Berbicara mengenai pengalaman sebagai seorang ibu, saya masih sangat muda untuk dikatakan sebagai ibu rumah tangga berpengalaman. Usia pernikahan saya belum genap 4,5 tahun, dan anak sulung saya juga baru berusia 3,5 tahun. Namun, tidak menghentikan saya untuk menyampaikan tentang pentingnya kebahagiaan seorang ibu dalam keluarga.
Saya sedang tertarik pada sebuah istilah unik yang menurut saya bagus untuk dibahas. Istilah ini mungkin bukan sesuatu yang umum, sehingga tidak banyak orang mengetahuinya. Padahal, hampir semua ibu pernah merasakannya. Mental load, sebuah istilah unik dalam kehidupan seorang ibu.
Mental load pasti dialami oleh semua perempuan sebagai ibu, tanpa memandang kamu sebagai ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Sayangnya, mental load tidak akan berdampak baik bagi kehidupan ibu, apabila dialami terus menerus tanpa jeda.
Pengertian mental load
Mental load atau beban mental dalam penjelasan parapuan.co (04/05/2023), melansir dari Mind Body Green, dianggap sebagai pekerja tidak terlihat seseorang dalam rumah tangga dan keluarga, lebih sering berada di pundak perempuan. Pekerjaan ini bukan merupakan pekerjaan fisik, tetapi pekerjaan merencanakan, mengawasi dan memastikan semua pekerjaan fisik terselesaikan dengan baik.
Mind Body Green (18/11/2022), menambahkan bahwa pada salah satu studi yang diterbitkan dalam American Sociological Review, mental load atau beban mental digambarkan sebagai tanggung jawab untuk mengantisipasi kebutuhan, mengidentifikasi pilihan untuk memenuhinya, membuat keputusan, dan memantau kemajuan.
Mental load seorang ibu saat melakukan sesuatu, ternyata pekerjaan yang lebih rumit daripada pekerjaan fisik. Justru membuat kita sebagai ibu harus berpikir lebih dalam untuk melakukan pekerjaan rumah yang terlihat sangat sepele menurut orang lain.
Contoh sederhana, kalau saya harus memasak untuk sarapan anak dan suami, di malam sebelumnya, saya harus merencanakan dahulu. Menimbang makanan apa yang akan disajikan untuk sarapan. Mengecek biaya untuk membeli bahan makanan. Lalu, pagi hari saya harus mempersiapkan bahan dan alat memasak, memastikan semuanya sudah lengkap.
Saya juga harus memastikan rasa makanan setidaknya layak untuk dimakan, harap maklum saya termasuk ibu yang jarang memasak di rumah. Kemudian, apa yang terjadi kalau beberapa bahan yang dibutuhkan untuk memasak tidak ada atau kebetulan sulit ditemukan setelah mencari di berbagai toko? Mau atau tidak, harus merencanakan ulang dengan singkat semuanya. Atau sejak awal, harus ada rencana kedua, agar anak dan suami tetap bisa menikmati sarapan dengan baik.
Setelah selesai sarapan pun, saya harus memastikan peralatan makan bersih, siap digunakan kembali untuk makan siang dan malam. Semuanya menjadi tanggung jawab ibu, ini baru mengenai persoalan memasak, masih banyak pekerjaan lain yang harus dipikirkan setiap hari oleh seorang ibu.
Dimulai sejak merencanakan kehamilan
Dalam parents.com (27/09/2023), seorang penulis asal New York bernama Melissa Mills, membagikan sedikit ceritanya mengenai mental load yang sempat ia alami. Bahkan ia tidak menyadari telah mengalami mental load, saat menjadi ibu baru bagi anak pertamanya. Padahal, ia dan suami merupakan pasangan yang sering kali membagi pekerjaan rumah dengan baik, sehingga semua pekerjaan bisa terselesaikan dengan rapi tanpa membuat salah satu pihak terbebani.
Menurutnya, semua sangat berbeda setelah suaminya kembali bekerja selepas cuti untuk mendampingi kelahiran buah hati tercinta. Rentetan daftar tugas rumah tangga setiap hari selalu ada, dan tidak pernah ada habisnya. Melissa menyadari, semua menjadi tanggung jawabnya. Ia berkata bahwa ia tidak sendiri, dan tidak mengharapkan beban mental dialami olehnya. Namun, ia tetap mengalami mental load.
Hasil survei New York Times pada 2020 menunjukkan bahwa 66% perempuan mengatakan bertanggung jawab untuk mengasuh anak, dan 70% perempuan menyatakan bertanggung jawab atas tugas rumah tangga.
Awalnya saya pikir, masalah pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin hanya terjadi di Indonesia. Kenyataan dari hasil survei tersebut, membuat saya sadar bahwa mental load juga terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.
Melissa Mills memberikan informasi bahwa mental load menyelinap masuk dalam kehidupan seorang perempuan sejak mulai merencanakan kehamilan, masa kehamilan, kelahiran bayi, dalam masa MPASI dan merawat bayi, serta ketika merencanakan sebuah perjalanan bersama keluarga. Semuanya benar, saya merasakan hal yang sama dirasakan oleh Melissa sebagai seorang ibu.
Agak sedikit berbeda dengan Melissa, saya tidak merencanakan kehamilan, tetapi mendapatkan kehamilan tak terduga setelah pernikahan baru berjalan satu bulan. Saya merasakan bagaimana mental load mulai menyelinap dalam pikiran. Apalagi kehamilan tanpa perencanaan, mungkin cukup mendadak untuk saya.
