Aku berlari sekencang kencangnya. Tas ransel ku sampai mengambang dari punggungku. Nafasku mulai terengah-engah apalagi sekarang aku masih sesegukan, yang jelas tidak membantu. Di halte bus aku buru-buru mengelap mataku yang masih sembab.Â
Aku menarik napas dalam, lalu memegang tali tas ranselku dengan erat. Sebuah bus datang, aku segera masuk, menyusuri lorong sambil menunduk. Setelah duduk di samping jendela, aku memalingkan wajahku, jangan sampai penumpang lain melihat wajahku sekarang.Â
Untungnya tidak ada yang duduk disampingku hingga aku sampai tujuan. Aku turun dari bus dengan lagak yang sama, jangan lupa membayar dengan tunai.Â
"Flumen" tertulis di papan pada atap halte. Aku tersenyum tipis ketika menatap sekitar, banyak rumah-rumah berhias tanaman, pohon rindang menjulang. Walau sebenarnya aku takut, aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku lakukan.
Aku hanyalah seorang anak 14 tahun yang bertengkar dengan orang tuanya. Biasanya aku akan mendatangi rumah temanku, Riki, tapi Riki telah pindah ke rumah kerabatnya di pedesaan setelah kepergian ayahnya. Aku belum mendengar lagi tentangnya semenjak lulus SD.
Sebelum ia pergi, ia mengatakan. "Aku akan merindukanmu! Jadi kunjungi aku ya, kapan saja tidak masalah! Aku akan selalu menunggu mu!" "Janji ya?" Dan aku hanya bisa mengangguk karena sudah mulai sesegukan.
Dia hanya bilang akan pindah ke mana, tidak bilang alamat lengkapnya, bodoh bukan? Aku jadi harus mencarinya. Kenapa aku melakukan semua ini? Memangnya kepada pundak siapa lagi aku bisa menangis kalau bukan pundak Riki.Â
Riki pernah bilang rumah kerabatnya di dekat jembatan. Sehingga ketika mengunjungi mereka dulu sebelum ayahnya wafat ia akan bermain di tepi sungai, atau memancing dengan ayahnya.Â
Rencanaku adalah menunggu di pinggir sungai, kalau ada yang lewat, akan ku tanyakan pada mereka dimana rumah Riki. Atau bisa saja langsung ku datangi rumah seseorang untuk bertanya, walau agak takut. Tapi untuk sekarang aku ingin istirahat dulu. Jadi aku menuruni tangga menuju pinggir sungai, lalu duduk di rerumputan.Â
Aku mengambil sebungkus biskuit yang tersisa di kamar juga sekotak susu. Inilah makan siang ku. Tak heran Riki menyukai tempat ini, anginnya sepoi-sepoi dan suara aliran sungainya menenangkan. Aku menutup mataku.Â
Puk!Â
Tubuhku terlonjak, seseorang menepuk pundakku. Tak sengaja aku menjatuhkan kotak susu di tanganku. Belum sempat aku menoleh kebelakang, ada tangan yang terulur, menangkap kotak susu itu.Â
"Benar ternyata, kamu Saga! Akhirnya kamu datang! Atau mungkin cepat juga kamu datang kesini."Suara ceria itu sangat khas bagiku. Aku mengangkat kepala, dan sama sepertinya tebakan ku benar, orang dihadapan ku ini adalah Riki. Dia tampak sama seperti terakhir kali aku melihatnya.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H