Berurusan dengan hukum (dalam hal ini kepolisian, pengadilan, dll) adalah hal yang rasanya banyak dihindari oleh banyak orang. Ya, urusan kena tilang saja malas, apalagi aturan sekarang harus ikutan sidang dan lain-lain. Tapi, kita gak pernah tau apa yang sudah digariskan dalam hidup. Sebuah urusan dari hal yang pernah saya kerjakan di masa lampau membawa saya menjadi saksi untuk pertama kalinya di sebuah persidangan. Sebuah pengalaman pertama, yang tentu diharapkan menjadi yang terakhir dalam hidup.Â
Surat Cinta Berwarna Pink di Minggu Sore
Minggu siang, saya asyik merasakan pijatan lembut di kepala dan kuku-kuku kaki serta tangan yang dirawat di salon. Sebuah telepon masuk, bertanya alamat rumah saya yang sekarang. Dari kurir paket rupanya. Tumben sekali, biasa tinggal antar saja ke rumah.Â
Tak lama, seorang teman mengabarkan, ada yang menerima surat panggilan untuk menghadap seorang Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia bertanya, apakah saya dapat juga? Karena, saya dan beberapa teman memang pernah disidik untuk sebuah perkara. Dengan santai, saya jawab saja belum, lalu kembali menikmati perawatan di salon.Â
Ternyata, surat cinta untuk saya datang di sore hari. Amplop putih dengan kop kejaksaan diantar oleh kurir ke rumah. Saya pun segera membuka. Surat pink dengan kode P-37 di kanan. Saya jadi penasaran, apa arti kode P-37. Oh, ternyata surat dari Kejaksaan untuk memanggil Saksi / Terdakwa / Terpidana agar menghadiri pemeriksaan di persidangan. Isinya memang panggilan kepada saya sebagai saksi untuk terdakwa X dkk dan melapor kepada Jaksa Penuntut Umum.Â
Karena bingung artinya, saya pun langsung bertanya kepada teman yang memiliki latar belakang hukum tentang surat cinta pink ini. Saya cerita sebelumnya pernah disidik, itupun sudah lama, rasanya Juli 2020. Dia bilang, artinya perkara sudah naik ke pengadilan. Saya akan menjadi saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan. Akan ada Penasihat Hukum / Pengacara Terdakwa juga yang bertanya. Secara umum, pertanyaan akan sama dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tapi bisa jadi ada pertanyaan 'nyeleneh'.Â
Saya pun bertanya-tanya ke teman lain di bidang legal. Haruskah datang? Bolehkah tidak hadir? Kondisi pandemi ditambah sedang berbadan dua membuat saya ragu untuk bepergian ke Jakarta. Sebuah jawaban telak diberikan, "bisa saja tidak hadir sekarang, tapi ada kemungkinan suatu saat dipanggil dengan paksa". Waduh, dibanding nanti saya dipanggil paksa pas mau mbrojol (melahirkan), mending nurut deh datang sekarang.Â
Setelah saya baca kembali di surat, ternyata ada kutipan pasal 224 ayat (1) KUHP. Sebuah ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi. Bunyi pasal 224 ayat (1) KUHP tersebut adalah : Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Oke deh, saya siap hadir ke persidangan. Toh saya tidak sendiri, ada teman saya yang lebih paham terkait perkara yang dihadapi. Ada pula teman legal yang membantu urusan administrasi di sana nanti.Â
Oh, Begini Rupanya Persidangan Itu.....