Sejak awal kehamilan sampai pada hari kelahiran, rasanya mental load tak henti saya rasakan. Mulai dari perkara kecil hingga ke hal besar untuk menjaga kehamilan. Saya mengetahui tanggung jawab yang semakin besar akan menanti setelah kelahiran.
Bahagia sudah pasti saya rasakan, sebentar lagi rumah kami akan ramai dengan suara bayi. Di sisi lain, saya tidak bisa mengelak bahwa mental load semakin sering saya rasakan.
Tidak hanya mengenai anak, pekerjaan rumah tangga juga tak kalah terus bertambah. Saya yang tadinya tidak bisa memasak, sekarang harus terbiasa berada di dapur. Yang tadinya tanggung jawab hanya satu kamar, setelah memiliki rumah tanggung jawab menjadi seisi rumah.
Pengaruh mental load pada kesehatan mental ibu
Menurut psikolog dari Oklahoma State University yang meneliti dampak pekerjaan tidak kasat mata terhadap ibu, Lucia Ciciolla, Ph.D., dalam penjelasan mindbodygreen.com (18/11/2022), mental load sangat melelahkan, menyita waktu dan tenaga, tetapi merupakan pekerjaan yang tidak diakui. Walaupun pekerjaan fisik telah dibantu oleh suami atau keluarga, ibu tetap akan menanggung mental load dalam rumah tangga.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lucia Ciciolla, didapatkan fakta bahwa mental load terkait dengan ketegangan pada kesejahteraan ibu dan menurunkan kepuasan dalam hubungan. Mental load membuat ibu tidak memiliki ruang dan waktu untuk melakukan perawatan pada diri sendiri.
Latihan mental yang terus dialami ibu dalam menjalankan pekerjaan tidak terlihat, membuat ibu mudah lelah, mudah tersinggung atau sering marah. Mental load sangat mempengaruhi suasana hati ibu, sehingga ibu begitu mudah mengalami perubahan emosi.
Ibu mengalami frustasi yang akan mempengaruhi dalam beraktivitas. Hal ini mungkin akan membuat kita paham alasan ibu sering kelelahan dan mudah marah. Mental load sangat mempengaruhi kesehatan mental ibu, mungkin tidak disadari oleh ibu sendiri.
Pentingnya keseimbangan peran dalam rumah tangga
Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana agar mental load bisa dikendalikan atau ibu setidaknya mendapatkan sedikit keringanan dalam beban emosional?
Tulisan parents.com (27/09/2023), memberitahukan penjelasan dari Erica Djossa, seorang psikoterapis, spesialis kesehatan mental ibu, dan pendiri Happy as a Mother, menurut Erica yang terpenting yaitu bersikap terbuka, jujur, dan transparan dalam hubungan.
Cobalah untuk bicara dari hati ke hati dengan pasangan. Menjelaskan bagaimana mental load sangat mempengaruhi hidup ibu. Biarkan pasangan mengetahui apa yang ibu alami, apa yang sedang ibu rasakan, apa yang selalu ibu pikirkan setiap hari. Bukan tiba-tiba marah, mengabaikan pasangan, ini justru membuat tanda tanya, pasangan perlu pemahaman. Tidak semua ayah bisa langsung memahami perasaan ibu.
Berikan pemahaman tentang pentingnya keseimbangan peran dalam rumah tangga. Berdiskusi mengenai tugas rumah tangga masing-masing, dan kemungkinan tugas yang bisa dikerjakan bersama. Tugas yang dimaksudkan bukan tugas fisik saja, tetapi juga tugas pengelolaan yang tidak terlihat.
Sebenarnya, sudah banyak ayah yang paham mengenai mental load dan pentingnya berbagi peran. Namun, kebiasaan dan lingkungan bisa menggiring pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin tetap langgeng. Ada pula yang sudah bisa menyeimbangkan tugas dalam rumah tangga, sehingga bisa sangat membantu ibu mengurangi mental load.
Saya mungkin sebagian istri yang beruntung, suami memang lebih jago dalam hal memasak, urusan dapur 50% sudah dibantu suami. Tugas rumah tangga juga sebagian sudah dibantu, tidak hanya mengenai pekerjaan fisik, pekerjaan yang tidak terlihat pun turut dibantu olehnya. Membantu perencanaan belanja bulanan, memeriksa kebutuhan yang perlu dibeli, sampai masalah kebersihan rumah.
Ada satu hal yang perlu diingat ibu, ketika ayah mulai memiliki kesadaran untuk berbagi peran, maka lepaskan kendali. Percayakan dahulu semuanya bisa diatur oleh ayah.
Yang kadang tidak ibu sadari, belum bisa sepenuhnya mempercayakan tugas rumah tangga pada orang lain. Sehingga, membuat ibu tetap saja mengalami mental load karena ingin memegang kendali dan berupaya menyelesaikannya sesuai ekspektasi diri sendiri. Tetap periksa pekerjaan rumah yang sudah terselesaikan, tetapi bersabarlah, semuanya butuh proses untuk penyesuaian.
Mental load bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi tanggung jawab bersama pasangan. Berbagi peran, membagi mental load bersama pasangan, akan menjadi cara terbaik untuk mengurangi rasa stres yang ibu alami. Apakah kamu percaya, kebahagiaan ibu sangat mempengaruhi kebahagiaan keluarga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H