Akibatnya, kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan hingga perbaikan fasilitas umum dan sosial lainnya tidak sepenuhnya terpenuhi.Â
Mengabaikan kebutuhan dasar ini mempengaruhi baik perempuan maupun laki-laki. Juga berdampak luas dan pembangunan negara terasa tidak maksimal.
Hal ini juga dibumbui oleh fenomena glass ceiling yaitu ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan hambatan yang dihadapi oleh perempuan atau kaum minoritas saat ingin mencoba peran lebih tinggi dalam dunia kerja.Â
Meskipun fenomena ini tidak terlalu terlihat oleh masyarakat umum, nyatanya glass ceiling benar-benar terjadi dalam dunia pekerjaan atau dunia politik Indonesia.Â
Kendati demikian, fenomena glass ceiling masih menghalangi perempuan dan minoritas untuk mendapatkan kebebasan memperoleh kursi yang setara dengan laki-laki.Â
Perempuan dituntut bekerja lebih ekstra dan membuktikan bahwa dirinya bisa setara dengan beban yang dua kali lebih berat dibanding laki-laki.
Banyaknya hambatan yang dirasakan oleh perempuan menjadikan semangat dan mentalitas perempuan merasa memang tidak akan setara dengan laki-laki.Â
Hal ini berakibat pada individu untuk memaksimalkan potensinya sebagai manusia terhambat. Hal ini berakibat pada pembangunan nasional yang hanya sebelah sisi sehingga nantinya negara sulit berkembang dan bersaing dengan negara lain yang mengaplikasikan laki-laki dan perempuan setara tanpa adanya diskriminatif terbukti jauh lebih maksimal.Â
Wakil parlemen perempuan di parlemen merupakan sebuah kebutuhan untuk menjadi aspirator serta problem solver berbagai permasalahan perempuan di Indonesia.Â
Kuota 30% hendaknya tidak hanya sekedar bagian formalitas belaka, namun disertai dengan kualitas dan kompetensi yang bersaing dari wakil parlemen perempuan serta tekad untuk menjadi pejuang seluruh perempuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H