usut punya usut, ternyata bakat memasak kakak diturunkan dari almarhumah emak yang jago membuat makanan enak. Jangan tanya seberapa rewel suami saya mengenai makanan, kalau ada yang kurang sedikit saja, pasti tidak akan dimakan.
Pertama kali saya ditawari tape uli, saya hanya berkata, "ya, terima kasih Mak, nanti dimakan." Saya tidak memakannya, karena buat saya agak aneh.Â
Saya baru kali itu melihat ada tape ketan hitam, dan uli dimakan berbarengan. Di Jawa, biasanya kita hanya mengenal ketan uli, yang paling nikmat menjadi uli goreng saat pagi hari.
Beberapa kali ditawari, sungkan kalau tidak dimakan, saya cobalah icip-icip sedikit. Lho kok enak ya? Rasanya agak beda dengan ketan uli Jawa.Â
Saya coba siram ketan uli dengan tape ketan hitam yang berkuah. Awalnya saya merasakan gurih, uli terasa lembut, lalu ada rasa manis dan asam yang bercampur dari tape ketan hitam.
Duh, bagaimana saya tidak tergila-gila dengan tape uli? Dua jenis makanan yang ditabrak, tetapi rasanya menyatu di lidah. Perkenalan saya dengan tape uli enak buatan emak, justru membuat saya merasa ada yang kurang kalau bukan masakan emak dan kakak.
Yang tadinya hanya berniat mencoba saja, malah jadi ikut makan setiap ada orang pesan. Kakak ipar memang sering buka pre-order tape uli, juga makanan khas lain. Kadang juga ada yang pesan untuk hajatan. Walaupun emak sekarang sudah tiada, tetapi warisan resep dan kebiasaannya memasak sudah diturunkan pada kakak. Dan selalu jadi favorit keluarga kami semua.
Makna ketan uli dan ketan hitam yang mendalam
Ada hal yang baru saja saya ketahui belum lama ini. Ternyata, dibalik rasanya yang enak, ketan uli dan ketan hitam menyimpan makna yang mendalam.