Hanya sebuah percakapan santai antara dua manusia.
"Kau lebih seperti setan daripada manusia."
Aku bergeser lebih jauh ke tepi sofa. Ada benci yang begitu jelas dari nada bicara ku.
"Lucu sekali, sekarang biarkan aku bertanya padamu, apa yang membuat manusia seorang manusia?"
Dia duduk di tepi yang berlawanan, dengan santainya menyalakan rokoknya sambil mengangkat salah satu kaki keatas sofa.
"Apakah itu struktur biologis mereka?"
Dia mengeluarkan asap dari mulutnya.
"Ya."
Aku tidak melihat kearah lain selain televisi didepan kita yang mati. Pantulannya memperlihatkan momen ini dengan warna yang berbeda
Jujur saja, aku kesal. Itu pertanyaan bodoh.
"Lalu mengapa orang terus mengatakan seseorang tidak seperti manusia ketika mereka masih makhluk yang sama?"
Dia menatap pantulan di televisi. Lebih tepatnya, pantulan diriku.
Aku menyadari tatapan tidak langsung darinya. Cepat-cepat aku menoleh ke arah lain.
"Perbedaan dalam perilaku."
Jawabku singkat, begitu singkat hampir tidak pantas.
"Apakah begitu? Maka katakanlah kepadaku bagaimana seharusnya manusia berperilaku."
Dia menyeringai sambil melirik ke arahku. Aku sadar namun tidak mau balas melirik.
Pertanyaan itu mengejutkan bagiku. Aku jatuh diam, pura pura tidak menyadari orang yang tidak sabar menunggu jawabanku.
"Lamban. Baiklah, katakan padaku satu hal yang aku lakukan, yang menurutmu bukan seperti 'manusia'. Aku yakin kau tidak bodoh itu."
Dia sengaja meniupkan asap kearahku.
Akhirnya aku terpaksa berpura-pura berdeham.
"Ketika kau membunuh mereka."
Aku sadar bagaimana suaraku yang sedari tadi berusaha tetap datar, mulai goyah. Ini tidak baik.
"Oh itu? Bukankah dendam itu hal normal bagi manusia?"
Hingga hari ini dan sampai kapanpun aku tidak akan memaafkannya.
"..."
Namun untuk argumen atas perkataannya, aku sendiri kehilangan kata-kata.
"Kau tidak bisa menyangkalnya."
Ia terkekeh pelan.
"Aku bahkan tidak benar benar faham soal balas dendam."
Aku mengakat bahu, kebiasaanku ketika merasa tidak nyaman.
"Kasihan sekali kau."
Dia menjawab, nada dan ekspresinya tidak menunjukkan iba sedikitpun.
"Kamu bahkan tidak bisa memahami manusia, mungkin kau yang tidak seperti manusia disini."
Ia mengangkat dagunya, lalu melirik lagi kearahku untuk mengintip ekspresiku. Tidak ada yang menarik baginya jadi ia hanya bisa memutar matanya.
"Kesalahpahaman antara manusia juga hal yang normal, bukan?"
Aku mencoba untuk membalikkan apa yang dia katakan padaku kembali padanya.
"Kau ternyata lebih menarik dari yang ku kira."
Ia mendengus lalu menoleh ke arahku, seringai itu kembali terpasang di wajahnya. Aku berusaha untuk tidak menggubris.
"Pertanyaan berikutnya, ketika seseorang dikatakan tidak manusiawi. Mereka sering digambarkan sebagai sesuatu yang lebih dekat dengan hewan. Mengapa?"
Ia kembali menatap kedepan, menatap telivisi yang mati. Namun aku cukup mengenali untuk tahu seringai barusan masih diwajahnya.
"Kasarnya, itu karena hewan lebih bodoh dibandingkan manusia. Tapi, aku tidak berpikir ungkapan 'seseorang yang tidak seperti manusia' digunakan dengan cara itu."
Alisku menekuk, akan dibawa kemana percakapan ini? Aku sudah muak dengannya.
Dia menghela nafas kecewa.
"Memang bukan masalah kecerdasan. Tapi karena kekejaman. Begitu saja tidak bisa."
"Oh, itu seperti itu."
Balasku acuh tak acuh, kapan ini akan selesai?
"Sekarang, apakah Anda setuju jika saya mengatakan bahwa manusia lebih kejam daripada hewan?"
Jadi itulah poinnya. Dia mengetuk ujung atas rokoknya, puing kehitaman jatuh dari ujung satunya.
"Aku tidak akan menyangkalnya, meskipun aku berasumsi mayoritas manusia telah setuju tindakan kejam tertentu tidak sesuai dengan jenisnya."
Aku menyandarkan kepalaku diatas tangan yang bertumpu pada sandaran lengan sofa.
"Ya, tapi kekejaman itu bukan milik hewan, itu milik manusia. Manusia yang melanggar persetujuan mayoritas."
Tanpa menyadari waktu berlalu, baru sekarang dia menyadari rokoknya tinggal setengah dari ukuran aslinya.
"Jadi kau mengatakan tindakan kejam ini pantas untuk manusia? Bahwa apa yang telah kau lakukan kepada mereka itu adalah sesuatu yang manusiawi!?"
Frustrasi muncul dalam intonasiku. Masih begitu jelas ingatan dikepalaku. Ketika mereka dilahap api tepat didepanku, dan dia, penyebab dari api itu, menarikku paksa keluar.
Ia menertawakanku.
"Lalu perbuatan kejam itu mirip apa menurmu?"
"Apa? Monster? Tapi mereka tidak nyata, kau tahu itu lebih baik dariku."
Ia mendengus seolah menahan tawa.
"Tidak, monster itu nyata. Mereka adalah manusia sepertimu"
Suaraku pelan, namun tegas. Seperti seruan yang tertahan. Aku berusaha kembali ke lagak tenang ku yang sebelumnya.
"Hah! Kau terdengar seperti anak kecil. Apakah aku mengingatkanmu tentang monster dari dongeng kesukaanmu? Dongeng yang selalu ibumu bacakan sebelum tidur?"
Ia menelengkan kepalanya ke arahku. Tatapannya sinis bercampur seringai menyebalkannya itu. Aku tidak menggubris dan hanya menatap datar ke arah telivisi. Â Tidak ada jawaban lain untuk itu selain mengajaknya bertengkar.
"Aku sudah mendapatkan kesimpulan yang kuinginkan. Manusia bisa menjadi apa yang sebagian orang anggap sebagai monster. Namun, menjadi monster ini bukan hal diluar kebiasaan mereka. Jadi jangan bilang aku tidak seperti manusia lagi atau kau bodoh. Bilang saja aku manusia yang bandel, cukup sudah."
Dia menekan rokok yang tersisa pada asbak lalu membiarkannya di sana. Dia berdiri lalu pergi begitu saja.
Meninggalkan ku sendiri, di sofa yang sebagian besar kosong. Aku tidak mau repot-repot memikirkan apa yang baru saja kita bicarakan, atau melirik ke arahnya sedikit pun ketika ia berjalan pergi. Pantulan pada telivisi sudah cukup jelas.
Aku segera meraih remot televisi. Setidaknya yang satu ini tidak melontarkan pertanyaan aneh-aneh padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H