Azriel keluar dari kamarnya. Ia berharap kakaknya itu tidak dirumah, hanya untuk mendapatinya tergeletak malas diatas sofa. Sebuah remot televisi di tangannya. Ia sempat melirik ke arah Azriel, namun diam saja seolah ia tidak ada. Azriel lega wanita itu tidak mengatakan apapun.Azriel berjalan ke ruang makan. Terkadang ada makanan untuknya, terkadang ia harus masak sendiri, pernah juga tidak ada bahan makanan sama sekali.
Hanya ada sepiring kukis diatas meja.
"Ambil saja kalau mau." Suara Amara terdengar hingga ruang makan.
Ia menatap piring itu lamat lamat. Mirip sekali dengan kukis buatan ibu, walau yang ini lebih berantakan, batin Amara. Dulu, ibunya terkadang membawa sepiring kukis ke kamarnya ketika Azriel sedang belajar, tidak lupa dengan segelas susu. Ia tidak pernah tahu Amara bisa membuatnya, atau hanya kebetulan saja? Juga, sejak kapan Amara suka makanan manis, sejujurnya, Azriel tidak pernah tahu apa yang disukai kakaknya itu. Lagipula informasi itu tidak akan berguna baginya.
Azriel menoleh jam dinding, pukul 8 pagi. Alarmnya kehabisan baterai tadi malam, sehingga ia bangun terlambat. Sudah lewat waktunya sarapan, Azriel tidak akan pernah melakukan apapun diluar jadwalnya.
Sret
Kursi berdecit ketika Azriel menariknya. Ia duduk disitu lalu mengambil kukis. Lebih baik dari perut kosong.
Oh, rasanya persis buatan ibunya ternyata.
"Mengingatkan mu pada wanita tua itu?" Celetuk Amara dari ruang tengah. Sepertinya ia sadar bagaimana Azriel langsung diam setelah menggigitnya sekali. Adiknya diam saja, seolah tidak mengakui keberadaannya.
"Dulu aku suka membantunya membuat kukis itu. Sampai sekarang aku masih hafal resepnya. Kalau dulu ada yang bentuknya agak aneh itu buatanku. Walau sebagian besar disuruh aku makan sendiri" Suara Amara terdengar lagi.
Azriel menghabiskan sisa kukisnya. Ia masih diam. Lalu Azriel mengambil satu lagi. Ternyata bukan hanya dia yang masih mengingat mereka, ayah dan ibu. Azriel merasa ini semua janggal, tidak seharusnya kakaknya, yang begitu benci ayah dan ibu seperti ini.