Mohon tunggu...
Aini Saidah
Aini Saidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Al-Anwar Rembang

tryna be more than just a reader

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kedudukan Hukum Waria dalam Perspektif HAM di Indonesia

2 Mei 2024   15:25 Diperbarui: 2 Mei 2024   15:28 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kewarganegaraan merupakan hubungan antara individu dan negara, di mana keduanya terikat bersama oleh hak dan kewajiban timbal balik. (Andrey Heywood).

Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam corak kebudayaan dan warga negara yang heterogen. Namun, dalam kajian kewarganegaraan kritis, warga negara memiliki dua arti berbeda, yakni 'warga negara kelas satu' dan 'warga negara kelas dua'. "Kelompok seperti perempuan, etnis minoritas, orang miskin dan pengangguran, umumnya menganggap diri mereka sebagai 'warga negara kelas dua' karena ketidakberuntungan sosial menghalangi partisipasi penuh mereka dalam kehidupan masyarakat." (Heywood, 1994: 159).

Prio Sambodo dalam buku berjudul Citizenship in Indonesia mengemukakan bahwa kelas mampu menentukan kemampuan seseorang untuk mengklaim haknya atau tindakan kewarganegaraannya. Meskipun statusnya setara sebagai warga negara, dalam realitanya hubungan mereka sehari-hari sama sekali tidak setara.

Kaum waria termasuk kaum minoritas yang hingga saat ini sering dianggap sebagai warga negara kelas dua dan masih mendapat perlakuan diskriminatif oleh masyarakat. Keberadaan mereka bukanlah hal yang baru lagi dan pada umumnya hampir setiap orang pasti mengetahui tentang istilah waria ini. Jumlah waria di Indonesia pada tahun 2011 mencapai angka sekitar 38.000 orang dan meningkat hampir 30 persen apabila dibandingkan dengan data yang tersedia pada tahun sebelumnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Istilah waria sendiri diberikan kepada laki-laki yang memiliki penampilan seperti perempuan dan merasa dirinya adalah seorang perempuan. Mereka berbeda dengan homoseksual dalam memahami seksualitas mereka. Kebanyakan dari waria mengetahui bahwa mereka berada dalam anatomi lelaki namun merasa sebagai perempuan sejak mereka masih kecil (T. Boellstorff, 2004: 159-95).

Secara sosiologis, waria dapat dikategorikan dalam penyimpangan sosial atau deviation yang dipahami sebagai bentuk-bentuk penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat yang berlaku (Soekanto, 2007: 189).

Sri Yuliani (2006) dalam penelitiannya menguraikan bahwa dalam hidup bermasyarakat, waria merupakan kelompok manusia yang dikucilkan atau dihindari dalam interaksi sosial. Sebagian besar masyarakat menganggap mereka berada pada derajat yang sangat rendah sehingga menyebabkan mereka semakin termarjinalkan dan sering disubordinasi dikarenakan tidak adanya pengakuan (misrecognition) sebab berbeda dari identitas dominan. Hal ini karena kehidupan masyarakat di Indonesia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki kodrat masing masing dan tidak boleh ada yang saling bertukar.

Tidak bisa disangkal bahwa waria termasuk salah satu kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap perlakuan diskriminatif. Akibat dari perlakuan diskriminasi ini menyebabkan terkendalanya mereka dalam mendapatkan haknya sebagai manusia (HAM). Hak Asasi Manusia merujuk pada hak-hak fundamental yang melekat pada semua individu sebagai manusia tanpa diskriminasi apapun, termasuk ras, agama, jenis kelamin, atau latar belakang sosial.

Perlakuan diskriminasi ialah suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat merugikan orang lain. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan: "Diskriminasi  adalah  setiap  pembatasan,  pelecehan,  atau  pengucilan  yang  langsung  ataupun  tak  langsung  didasarkan  pada  pembedaan  manusia  atas  dasar  agama,  suku,  ras,  etnik,  kelompok,  golongan,  status   sosial,   status   ekonomi,   jenis   kelamin,   bahasa,   keyakinan   politik,     yang     berakibat     pengurangan,     penyimpangan     atau     penghapusan  pengakuan,  pelaksanaan  atau  penggunaan  hak  asasi  manusia  dan  kebebasan  dasar  dalam  kehidupan  baik  individual  maupun  kolektif  dalam  bidang  politik,  ekonomi,  hukum,  sosial,  budaya, dan aspek kehidupan lainnya."

Berikut ini adalah beberapa contoh perlakuan diskriminasi yang dialami kaum waria dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya:

  • Sering dianggap sebagai pelanggar nilai agama dan nilai sosial, sehingga mereka tidak mendapatkan tempat dalam hal bersosialisasi dan memiliki kesulitan dalam beragama. Tidak jarang mereka menerima berbagai stigma negatif dan mengalami pengucilan saat beribadah bersama masyarakat umum. Misalnya dijauhi saat salat berjamaah di masjid atau musala dan diusir ketika mengikuti pengajian, sehingga mereka tidak bebas dalam melaksanakan ibadahnya.
  • Menerima berbagai bentuk kekerasan baik secara psikis, fisik, ekonomi, budaya, dan seksual.
  • Sulit dalam mendapatkan pekerjaan di instansi manapun. Sehingga mereka terpaksa bekerja secara instan menjadi pekerja seks atau pengamen.
  • Dalam hal perlindungan hukum, saat kaum waria menjadi korban kejahatan  dan melapor ke kepolisian, laporan mereka sering diabaikan.

Lantas, bagaimanakah sebenarnya kedudukan hukum yang berlaku bagi kaum waria yang ada di Indonesia?

Makna dari kedudukan hukum sendiri adalah menempatkan seluruh warga negara untuk mendapatkan hak yang sejajar di hadapan hukum. Adapun yang terjadi pada  kaum waria, mereka seringkali mendapatkan ketidakadilan hukum yang terjadi di dalam masyarakat. Ketidakadilan tersebut dapat dilihat dari perlakuan masyarakat terhadap mereka. Padahal, jika ditinjau dalam perspektif Hak Asasi Manusia, kaum waria sebagai warga negara berada pada tingkat yang setara dengan kelompok mayoritas pemangku hak yang lain. Mereka juga warga negara yang berhak hidup, punya hak, kewajiban, dan kesempatan untuk memberikan kontribusi positif bagi Bangsa dan Negara. Tapi, bukan berarti mereka difasilitasi, melainkan didekati, diobati dan disadarkan. Mencegah tentu jauh lebih baik daripada mengobati. Sehingga peran pemerintah sangat penting untuk mengeluarkan kebijakan antisipatif bagi kaum waria serta transgender lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun