Mohon tunggu...
Aini Shalihah
Aini Shalihah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Hukum/Pegiat Hukum Tata Negara

Pendidikan terkahir Master degree (S2) Hukum Tata Negara. Saya suka membaca dan menulis, serta sudah ada beberapa tulisan saya yang publish di Jurnal ber-ISSN dan Jurnal terakreditasi Nasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Potret Politik Giorgio Agamben dalam Tubuh Legislasi Indonesia

28 Juni 2023   07:35 Diperbarui: 28 Juni 2023   08:31 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi dewasa ini sepertinya bukan menjadi solusi demi mencapai tujuan bernegara. Pasalnya, demokrasi yang awalnya dianggap sebagai suatu sistem politik terbaik yang diyakini oleh banyak masyarakat dunia sudah tidak lagi sama. 

Jika kita melihat konsep dasar demokrasi "the goverment from the people, by the people and for the people" yang artinya dari rakyat akan kembali ke rakyat. Konsep itu sudah tidak asing ditelinga kita. Seperti halnya Indonesia yang menganut paham demokrasi tentu akan melibatkan rakyat dalam penyelenggaraan negara. 

Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa demokrasi yang diharapkan adalah demokrasi yang betul hidup ditengah masyarakat tidak hanya sebatas menjadi label negara namun juga dalam pelaksanaannya. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memiliki beberapa badan yang bertugas untuk menampung berbagai aspirasi rakyat yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Dua badan tersebut menjadi representasi dari proses pelaksaan demokrasi, perannya sangat menentukan arah demokrasi kedepan. DPR yang merupakan badan pembuat UU menjadi badan vital dalam proses legislasi negara untuk menghasilkan produk-produk hukum yang demokratis. Oleh sebab itu kehadiran DPR sangat diperlukan dalam negara demokrasi seperti halnya Indonesia.

Belakangan ini, ada beberapa produk hukum yang menyita perhatian publik karena diklaim tidak pro terhadap rakyat dan menyalahi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

Produk hukum tersebut kita kenal Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), pada awal UU ini disahkan oleh DPR bersama Presiden akhir 2020 lalu sudah mendapat banyak kecaman dari masyarakat. 

Bahwa banyak pasal-pasal yang dinilai bermasalah dan menyengsarakan rakyat. Apalagi UU tersebut dalam proses legislasinya tidak melibatkan partisipasi publik sehingga kemudian UU ini dianggap cacat formill. Setelah mendapat kecaman publik, akhirnya UU digugat ke Mahkamah Konstitusi dan sudah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. 

Putusan tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat. Melalui putusan tersebut, menjadi kabar bahagia bagi masyarakat. 

Hal yang selama ini diusahakan, akhirnya berbuah hasil. Namun, pada saat putusan tersebut dibacakan akhir 2022 lalu, tidak berselang waktu yang lama 2 bulan berikutnya Presiden secara gamblang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. 

Hal ini membuat rakyat kecewa atas penetapan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden karena menurut publik antara Perppu Cipta Kerja dan UU CK tidak jauh berbeda. 

Perppu ini mendapat penolakan publik, karena Presiden bisa mengeluarkan Perppu dalam keadaan tertentu salah satunya negara dalam keadaan darurat seperti perang. Namun, alasan Presiden mengeluarkan Perppu tersebut yaitu melihat situasi politik global dunia yang mengecam seperti perang yang terjadi Rusia-Ukraina. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun