Demokrasi dewasa ini sepertinya bukan menjadi solusi demi mencapai tujuan bernegara. Pasalnya, demokrasi yang awalnya dianggap sebagai suatu sistem politik terbaik yang diyakini oleh banyak masyarakat dunia sudah tidak lagi sama.Â
Jika kita melihat konsep dasar demokrasi "the goverment from the people, by the people and for the people" yang artinya dari rakyat akan kembali ke rakyat. Konsep itu sudah tidak asing ditelinga kita. Seperti halnya Indonesia yang menganut paham demokrasi tentu akan melibatkan rakyat dalam penyelenggaraan negara.Â
Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa demokrasi yang diharapkan adalah demokrasi yang betul hidup ditengah masyarakat tidak hanya sebatas menjadi label negara namun juga dalam pelaksanaannya. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memiliki beberapa badan yang bertugas untuk menampung berbagai aspirasi rakyat yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Â
Dua badan tersebut menjadi representasi dari proses pelaksaan demokrasi, perannya sangat menentukan arah demokrasi kedepan. DPR yang merupakan badan pembuat UU menjadi badan vital dalam proses legislasi negara untuk menghasilkan produk-produk hukum yang demokratis. Oleh sebab itu kehadiran DPR sangat diperlukan dalam negara demokrasi seperti halnya Indonesia.
Belakangan ini, ada beberapa produk hukum yang menyita perhatian publik karena diklaim tidak pro terhadap rakyat dan menyalahi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Â
Produk hukum tersebut kita kenal Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), pada awal UU ini disahkan oleh DPR bersama Presiden akhir 2020 lalu sudah mendapat banyak kecaman dari masyarakat.Â
Bahwa banyak pasal-pasal yang dinilai bermasalah dan menyengsarakan rakyat. Apalagi UU tersebut dalam proses legislasinya tidak melibatkan partisipasi publik sehingga kemudian UU ini dianggap cacat formill. Setelah mendapat kecaman publik, akhirnya UU digugat ke Mahkamah Konstitusi dan sudah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.Â
Putusan tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat. Melalui putusan tersebut, menjadi kabar bahagia bagi masyarakat.Â
Hal yang selama ini diusahakan, akhirnya berbuah hasil. Namun, pada saat putusan tersebut dibacakan akhir 2022 lalu, tidak berselang waktu yang lama 2 bulan berikutnya Presiden secara gamblang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja.Â
Hal ini membuat rakyat kecewa atas penetapan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden karena menurut publik antara Perppu Cipta Kerja dan UU CK tidak jauh berbeda.Â
Perppu ini mendapat penolakan publik, karena Presiden bisa mengeluarkan Perppu dalam keadaan tertentu salah satunya negara dalam keadaan darurat seperti perang. Namun, alasan Presiden mengeluarkan Perppu tersebut yaitu melihat situasi politik global dunia yang mengecam seperti perang yang terjadi Rusia-Ukraina.Â
Hemat penulis, alasan ini sangat tidak logis secara hukum. Karena perang tersebut bukan terjadi di negara kita. Dalam artian, negara Indonesia masih belum bisa dikatakan posisi darurat.Â
Kemudian, setelah mendapat penolakan publik mengenai Perppu Cipta Kerja dan mendesak Presiden untuk menarik kembali Perppu tersebut. Pada akhir Maret kemarin, DPR menetapkan UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peppu Cipta Kerja menjadi UU. Secepat itu DPR memberlakukan kembali UU yang sudah dinilai inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.Â
Apa kabar dengan legislasi negara kita sekarang? Sepertinya partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan undang-undang sebagaimana tercantum dalam UU No.12 Tahun 2011 hanya sebatas formalitas belaka.Â
Hadirnya UU No.6 Tahun 2023 tentu menjadi bumerang bagi masyarakat, karena UU yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi berlaku kembali. Upaya pemerintah dan DPR dalam proses pembuatan UUCK sangat patut kita apresiasi untuk memperbaiki perekonomian negara yang anjlok karena pandemi namun butuh koreksi kembali khususnya dalam hal partisipasi publik.Â
Perjalanan UUCK dalam negara kita masih segar untuk dibicarakan sampai saat ini, mengutip dari apa yang ditulis Giorgio Agamben (seorang filsuf barat asal italy) yang dikenal sebagai pemikir politik dalam bukunya yang berjudul "Demokrasi dan Kedaruratan Negara" bahwa ironinya sebuah negara yang mengaku negara demokrasi alih-alih menuju ke arah autogratic legalism.Â
Dari pernyataan Agamben, dapat kita pahami bahwa negara yang secara konstruksi itu demokrasi bisa-bisa berjalan ke arah autogritic legalism. Apa itu autogritic legalism? Istilah itu bisa memiliki tujuan untuk memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik untuk kelompoknya. Autocratic legalism ini dianggap lebih berbahaya daripada otoritarianism seperti masa orde baru karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja.
Sebenarnya bukan hanya UUCK yang menjadi perhatian publik, ada beberapa produk hukum lainnya seperti UU Minerba juga UU KPK terbaru. Namun, karena puncaknya di UUCK maka menjadi perhatian publik utama untuk saat ini.Â
Politik agamben tentang demokrasi memang sangat releted jika dihadapkan dengan proses perjalanan UUCK di Indonesia. Semoga kedepan tidak ada lagi produk-produk hukum yang menggilitik masyarakat. Ini hanya sebagai catatan penting untuk kedepan dalam mewujudkan negara Indonesia yang demokratis sesuai dengan amanah reformasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H