Saya pergi sendiri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Selasa pagi. Beberapa teman yang juga diundang sebagai saksi sudah ada di Jakarta sejak hari Senin. Saya sudah sampai di Jalan Ampera Raya sejak jam 8 pagi. Suasana masih sepi. Baru sekitar pukul 8.30 banyak orang lain bermunculan di area tunggu. Kebanyakan pria berpakaian batik rapi. Saya pun menguping sedikit, ada yang mendapatkan jadwal sidang jam 8 malam. Wah, saya pikir, niat banget ya datang pagi-pagi.Â
Akhirnya, jam 9 pagi teman-teman saya datang. Seorang dari tim legal mulai berkoordinasi di dalam kantor pengadilan. Lalu ia pun memberi info, bahwa kita masih menunggu jadwal dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kata teman lain, bisa saja JPU ini sedang bertugas di persidangan lain.Â
Kami pun terus menunggu hingga lewat jam makan siang. Suasana ruang tunggu ramai. Banyak wartawan duduk menunggu (atau mencari) berita. Hasil googling, sepertinya ini pengadilan negeri yang kerap didatangi para selebritis untuk urusan perceraian.Â
Ruang sidang tak terlalu besar, tapi begitu padat siang hari itu. Ada sekitar 9 saksi yang dipanggil. Para saksi diminta duduk berjejeran di depan majelis hakim. Kami saling berdempetan. Entah apa itu physical distancing, rasanya tak berlaku siang hari itu. Di kiri, dua jaksa penuntut umum duduk. Di kanan, para penasihat hukum dan terdakwa berkerumun.Â
Majelis hakim mengecek identitas para saksi. Setelah selesai, kami diminta berdiri dan bersumpah. Lalu, satu per satu hakim bertanya kepada para saksi secara bergiliran. Deg-degan rasanya menunggu giliran tiba. Setelah hakim selesai bertanya kepada saya, rasanya lega. Tapi ternyata belum berakhir. Saksi lain masih ditanya.Â
Saya kira setelah hakim selesai bertanya, sidang akan selesai. Ternyata tidak. Kali ini giliran jaksa penuntut umum yang bertanya lebih detail kepada para saksi. Tiba-tiba seseorang berkata, tak boleh minum di ruangan. Bukan kepada saya sih, kepada orang lain di belakang. Oh, ternyata tak boleh minum. Rasanya gerah dan haus sekali padahal.Â
JPU masih terus mencecar pertanyaan sampai puas. Lalu sempat dikomen oleh pengacara terdakwa bahwa pertanyaan tidak relevan. Sampai akhirnya ia berkata bahwa ia selesai bertanya kepada saksi. Akhirnya saatnya pulang, begitu pikir saya.Â
Ternyata tidak. Kali ini hakim mempersilakan penasihat hukum / pengacara terdakwa bertanya kepada saksi. Untungnya, memang saksi yang ditanya lebih detail bukan saya. Tapi, tetap saja rasa gelisah muncul. Kapan sidang ini berakhir? Apakah saya dapat pulang hari ini juga?
Pengacara terdakwa masih mencecar saksi lain. Mungkin merasa pernyataan saksi memberatkan kliennya. Lalu hakim pun bersuara. Menegur seseorang yang mengangkat kaki (mungkin bermaksud menyilangkan kaki) di bagian belakang. Katanya, kami harus menghargai persidangan. Dilarang mengangkat kaki. Wah, baru tau saya, untung dari tadi masih bertahan tidak mengangkat kaki. Hanya menggoyang-goyangkan tanda gelisah.Â
Akhirnya pertanyaan pengacara pun selesai. Ternyata masih ada kesempatan diberikan hakim untuk bertanya. Kali ini kepada terdakwa. Suara pertanyaan muncul dari arah belakang. Rupanya, di persidangan ini terdakwanya banyak. Tak hanya duduk di dekat pengacara. Tapi duduk pula di barisan belakang saksi. Ketika saksi menoleh ke arah yang bertanya, teguran muncul, saksi diminta lihat ke depan saja, ke arah majelis hakim. Wah ada aturan lain lagi rupanya.Â
Syukurlah, menjelang jam 4 sore, persidangan selesai. Kami keluar ruang sidang dengan rasa lega dan harap-harap agar tak ikut lagi. Padahal, di bulan November 2020, kami juga disidik dengan perkara serupa untuk terdakwa berbeda. Entah akan dipanggil kembali ke persidangan atau tidak.Â
Seorang teman berkata, tak semua orang beruntung bisa ikut persidangan. Ini pengalaman hidup yang tak semua orang dapat. Benar sih, saya jadi tahu rasanya menunggu dan kegerahan di ruang sidang. Earphone yang diminta dibawa sesuai surat cinta berwarna pink tidak berguna. Saya pun jadi tahu bahwa tak boleh minum dan mengangkat kaki selama persidangan.Â
Jadi tahu, begini rupanya jalannya persidangan. Mendebarkan, melelahkan, tapi lega setelah dijalani. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H